Pagi ini matahari begitu terik. Teriknya menghangatkan tubuhku yang termangu memandangi sekolah yang memiliki bangunan dengan arsitektur Belanda. Lebih tepatnya, bangunan ini memang peninggalan bangsa Belanda saat berkuasa di tanah Jawa beberapa abad tahun yang lalu.
Bukan hanya bangunannya yang lawas, pohon-pohon besar yang rindang dan memiliki banyak cabang ini cukup membuat bulu kuduk berdiri jika di malam hari. Konon katanya, sekolah ini termasuk dalam deretan sekolah angker.
Tapi entah kenapa sekolah ini justru mempunyai peringkat pertama sekolah dengan standar internasional.
Sekarang, hari ini, aku seperti mencium aroma kebebasan, aroma segar yang terasa lebih segar dari biasanya. Hari ini aku resmi menjadi siswa SMA setelah beberapa Minggu yang lalu aku hanya menjadi seorang anak yang patuh kepada orangtua.
Memakai sepatu hitam dan kaos kaki yang menutupi seluruh betis ku dan almamater SMP yang menjadi kebanggaan ku. Aku melangkah dengan pasti menuju tiang bendera, "Hormat kepada sang merah putih, siap gerak!" ucapku sambil mengangkat tangan kananku dan menaruhnya di pelipis kanan.
Aku berlonjak girang karena hari ini aku terlalu bersemangat, bahkan aku berangkat lebih pagi dari waktu yang di tentukan oleh pihak sekolah. Aku di antar oleh Ayahanda, tapi Ayahanda sudah aku suruh pulang karena aku tidak mau terjadi kehebohan.
Cukup, cukup aku saja yang akan menghebohkan sekolah. Jangan Ayahanda. Repot urusannya, pasti akan terjadi pidato panjanggggg, lebarrrrrr, dan membosankan. Cukup, jangan dimana-mana ada Ayahanda, disitu ada sambutan, pidato dan lainnya.
"Seperti biasa, kelakuanmu slalu aneh!"
Aku berbalik, Bimo... gumamku dalam hati. Mataku nyaris keluar dari tempatnya saat mendapati laki-laki yang aku hindari ini ada di depanku, memakai almamater yang sama dan senyum yang khas diwajahnya.
"Ngapain di sini!?" tanyaku dengan nada sewot.
"Sekolah." jawabnya singkat.
"Kenapa harus disini! Jangan bilang kalau kamu mengikutiku!" ujarku dengan mata yang menyipit.
Bimo tersenyum lagi, ia membetulkan almamaternya lalu berkata, "Memang kenapa kalau aku mengikutimu?"
Mampus... sekarang aku harus jawab apa. Tidak mungkin kalau dia suka sama aku, apalagi foto-foto kami berdua di dalam keraton tempo hari yang lalu di unggah di sosial medianya dengan caption, "My little poem."
Aku mengangkat bahu, bersikap acuh tak acuh dan tak mau meladeni omongannya.
Bimo tergelak sendiri lalu maju tiga langkah, ia berdiri dengan tubuh yang condong ke arahku.
"Kita akan bersaing lagi, Lilah..."
Bisikannya mampu membuatku merinding. Laki-laki itu tersenyum tipis sambil berlalu pergi menjauhiku.
Aku melongo, bersamaan dengan itu, sebuah tangan menepuk bahuku.
"Kenapa bengong, di sambet penghuni pohon beringin baru tahu rasa kamu, Lil."
"Bimo, Bas. Bimo... dia sekolah juga disini." ujarku memelas. Aku memegang lutut ku yang nyaris lemas. "Capek tahu gak, harus berhadapan dengan dia lagi."
Tangan kirinya mencengkeram bahuku dengan raut wajah yang mengeras. Baskara pasti juga jengkel karena bertemu Bimo lagi.
"Sudah gak usah dipikirin, yang penting masih ada aku yang menjagamu." ujar Baskara dengan tulus, ia tersenyum lalu meneliti penampilanku.
"Bisa gak sih rambutmu diikat, kalau perlu di sanggul aja biar rapi!"
Aku mendadak kesal dengan Baskara, enak saja menyuruhku menyanggul rambut. Memang ini sekolah di jaman Raden Ajeng Kartini!
*
Seluruh siswa baru yang berada di tempat upacara, di giring ke arena tengah sekolah. Arena dimana pohon-pohon besar dan rindang tadi menjadi peneduh.
Kami duduk bersila di atas konblok yang disusun rapi sembari mendengar senior bicara. Jelas, aku duduk di samping Baskara. Memastikan jika Baskara tidak di lirik cewek lain.
"Sesuai dengan peraturan sekolah dan pemerintah, kali ini tidak ada plonco untuk masa orientasi siswa. Sebagai gantinya, kalian semua akan di bagi menjadi beberapa kelompok untuk mengikuti school tour." ujar kakak senior yang menjabat sebagai ketua OSIS. Namanya Revi, bertubuh jangkung, terlihat agak atletis, dan wajahnya lumayan buat cuci mata.
"Dalilah, Mariska, Tania, Raisa, Syifa, Kartika, Almira, dan Asih." Aku menahan tawa, Asih, sungguh nama yang sangat-sangat klasik dan jadul. Tapi, saat gadis yang bernama Asih itu berdiri, aku sempat tertegun.
Dia gadis blesteran, aku pastikan itu. Dia seperti Bulik Kyle.
"Dalilah!!!" Suara itu menggema laksana auman singa.
Baskara menyenggol ku, "Lilah... Kamu di panggil!" suara Baskara bagai kesal.
"Haha... ya." Aku berdiri seraya maju ke depan bergabung dengan kelompokku.
Seketika itu, banyak yang bergumam saat mengetahui baik-baik siapa aku.
Aku membungkuk hormat, "Aku sekolah disini, sebagai pelajar, jadi jangan sungkan berteman denganku."
"Ini bukan saatnya memperkenalkan diri, cepatlah pergi mengikuti kakak pembimbingmu!" sergah Revi.
Aku terkesiap sebentar, lalu menegakkan tubuhku dengan angkuh di depannya.
"Baik kakak senior." kataku sambil mengibaskan rambutku.
Beberapa suara tawa terdengar riuh rendah sebelum aku berlalu menjauhi kerumunan siswa yang masih menunggu giliran untuk mendapat kelompok.
Setelah semua keriuhan itu, aku sudah bergabung dengan kelompokku. Aku sedikit kikuk karena mereka menatapku dengan penuh telisik.
"Gak nyangka kalo ada putri raja yang sekolah disini." seru gadis yang berambut panjang, "Iya mana namanya Dalilah, gak kekinian!" timpal gadis di sebelahnya.
Kakak pembimbing yang mendengarnya hanya tersenyum maklum, "Mereka dari Jakarta." bisiknya lirih di telingaku.
Aku tersenyum simpul, biasa-biasa saja aku menanggapinya.
"Salam kenal ya dariku, Raden Ayu Dalilah Sekar Kinasih Putri Adiguna Pangarep. Putri mahkota raja Sultan Agung Kaysan Adiguna Pangarep dari kerajaan Hadiningrat. Semoga kalian mau berteman denganku, kalau tidak pun tidak masalah." Aku tersenyum dan membungkuk hormat di hadapan kedua gadis itu.
Mereka berdua saling menatap satu sama lain, lalu mendengus dingin seraya mengulurkan tangannya.
"Mariska."
"Tania."
Aku menggenggam tangan mereka secara berganti. Lalu kenalan dengan teman satu kelompokku yang lain.
Tiba giliran cewek berbibir tipis dan merah muda ini, aku kembali menahan tawa.
"Namamu beneran Asih?" tanyaku penasaran. Ia tersenyum dan menggeleng, "Panggil aja aku Asih. Karena namaku sulit untuk dieja." ujarnya memberi saran.
Aku mengangguk paham, bagiku nama Asih mengingatkan ku pada hantu kuntilanak yang sering mendendangkan lagu asli Kalimantan timur, Indung-indung.
Si cantik ini menghentikan langkahnya, ia memandangku dan bertanya, "Terus aku harus memanggilmu apa? Apa harus dengan nama panjangnya?" Dahinya berkerut, tapi tetap kelihatan cantik.
"Lilah." jawabku. Asih mengangguk, ia mengangkat jari kelingkingnya, "A friends?" Ku lihat manik matanya yang berwarna silver, mata itu indah sekali. Murni tanpa kebohongan.
"Good friends." Jari kelingking kami bertaut, seraya tersenyum bersama. Kami kembali berjalan beriringan mengikuti langkah kakak pembimbing melewati ruangan demi ruangan kelas dan ruang-ruang penting lainnya. Hingga waktunya istirahat tiba, aku memilih untuk ke kantin yang terletak di belakang sekolah.
Bakso adalah menu pilihanku. Ku bawa mangkok yang mengepulkan asap panas itu sambil mencari tempat duduk.
Anak baru memang suka begini, suka di anggap sebagai saingan baru. Apalagi kini aku terintimidasi oleh tatapan si ketua OSIS, Revi.
...HAPPY Reading 😁...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
may
Cie cieee🤭
2023-10-24
0
‼️n
Si ketos dah ngasih tanda tuh....
2023-05-10
0
ᴄᵏ☯︎
anak sekolah tuh menunya ga jauh jauh dari bakso dan soto
2022-08-02
0