"Lho... Mbak Lilah mau pergi lagi? Bukannya dari kemarin udah keluar rumah terus ya, mau kemana lagi? Sudah makan siang?"
Aku melupakan fakta jika Ibunda ini bisa muncul kapan saja dan dimana saja. Termasuk sekarang ini saat aku menunggu dengan gelisah di depan kamarku.
"Lilah mau beli kado untuk Baskara, Bunda." ujarku sambil melihat layar ponselku. Revi masih belum menghubungiku, padahal tadi sepulang sekolah dia sudah berjanji untuk menjemputku di rumah.
Ibunda lantas duduk di sampingku, merapikan rambutku yang panjang.
"Di ikat Mbak, atau potong rambut."
Aku menggeleng cepat. Revi menyukai rambutku yang panjang, katanya lebih romantis untuk dielus sambil mengucapkan kalimat sayangggg lebih panjang dan dalam.
"Kenapa?" tanya Ibunda penasaran.
"Ibunda pernah jatuh cinta?" tanyaku sambil menunggu Revi datang. Tidak mungkin juga aku menjawab jika aku memanjangkan rambutku karena Revi. Ibunda pasti akan tertawa konyol karena jawabanku.
Ibunda mengerutkan keningnya, lalu dengan penuh minat, Ibunda merangkulku.
"Mau tahu siapa cinta pertama Ibunda?" Ibunda menoleh kepadaku saat aku masih menatap lekat layar ponselku.
"Lihat Ibunda kalau diajak bicara Mbak! Jangan lupa unggah-ungguh dalam berbicara!" ujar Ibunda dengan nada memperingatkan. Aku menaruh ponselku dan segera menatap Ibunda.
"Maaf, Ibunda." ujarku menyesal.
"Nungguin siapa Mbak, kelihatannya Mbak gelisah banget!"
Aku tersenyum tipis, "Mas Revi, Bun!"
Ibunda tertawa kecil, "Jadi mau pergi sama mas Revi? Bunga yang di vas kaca di kamar Mbak itu juga bunga dari mas Revi?"
Aku mengangguk mantap, "Jadi siapa cinta pertama Ibunda? Pasti Ayahanda." tebakku langsung.
Ibunda menggeleng sambil tersenyum, "Ayahanda adalah cinta kedua Ibunda. Cinta terakhir! Cinta pertama Ibunda adalah Om Nanang."
Aku membelalakkan mata, "Om Nanang?" tanyaku tak percaya, "Om Nanang adik Ayahanda? Om Nanang yang slalu menjemputku di sekolah?"
Ibunda mengangguk sambil tersenyum kecut, "Iya... Kami mempunyai kenangan indah masa lalu, tapi itu sudah lama sekali saat Ibunda dan Om Nanang berusia belasan tahun. Semua anggota keluarga sepakat untuk tidak membahasnya lagi, apalagi kami sudah mempunyai kehidupan rumah tangga sendiri. Hanya saja karena Mbak Lilah bertanya, Ibunda harus menjawabnya dengan jujur."
Om Nanang? Jomblowan dengan ketampanan maksimal itu adalah mantan kekasih Ibunda.
Jadi selama ini, keterlibatan Om Nanang dalam duniaku ada sangkut pautnya dengan Ibunda. Sungguh mencengangkan fakta ini. Pelukanku adalah pelukan hangat yang mengingatkan Om Nanang kepada Ibunda.
"Kaget ya?" tanya Ibunda, masih dengan senyuman yang manis. Sama sekali tidak keberatan membicarakan mantan kekasihnya di depan putrinya yang menjadi korban atas nama cinta lama belum kelar.
"Lilah gak kaget, Lilah cuma gak nyangka kalau Om Nanang, Ayahanda dan Ibunda terlibat dalam cinta segitiga! Itu memusingkan kepala, Bun." uraiku panjang dengan wajah penuh tanda tanya besar.
Ibunda tertawa kecil, "Terlalu banyak tahu membuatmu tidak bisa tidur nyenyak Mbak!" Setelah mengucapkan itu, Ibunda berlalu begitu saja tanpa menjelaskan lebih detail mengenai perjalanan cintanya.
Sekarang yang aku pikirkan adalah Om Nanang. Apa Om ku itu menganggapku sebagai miniatur Ibunda? Kalau iya, sungguh betapa tidak nyamannya aku.
Om Nanang dengan segala fantasinya tentang Ibunda! Membuatku menjadi pelampiasan cintanya. Tanpa sadar aku bergidik ngeri.
***
Lima belas menit kemudian, Revi datang ke rumah. Ia membantuku mengenakan helm. Sungguh, yang begini saja membuatku berbunga-bunga.
"Jadi mau cari apa tuan putri?" tanya Revi sebelum naik ke motornya.
"Sepatu!" jawabku singkat.
"Beruntung juga Baskara punya sahabat sejati kayak kamu!"
Aku tertawa garing, "Apa kamu gak beruntung karena berhasil memacariku?"
Revi tersenyum samar, "Aku sudah berusaha, jika aku berhasil memacarimu itu adalah buah dari usahaku." Ia naik ke atas motornya lalu memintaku untuk naik ke atas motor.
Revi menggeber motornya keluar dari gerbang rumah.
Seperti motor sport pada umumnya, jok motor ini sedikit nungging. Pinggangku pasti akan pegal-pegal jika berjam-jam harus duduk canggung di atas motornya sembari menjaga jarak aman.
"Aku ini pacarmu atau tukang ojek! Jauh amat duduknya." protes Revi saat kami berhenti di perempatan jalan.
"Terus mau kamu apa? Lagian gak mungkin aku peluk kamu? Kalau Ayahanda lihat gimana? Kamu gak malu?" sanggahku cepat.
Terlihat Revi mendengus kesal, "Paling gak pegang punggungku, kalau aku ngebut terus kamu terjungkal gimana? Aku juga yang kena marah paduka raja."
Revi menggeber motornya saat lampu merah berganti dengan lampu hijau.
Aku mendesis dan terpekik ketika merasa hampir terjungkal, segera saja aku memegangi punggung Revi demi mempertahankan masa depan.
Motor besar ini melesat di penghujung sore. Setengah jam kemudian motor Revi berhenti di area parkir sebuah mall. Aku tersenyum simpul. Mall milik keluarga.
Aku turun dari motor dengan susah payah. Lalu membuka helm dan menyerahkannya pada Revi.
"Kamu punya motor bebek gak?" tanyaku penasaran.
"Emang bebek bisa di tunggangi?"
Revi menyeringai jail, ia menatapku. Dengan tangan luwes ia merapikan rambutku. Aku lantas tersipu malu.
Tuhan, apa aku terburu-buru menyimpulkan jika ini cinta. Semoga aku tidak salah langkah. Jika iya, tolong salahkan saja hatiku yang menyukai sesuatu yang tak kasat mata seperti cinta.
"Ayo buruan masuk. Aku gak bisa bawa kamu sampai larut malam soalnya!" Revi menggandeng tanganku, dengan sikap malu-malu, aku mengikutinya. Ia pasti tahu betul dimana aku harus membeli sepatu untuk Baskara.
Benar saja, ia membawaku ke salah satu store penjual sepatu anak muda.
Revi melepas tanganku, lalu dengan asyik melihat sepatu yang di display.
"Boys will be boys." gumamku sembari memilih sepatu untuk Baskara. Dia menyukai sesuatu yang hype. Maka sepatu model kekinian adalah pilihannya.
"Udah dapet?" tanya Revi setelah selesai melihat-lihat sepatu yang bertengger manis di etalase. Terlihat ia juga membawa satu kardus besar sepatu bermerk terkenal.
"Udah." jawabku sembari menunjuk kardus sepatu yang sedang disiapkan oleh pramuniaga.
"Yaudah sini aku bayar sekalian!" ujar Revi sambil menghampiri pramuniaga.
Aku melongo, dengan cepat aku menolak permintaan Revi.
"Jangan! Itu kado dariku untuk Baskara. Kalau kamu yang bayar itu artinya kado darimu!"
"Sama aja! Kita kan pacaran! Nanti kartu ucapannya di tulis, dari Dalilah dan pacar tersayang!"
"Pengki!" batinku bersungut-sungut.
Tak berapa lama kemudian, dua sepatu pesanan Revi siap dibawa pulang. Laki-laki itu tersenyum manis seraya menenteng dua paper bag di tangan kanannya.
"Sekarang cari sepatu buat kamu!"
Hening sejenak. Aku menatap Revi dengan pandangan bingung. Apa aku tidak salah dengar? Uang jajan cowok ini berapa sih? Dua sepatu itu saja sudah habis satu juta lebih. Sekarang dengan entengnya mau membelikan aku sepatu juga. Kenapa tidak sedaritadi nawarinya. Kan aku juga bisa milih!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
maytrike risky
Mas nanang😭
2023-10-24
0
bunga cinta
jangan jangan jodoh lilah om nanang
2023-01-27
1
‼️n
ealah.....ternyata mb lillah jg mo sepatu to????
2022-08-12
0