Acara resmi wisuda sudah selesai. Sekarang para wisudawan berfoto di luar gedung bersama teman, keluarga, atau sahabat. Ada yang berpelukan sambil menangis haru, ada pula yang bersiap-siap untuk melakukan konvoi bersama.
Aku tersenyum, lalu menghampiri keluargaku yang menungguku di parkiran.
Sejenak aku menoleh ke arah gedung SMP sebelum masuk ke dalam mobil. Mengingat-ingat lagi kenangan yang pernah terjadi di sekolah ini. Tanpa sadar aku tersenyum, banyak kejadian-kejadian yang aku alami dan akan kenangan indah semasa sekolah. Kelak jika aku dewasa nanti aku akan merindukan Dalilah anak SMP yang apa adanya dan bebas.
Suryawijaya menarikku, lalu menutup pintu mobil dengan cepat. "Sudah waktunya aku tidak perlu menjaga Mbak dari mas Bimo!" Aku melengos tak menghiraukan ucapan Suryawijaya.
Perlahan mobil keluar dari gerbang sekolah. Meninggalkan kemeriahan yang masih terjadi di gedung sekolah.
Dalam perjalanan pulang, aku bercerita tentang Baskara yang akan mengikutiku dimanapun sekolah yang aku pilih.
Ibunda mengerutkan kening dan berkata. "Baskara mungkin suka dengan kamu, Mbak!"
Seketika aku berlonjak kaget---tak terima, usia kami hanya selisih satu tahun. Tidak mungkin dia sudah memainkan hatinya untuk persahabatan ini.
"Dulu namanya cinta monyet, Mbak! Tapi kalau sekarang namanya friends zone. Dari persahabatan menjadi cinta." ujar Ibunda sambil tersenyum, lalu matanya mengerjap jenaka.
"Ibunda jangan sok gaul! Aku dan Baskara ini cuma sahabatan, Bun. Lagian Dalilah gak punya teman perempuan karena pasti mereka merasa aku ini menjadi saingan!" ujarku dengan raut wajah muram.
Alasan-alasan mereka yang menolakku cukup klasik karena aku ini anak Raja, anak yang taat peraturan, gak gaul, atau tidak bisa merakyat karena status gelar yang aku sandang. Padahal mereka tidak tahu siap aku, justru aku inilah anak Raja yang merakyat. Hobiku setiap Minggu adalah ke pasar ikut Ibunda beli sayuran sekaligus mengamati kondisi pasar agar Ibunda tahu mana yang harus di perbaiki. Sebagai bonusnya, Ibunda membebaskan ku membeli jajanan pasar. Dan, yang paling aku sukai adalah Klepon.
"Terus Mbak milih SMA mana? Standar internasional di kota ini hanya ada Al Azhar, Budi Mulia, atau SMA negeri 3 saja?" tanya Ibunda dengan nada menawari sekaligus memutuskan sendiri pilihannya.
Aku berfikir cukup lama, Al Azhar memang sekolah standar internasional tapi memakai jilbab, sedangkan keluargaku adalah penganut Islam kejawen. Bisa ribet urusannya kalau aku bawa menyan ke sekolah atau bunga ssesaji. Budi Mulia... Jauhnya minta ampun, aku gak tega kalau Ayahanda harus mengantarku ke ujung timur laut kota ini. Apalagi aku tidak diizinkan untuk membawa motor sendiri. Pilihannya memang hanya SMAN 3 yang dekat dengan rumah dan sekolah Suryawijaya dan Pandu Mahendra.
"Mbak tidak perlu pusing memikirkannya karena Ayahanda sudah mendaftar Mbak di salah satu SMA yang disebut Ayahanda." timpal Suryawijaya di siang bolong yang begitu panas.
Aku beringsut maju ke bangku kemudi, tempat dimana Ayahanda tersenyum sambil fokus mengemudi.
"Maaf Lilah, Ayahanda dan Ibunda sudah memutuskan beberapa hari setelah pengumuman kelulusan waktu itu. Besok kita hanya perlu datang untuk menyerahkan berkas-berkasnya." ujar Ayahanda lugas. Seketika aku berangsur mundur dan duduk lemas di sebelah Suryawijaya.
Hari ini teramat melelahkan karena drama sepatu hak tinggi dan serangkaian acara wisuda. Belum lagi pikiran tentang Baskara yang menyeret-nyeret masalah hati membuat ku merasakan nyeri yang mulai menjalari kepalaku.
Selama tiga tahun di SMP, hanya Baskara yang slalu berjalan di belakangku. Menemaniku dan mengajariku bermain basket! Sungguh permainan yang menyenangkan diluar kebiasaan ku.
***
Suasana di ruang keluarga sangat ramai, karena malam ini Ibunda merayakan kelulusan ku dengan mengundang sepupuku yang jumlahnya banyak sekali. Aku mendapat hadiah dari Om ku yang berjumlah sebelas orang. Bisa di bayangkan berapa banyak sepupuku, empat diantaranya adalah saudara kembar. Mereka adalah anak Om Sadewa dan Om Nakula.
Anak Om Sadewa berwajah blesteran Jawa-Australia. Namanya, Arkananta dan Mahardika, Om Sadewa memang sengaja tidak memberi nama yang begitu sama dengan alasan sepele---agar tidak keliru. Tentu saja dengan gelar Raden Mas di depannya karena Om Sadewa juga seorang pangeran.
Adik Ibunda juga bule, Om Keenan dan Bulik Kyle. Meski panggilannya Bulik, Kyle ini baru anak SMP sekelas dengan Suryawijaya. Sungguh malang nasibnya, cantik, belia tapi panggilnya Bulik! Menggelikan. Dan, Bulik Kyle ada di depanku sekarang memegang buku. Mengerjakan PR.
"Ayo Bulik, makan dululah." ujarku sambil menyodorkan roti buatan Oma.
"Ish..." Bulik Kyle mendesis lalu menyambar roti yang aku ulurkan,
"Terimakasih, Mbak." ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari tulisan-tulisan di buku tulisnya.
"Tugas apa sih? Serius banget."
Aku berusaha mengintip tulisannya.
Bulik Kyle mendesis lagi. "Biasa pak Tono!" tandasnya sebelum menepuk-nepukkan sampul buku di jidatnya. "Susah banget Mbak, dimana mas Surya?" tanya Bulik Kyle sambil mengedarkan pandangannya di kerumunan orang-orang yang asyik menikmati kue-kue buat Oma.
"Di kamar. Mungkin ngerjain tugas yang sama." jawabku tidak pasti, karena sejak tadi siang Suryawijaya memilih menyembunyikan diri di kamar. Melakukan hal-hal yang kadang membuatku ingin mengacak-acaknya rambutnya. Suryawijaya memang berbeda denganku, dia lebih memilih menyendiri ketimbang bergabung dengan kami. Dia... kata Ibunda mengingatkannya pada seseorang.
Bulik Kyle berdiri, ia mengambil beberapa kue sebelum menghilang dari ruang keluarga.
Aku menghampiri Sherina dan Shenina, si kembar yang memiliki sifat cuek, dan jujur apa adanya tanpa tedeng aling-aling. Apapun yang keluar dari mulut mereka slalu ngeselin seperti kali ini.
"Yee... Yee... Mbak Lilah udah SMA, kata Mama anak SMA sudah boleh punya pacar!" seru Shenina. Mataku membulat.
Tolong, ibunya dimana ini. Kenapa bocah SD udah tahu perihal pacar-pacar!
Hello... menstruasi aja belum. Ku cubit pipi Shenina dengan gemas. "Belajar dulu yang rajin, baru ngomongin pacar!" tandasku sambil menyipitkan mata.
"Kata Mama, Mbak Lilah bakal sulit punya pacar karena takut dengan Eyang Kakung dan Ayahanda Raja." bisik Shenina begitu lirih di telingaku.
Seketika itu juga, aku memikirkan ucapan Shenina. Kalau di pikir-pikir bocah ini benar juga. Cowok mana yang berani mendekatiku, cowok mana yang mampu meluluhkan hati Ayahanda dan mengikuti adat kuno di keluargaku. Apalagi, sopan santun sekarang terancam langka, lebihnya lagi dalam keluargaku harus siap sedia berkata "sendiko dhawuh" di setiap saat di setiap waktu.
Mendadak aku khawatir, tapi aku gak mau pusing karena aku masih lima belas tahun. Aku belum memikirkan soal pacar, aku mau sekolah yang rajin, bikin Ayahanda bangga karena prestasiku dan mengejar cita-citaku setinggi langit biru.
Aku kembali bersenang-senang setelah menghabiskan waktu di kamar mandi selama sepuluh menit. Aku berkumpul bersama sepupuku yang lain, bersendau gurau dengan bebas sebelum aku berusia delapan belas tahun. Karena diusia itu aku akan di hadapkan pada keputusan besar untuk memilih. Entah memilih pacar, memilih jurusan perkuliahan, atau memilih takdirku yang sudah di atur oleh sang hyang jagad.
Aku putri mahkota yang terkadang bimbang untuk menentukan pilihan. Aku bimbang dengan jati diriku. Kadang aku ingin menjadi Dalilah rakyat biasa, kadang aku ingin menjadi seorang putri yang di idolakan banyak orang. Tapi, menjadi putri mahkota banyak syaratnya. Sebagian syaratnya sudah Ayahanda dan Ibunda ajarkan. Hanya saja, aku kadang bosan melakukannya.
...Happy reading....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Endang Khairunnisa
siapa istri sadewa, irene kah
2023-11-29
0
may
Tolong😭
2023-10-24
0
may
Jadi sedih😢
2023-10-24
0