Hadiah Dari Tuhan
Bel berbunyi sangat kencang, membuat jantungku semakin terpacu. Aku terus berlari, gerbang sekolah terlihat hampir ditutup. Dengan kekuatan penuh, aku mengerahkan seluruh tenagaku agar bisa segera melewatinya. Aku agak sedikit lega meskipun terlambat dua menit. Pak Soleh, sang penjaga gerbang, masih bersedia menunggu.
"Cepat masuk, sebelum guru kamu sudah ada di kelas."
"Baik, Pak. Terima kasih."
Pak Soleh langsung menutup pintu gerbang sekolah. Aku bergegas menuju kelas. Suara teman-teman terdengar sampai ke luar kelas. Itu berarti Bu Lani, guru yang mengajar di jam pertama, belum masuk. Saat hendak melangkah masuk, seorang teman menahanku di pintu. Ia memberikan sepucuk amplop berwarna ungu muda.
"Kiah, ini dari Jeri."
"Untuk Rona ya?"
"Coba baca dulu, aku juga nggak tahu pasti. Bisa jadi untuk Rona, tapi dia memintaku untuk memberikannya padamu."
Surat tersebut kuambil lalu kumasukkan ke dalam tas. Aku langsung masuk menuju tempat duduk. Rona tidak ada di kelas, tasnya pun belum ada di laci meja. Apa mungkin dia tidak hadir hari ini?
"An, Rona nggak masuk ya?" tanyaku kepada Ana, teman yang duduk di meja sebelah.
"Mungkin iya, soalnya dari tadi belum kelihatan. Tasnya ada nggak?"
"Nggak ada. Tapi biasanya kalau dia nggak masuk, ayahnya selalu ngantar surat izin."
"Jangan-jangan dia juga terlambat."
"Kalau terlambat berarti nggak bisa masuk lagi. Kiah juga hampir aja tadi nggak bisa masuk, untung Pak Soleh masih ngizinin."
Rona adalah sahabat dekatku. Sejak kelas satu SMA kami duduk berdekatan. Di kelas dua ini pun kami tetap memilih untuk bersama. Karena keakraban kami, teman-teman sering mengira kami bersaudara. Kami selalu berbagi cerita, suka dan duka. Belakangan ini, ia sering tidak masuk karena sakit. Maagnya sering kambuh. Di sekolah, ia pernah mengeluhkan pusing dan rasa mual yang cukup parah.
"Ki, PR matematika udah?" tanya Ana.
"Udah."
"Lihat ya?"
"Kenapa, belum ngerjain?"
"Udah sih, cuma pengin nyocokin aja, siapa tahu beda."
Aku mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas. Buku PR matematika kuberikan pada Ana. Saat mengeluarkan buku, tanpa sengaja surat dari Jeri terjatuh tepat di bawah meja. Aku langsung mengambilnya dan meletakkannya di dalam laci. Semua kulakukan dengan cepat, tapi Ana sepertinya melihat kejadian itu.
"Dapat surat cinta," ledek Ana.
"Siapa, An? Dapat surat cinta?" tanya Tari, teman sebangku Ana. Ana tidak menjawab, hanya tersenyum dan melirik ke arahku. Tentu saja Tari langsung mengerti.
"Itu titipan seseorang, bukan untukku," jawabku membela diri.
"Ih, nggak ngaku lagi. Apa perlu kami baca bareng-bareng?" ucap Ana menggoda.
"Udah, nanti Bu Lani masuk. Cepet lihat PR-nya," ucapku mencoba mengalihkan perhatian mereka. Mendengar nama Bu Lani, Ana buru-buru membuka buku PR matematikanya dan mulai membandingkan jawabannya dengan punyaku.
"Kiah, nomor tiga kita beda," ucap Ana. Aku berdiri dan mendekati mejanya. Memang, jawaban kami berbeda.
"Iya, Ana. Rumus kita juga beda."
"Coba lihat punya Tari."
Tari memberikan buku PR-nya."Ini beda lagi," ucap Ana.
Kami bertiga jadi bingung."Siapa yang salah, siapa yang benar ini?"
"Pakar matematika biasanya Kiah. Apa kita ikut jawaban Kiah aja?"
"Nggak dulu, males. Yang penting ada jawabannya," ucap Tari santai.
"Dasar Tari, mestinya bukan asal jawab, tapi harus benar juga."
"Sudahlah, Ana. Jawabanmu nggak usah diganti, takut nggak sempat. Belum tentu juga jawabanku benar semua."
"Iya juga. Siapa tahu justru jawabanku yang benar semua!"
Ana mengembalikan buku PR-ku, ia tidak jadi mengganti jawabannya. Di meja belakang, beberapa teman laki-laki tampak sibuk menyalin PR. Kalau sampai ketahuan Bu Lani, mereka bisa kena sanksi. Aku meletakkan buku PR ke dalam laci meja. Tanganku menyentuh surat yang sebelumnya kuletakkan di sana. Rasa penasaran membuatku ingin tahu isinya.
Aku membuka amplop itu. Wangi harum menyeruak keluar. Isinya selembar kertas berwarna ungu muda, senada dengan amplopnya. Aku selipkan surat itu ke dalam buku pelajaran matematika agar yang lain tidak bisa melihat. Sekilas, kulihat ada tanda tangan di bagian bawah dengan nama: "Jeri Prakoso". Mungkin ini memang untuk Rona, karena setahuku, Jeri adalah pacar Rona. Tapi aku ingat pesan teman yang menitipkan surat ini untukku. Tanggal surat menunjukkan surat ini ditulis lima hari yang lalu. Bu Lani belum juga masuk ke kelas. Ini kesempatan bagiku untuk membaca isi surat tersebut.
Palembang, 11 Desember 1995
Menjumpai Zakiah,
Malam begitu gelap, tapi mataku
tak bisa terpejam. Bayangan wajah manismu
selalu hadir di pelupuk mata.
Hari-hariku terusik, candumu membuatku
benar-benar dimabuk asmara.
Kiah, aku ingin mengatakan langsung padamu,
tapi aku yakin engkau akan menolak rasaku ini
dengan alasan persahabatan.
Jujur, aku ungkapkan padamu,
aku hanya menganggapnya teman biasa saja.
Aku hanya berharap lebih padamu seorang.
Aku merasa sakit yang begitu hebat
bila tidak bisa memilikimu.
Hanya dirimu yang mampu menyembuhkannya.
Aku ingin engkau menjadi milikku selamanya.
Kiah, tolong mengerti perasaanku ini.
Terimalah aku menjadi kekasihmu.
Siapapun, tak ada yang bisa menghalangi.
Kiah, surat ini tidak perlu dibalas.
Aku takut engkau merasa lelah berpikir dan menulis balasan.
Aku tidak menginginkan itu.
Cukup engkau mengangguk di hadapanku,
itu saja sudah cukup bagiku,
sebagai pertanda rasa cinta ini menemukan jalannya.
Jeri Prakoso
Ternyata surat tersebut memang ditujukan untukku. Kata-katanya yang manis bisa membuat siapa pun yang membacanya terhanyut, sekaligus merasa takut. Sepertinya ia sangat terobsesi pada perasaannya sendiri. Aku sama sekali tidak bersimpati. Hatiku begitu marah dan kesal. Hadirnya surat ini menunjukkan bahwa ia telah mengkhianati hubungan dengan Rona, sahabatku.
“Assalamualaikum,” suara salam dari Bu Lani membuatku terkejut. Seperti biasa, kami menjawab salamnya serentak. Bu Lani masuk dan duduk di kursi, membuka buku absen dan mulai memanggil nama kami satu per satu. Surat dari Jeri langsung kusimpan kembali ke dalam tas.
Tok, tok, tok — pintu diketuk tiga kali, lalu seseorang membukanya. Ternyata Jeri.
“Masuk,” ucap Bu Lani. Jeri masuk dengan terburu-buru. Tangan kanannya lecet dan mengeluarkan sedikit darah.
“Kenapa tanganmu, Jer?” tanya Bu Lani.
“Terkena cakaran kucing peliharaan tetangga, Bu,” jawabnya gugup.
“Obati dulu sekarang, takut bahaya. Minta obat ke Pak Burhan di ruang UKS. Tapi setelah itu langsung kembali ke kelas,” ucap Bu Lani. Ia ternyata cukup peduli, meskipun saat mengajar terkenal tegas.
Pelajaran dimulai. Kami diminta mengumpulkan buku PR. Setelah buku dikumpulkan, pembahasan dilakukan bersama. Bu Lani meminta tiga orang untuk menjawab PR di papan tulis. Kali ini aku tidak mendapat giliran.
Sepuluh menit kemudian, pintu diketuk lagi. Jeri muncul dengan luka yang sudah diolesi obat merah.
“Sudah diobati, Bu,” katanya.
“Silakan duduk,” jawab Bu Lani.
Jeri duduk, tiga meja dari tempat dudukku. Aku ingin sekali menatapnya. Saat kulirik, ia tampak gelisah. Wajahnya pucat. Aku kembali memperhatikan Bu Lani.
“Coba nomor tiga. Ini belum ada yang tepat! Ada yang mau coba lagi?”
Tidak ada yang menjawab.
“Kiah, ini ada yang sama tidak jawabannya?” tanya Bu Lani.
“Lain, Bu.”
“Ambil bukunya, tulis di depan.”
Aku maju, menuliskan jawaban di papan tulis. Jawabannya panjang, sampai harus menghapus sebagian tulisan sebelumnya.
“Inilah jawaban yang tepat,” ucap Bu Lani setelah beberapa teman menunjukkan jawabannya sama denganku.
Aku duduk kembali. Ana melirikku, tampak menyesal karena tidak mengganti jawabannya. Aku tersenyum kepadanya.
Bel berbunyi nyaring. Seketika kantin diserbu siswa. Aku ikut menuju ke sana. Kulihat Jeri sendirian, berjalan ke arahku. Dengan cepat, kutarik tangan temanku dan memutar arah. Aku tidak ingin berpapasan dengannya. Hatiku benar-benar tidak suka dengan tindakannya.
Rona adalah sahabatku. Tidak mungkin aku mengkhianati persahabatan kami demi seorang Jeri. Ingin rasanya meluapkan amarahku, tapi semua itu hanya kupendam. Aku masih ingin menjaga rasa agar tidak mengganggu persahabatanku dengan Rona. Cuaca mendung, langit gelap, angin berhembus kencang. Dahan pohon patah, petir menyambar, dan gerimis mulai turun. Kami berlarian kembali ke kelas. Di tengah badai itu, terdengar teriakan histeris dari arah kamar mandi. Kami semua ketakutan. Mungkin ada yang terkena sambaran petir, karena suara itu datang bersamaan dengan kilatan yang menyambar.
Tiga orang teman berlari masuk ke kelas, wajah mereka pucat. Ada yang pingsan, katanya. Seorang siswi ditemukan dalam keadaan tengkurap di kamar mandi yang sudah lama tak digunakan. Pintu kamar mandi itu terbuka karena angin. Rasa penasaran membuat aku dan beberapa teman ingin melihat langsung. Tapi kerumunan terlalu padat. Kami hanya bisa mendengar cerita dari mereka yang melihat langsung. Seorang siswi tergeletak tak sadarkan diri. Siapa dia belum bisa dipastikan...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
𝚀ͬ𝙽ͥ𝚊ᷦ𝚛ᷜ𝚊ͥ
bagus ka, mampir jg ya ka ke chat story'baru. Judulya *THAT MY HUSBAND IT'S SO SPESIAL* Ditunggu ya Ka🤗
2022-04-04
2
heri susanto
first time baca di noveltoon
2021-11-23
2
Panggil saja Kanjeng Ratu🤪
like, rate and fav...
ditunggu feedback-nya
salam dari "memilih cinta yang sempurna"
2021-10-09
1