Bab 16

Haris telah menantikan kami di stasiun, katanya sejak lima belas menit yang lalu ia sudah menunggu, ia mengajak seorang teman, namanya Rio. Haris dan Rio membantu membawakan barang-barang masuk kedalam mobil, tidak begitu lama kami langsung meninggalkan stasiun menuju rumah nenek.

Haris adalah anak umi dan abi paling bungsu, saat masih kecil kami adalah teman bermain, tetapi sekarang karena sudah jarang bertemu obrolan jadi agak sedikit kaku, ia masih kuliah, menurutnya tahun ini masuk semester

akhir dan sedang melaksanakan proses penyusunan skripsi. Awal kuliah kami masuk di tahun yang sama, aku lebih cepat menyelesaikan pendidikan karena memilih program diploma.

Suasana agak sedikit berbeda, disini udara pagi terasa begitu sejuk, ada kawasan perbukitan yang menghijau. Sudah sekitar dua tahunan kami tidak mengunjungi kota ini, sejak diterima bekerja rasanya baru kali ini kami kembali lagi. Perjalanan tiga puluh menit, kami tiba dirumah nenek. Haris dan Rio mengantarkan barang kami kedalam rumah, setelah itu mereka pamit karena akan menonton pertandingan bola kaki di kampus nya.

Nenek sudah menunggu kami, ia berdiri berdiri di teras depan,  tubuhnya berdiri tidak seperti dulu lagi, kekuatan tubuh mulai berkurang, wajah yang tak muda lagi, terlihat jelas banyak menyimpan sebuah misteri kehidupan dibalik senyumnya, sebuah senyum yang hadir tanpa paksaan, menyiratkan kerinduan yang mendalam pada buah hatinya. Aku menjadi saksi bisu menyaksikan tangis seorang ibu dan anak yang saling melepas kerinduan, mereka saling merangkul satu sama lainnya, seolah-oleh tidak akan dilepas lagi, dan rangkulan itupun beralih padaku.

“Umi sama Abi mana Nek?” tanya ku

“Melayat, ada tetangga yang didekat gerbang komplek meninggal”.

“Pantas saja ramai di sana banyak orang ketika kami lewat”.

Nenek mengajak kami masuk ke kamarnya, ibu dan nenek masih asik bercerita, aku mengambil tas koper yang diletakkan Haris diruang tengah. Ibu menyuruhku menghubungi Bagas, untuk memberi tahu bahwa kami sudah tiba dirumah nenek. Kulihat di Hp tiga panggilan tak terjawab, dua dari Bagas dan satu dari nomor tak dikenal. Sesuai permintaan ibu aku langsung menghubungi Bagas, setelah itu aku langsung mandi karena badan mulai merasa gerah.

Nenek mengajak kami ke dapur, ada mbak Siti yang sedang menyusun piring-piring bersih. Mbak Siti adalah tetangga jauh nenek, kami bertemu sejak terakhir berkunjung ke rumah nenek, ternyata sampai sekarang ia masih membantu nenek dan umi dirumah. Nenek meminta mbak Siti membuka kardus yang berisi pempek kemudian pempek tersebut disusunnya di lemari es. Ibu dan Mbak Siti berbincang-bincang, sepertinya banyak yang jadi topik pembicaraan mereka, aku pamit ke kamar nenek, rasa lelah selama diperjalanan membuatku ingin membaringkan badan sejenak.

“Sarapan dulu, habis itu baru istirahat, tidur juga nggak pa-pa.” Nenek menyuruh kami sarapan, bukan hanya menyuruh, malah ia sendiri yang ikut menyiapkan.

“Iya Mbak Kia, nanti masuk angin”sahut Mbak Siti.

“Nenek dan mbak Siti sekalian sarapan”, ajak ku.

“Sudah tadi, ayo ajak Ibu mu aja, kami semua sudah sarapan”, jawab Mbak Siti.

Aku kaget mendengar suara hp yang begitu kencang, panggilan masuk dari Mbak Lili, begitu akan ku angkat, nada panggilannya terhenti. Kulihat ada SMS masuk juga, sudah beberapa jam yang lalu mbak Lili mengirim SMS.

“Assalamualaikum Ki, kalau bisa Mbak titip pisang coklat ya, 3 kg, minta nomor rekening, uangnya Mbak transfer."

 

 

***

 

Ibu membangunkan ku, udara pagi begitu sejuk, hembusannya membuat ingin tertidur lagi, tapi azan subuh telah berkumandang, aku harus segera melaksanakan shalat subuh. Sekitar pukul tujuh pagi, kami bersiap-siap untuk pergi, semalam Haris mengusulkan untuk jalan-jalan ke pantai, tapi letaknya cukup jauh dari rumah, bisa menghabiskan sekitar dua jam perjalanan.

Kak Rifka anak tertua umi dan abi, ikut bersama suami, dan anak-anaknya yang berusia delapan tahun. Namanya Fani dan Fuad, mereka adalah saudara kembar. Kak Rifka dan keluarganya tidak tinggal serumah dengan umi, rumahnya tidak begitu jauh, hanya terpisah beberapa rumah. Sebelum pukul tujuh mereka sudah berkumpul disini, perbekalan yang dibawah cukup banyak, rencananya kami akan makan siang di sekitar lokasi yang dikunjungi.

Semua pintu-pintu dikunci, umi sampai beberapa kali memeriksa dapur, takut kompor masih menyalah atau keran air masih terbuka, karena tidak ada yang tinggal dirumah, kami semua akan ikut termasuk nenek. Perjalanan kali ini menyusuri daerah perbukitan, lereng-lereng bukit warna hijau menghampar berselang dengan warna yang menguning, begitu luas seluas mata memandang, hawa sejuk di pagi hari masih begitu kental terasa.

Para petani asik bercengkrama sambil melakukan aktivitas di sawah, membersihkan rumput liar disekitar tanaman padi, hanya sebagian saja yang terlihat mulai melakukan panen. Mobil dan Sepeda motor mulai berlalu lalang, tapi suasananya tidak sepadat kendaraan di kota, kami melewati beberapa pengayuh sepeda, ia membonceng hasil panen, untaian padi yang menguning melambai-lambai di belakang sepedanya. Sesekali perjalanan kami terhambat, ada serombongan gerobak sapi yang  mengangkut hasil panen lewat, suara yang keluar seakan gerobak tersebut memiliki sebuah klakson.

“Ooo……!”.

Suaranya unik, Fani dan Fuad kelihatan sangat senang, mereka meniru suara sapi tersebut. Haris memberikan jalan serta memperlambat laju mobil, seorang bapak yang mengendarai gerobak tersebut tersenyum pada kami, ia mengucapkan terima kasih, lama-lama mataku terasa berat, hembusan angin diperjalanan sangat memanjakan.

Mataku terbuka, suara senandung Fani dan Fuad yang sangat ceria membangunkan ku, kulihat jam di hp, tak terasa hampir satu jam aku tertidur, tidak lama lagi kami akan tiba ditempat yang dituju.

Tiba di lokasi pengunjung sudah ramai, ini bertepatan dengan libur akhir pekan. Sebuah tikar digelar, kami memilih tempat disekitar pepohonan, sehingga sinar matahari tidak bisa menembus langsung. Nenek, ibu,  dan yang lainnya bercengkrama sambil menikmati keindahan panorama pantai. Pemandangan yang sungguh menawan, pasir

putih bersih sepanjang bibir pantai, ombak meliuk begitu lembut menyapu, suara hentakannya begitu memecah  setelah menghantam dinding batu karang.

Haris asik bermain dengan Fuad, mereka kejar-kejaran disekitar pantai, aku berjalan di atas pasir, mencoba berjalan sedikit lebih ketengah. Aku menggulung celana yang kupakai sampai ke lutut, agar tidak basah, percikan-percikan air mengenai wajahku. Fani mengajakku bermain pasir, ia membuat sebuah istana dari pasir, tertarik dengan ajakan Fani aku segera berjalan kearahnya. Aku jatuh ke air, Fuad yang sedang berlarian menabrak ku, airnya tidak dalam, hanya semata kaki, kini bukan hanya wajah yang basah, tapi semua pakaianku ikut basah.

“Ayo tante sekalian kita mandi,” Fuad malah menarik ku ketengah.

Terlanjur basah, akhirnya ku turuti saja keinginannya, ia memercikkan air padaku, Haris dan Fani menyusul, mereka tidak mau ketinggalan bermain air, pakaian kami semua basah, tapi kami telah mempersiapkannya dari rumah, karena memang tujuannya ingin bermain-main dengan air di pantai ini.

“Fani istananya mana…?”

“Diterjang ombak.” Fani tersenyum kecut, bibirnya setengah manyun.

“Nanti Tante temani, kita buat istana yang lebih besar lagi.”

Menjelang tengah hari, udara semakin panas, nenek dan umi memanggil kami, mereka sedang asik makan perbekalan yang dibawah dari rumah, kami berlarian menemui panggilan tersebut, makan siang kali ini terasa begitu nikmat.

 

 

***

 

Hari ini kami keluar lagi, tapi bukan untuk mengunjungi pantai seperti dua hari kemarin, hari ini tujuannya untuk mencari oleh-oleh, khususnya untuk memenuhi pesanan tante, dan mbak Lili. Keripik pisang coklat, makanan yang terbuat dari olahan pisang ini memang banyak digemari orang. Kami pergi hanya berempat, Aku, ibu dan umi, sementara Haris yang membawa mobil. Kami melewati banyak toko-toko suvenir, dari dalam mobil kulihat berbagai jenis kerajinan dari rotan dipajang di depan toko.

Sebelum memenuhi tujuan utama, Haris mengajak kami berkeliling, menurutnya disekitar wilayah tersebut ada juga pantai yang sangat indah, tapi mobil tidak bisa masuk, untuk memasukinya harus melintasi jalan setapak yang agak terjal. Mendengar cerita Bagas tentu saja ibu dan umi menolak, mereka akan kelelahan bila diajak ke sana, Haris hanya menunjukkan jalan masuk menuju pantai tersebut.

Aku tidak begitu tertarik dengan jalan masuk yang ditunjukkan Haris, mataku lebih fokus pada toko-toko suvenir yang ada disekitarnya, banyak kerajinan hasil karya masyarakat sekitar yang dijual di sana, berbagai pernak-pernik semua terbuat dari sisa kerangka kerang. Kami turun, aku bisa melihat secara langsung semua jenis suvenir tersebut, ada bingkai, isinya berbagai jenis kerangka hewan laut kecil-kecil, hiasan lampu, berbagai jenis bros dan aksesoris, gantungan kunci, terakhir aku tertarik melihat tirai yang terbuat dari kerangka keong kecil, kerangka tersebut disusun dalam seutas tali, aku berpikir alangkah banyak sisa kerangka keong yang digunakan untuk membuat tirai ini, ku pilih beberapa gantungan kunci, nanti ini akan ku bagi dengan teman di kantor dan juga teman ditempat pelatihan.

Terpopuler

Comments

Penulis Jelata

Penulis Jelata

Oleh-olehnya bikin ngiler bae, di sini gak ada soalnya😄

2021-06-24

1

Eva Santi Lubis

Eva Santi Lubis

lanjut thor semangat

2021-06-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!