Bab 2

Penjaga sekolah dan guru-guru berlarian menuju kamar mandi, Kami dilarang mendekat, dan diarahkan agar masuk ke dalam kelas masing-masing, sepertinya guru-guru tidak berani mengambil tindakan langsung. Penjaga sekolah memeriksa denyut nadinya

“Innalillahi Wainnailaihi Raji'un, sudah meninggal pak,” ucap pak Soleh

“Jangan dirubah posisinya pak! biarkan polisi dan pihak rumah sakit yang menangani."

Sambil berjalan meninggalkan tempat kejadian tersebut, aku masih bisa mendengar percakapan kepala sekolah yang sedang menghubungi pihak kepolisian dan petugas medis dari rumah sakit. Suasana terasa begitu mencekam, ketakutan dimana-mana, suara ramai dikelas saat jam istirahat berubah seratus delapan puluh derajat, semua berkumpul dan tidak ada yang berani duduk sendirian, tapi yang ada hanya diam membisu dan saling memandang, itulah yang bisa kami lakukan sementara ini.

Aku bergabung dengan Ana dan Tari, dua bangku kami gabung agar bisa duduk bersama. Tiupan angin membanting pintu kelas hingga membuatnya tertutup rapat, persis seperti bantingan orang yang sedang marah besar, alam begitu marahnya dengan kejadian ini, hingga membuat kami semakin ketakutan. Perlahan amukan cuaca mulai berangsur reda, hanya sedikit titik-titik gerimis yang tersisa, udara masih terasa begitu dingin, suara nyaring mobil ambulan dan mobil dinas dari kepolisian memecah telinga, garis pembatas dipasang disekitar lokasi penemuan.

Kami berdiri didepan kelas menyaksikan para polisi yang mengawal petugas medis, mereka membawa jasad siswi tersebut menuju mobil ambulans. Tubuh lunglai bersimbah darah, tas sekolah masih menyangkut di punggungnya, sosok wajah itu membuatku merasa lebih kaget lagi, dia adalah sahabatku “Rona Sumitra.”

Petugas medis langsung menutup tubuh tersebut, inilah pertemuan terakhir kami, petugas medis dengan dikawal ketat pihak kepolisian membawa jenazah tersebut untuk di otopsi. Air mata ku langsung mengalir, terbayang serunya persahabatan kami selama ini, kini kisah itu tidak bisa terulang lagi, ia sudah pergi untuk selamanya “selamat jalan sahabatku Rona” ini sebenarnya bukanlah jalan terbaik untuk mu, tapi takdir sudah berkata lain.

 

***

 

 

Ibu masuk ke kamar, ia membangunkan ku, udara pagi ini sangat dingin, hembusannya terasa sampai menusuk ke tulang, rasa malas memang sedang menggelayuti ku, tidak ada semangat untuk melakukan kegiatan hari ini, apalagi untuk berangkat ke sekolah.

“Kak, shalat dulu sudah pukul setengah enam” ucap ibu.

“Iya bu” aku tetap harus bangun dari tempat tidur dan melaksanakan shalat subuh meski terlambat. Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi, terlebih dahulu ku membersihkan badan, lalu berwudhu, setelah shalat tidak lupa ku panjatkan doa untuk temanku Rona.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, padahal rasanya aku baru saja melaksanakan shalat subuh, kini remang-remang cahaya matahari sudah terlihat meski terhalang oleh tirai jendela kaca di kamarku. Ku buka tirai jendela, cahaya pun langsung bisa menembus masuk, hangatnya mulai terasa  menyentuh.

Ibu masuk ke kamarku lagi, “Kiah, belum siap-siap, sudah hampir jam tujuh nanti terlambat”

“Nggak tahu bu, Kia malas rasanya berat sekali, Kia nggak usah sekolah ya hari ini”

“Kenapa Kia sakit?” sentuhan jari ibu di dahi ku terasa dingin.

“Kayaknya nggak bu, Kia rasanya tidak mau sekolah saja”

“Masih ingat kejadian kemarin ya, sudah tidak apa hari ini tidak usah masuk sekolah dulu, melayat saja tempat Rona nanti ibu yang menemani”

Aku sangat sedih dan merasa kehilangan, ini adalah hari pertama setelah kejadian yang menimpa Rona. Hari ini aku sengaja tidak masuk sekolah, tanpa berkirim surat atau pun berita. Pukul tujuh tiga puluh, seharusnya saat ini aku sudah berada didalam kelas bersama teman-teman dan sedang memperhatikan guru yang sedang mengajar, tapi kali ini dengan ditemani ibu ku langkahkan kaki menuju rumah Rona

Tenda terpasang tepat dihalaman rumah yang bercat hijau muda, kursi-kursi plastik tersusun rapi. Hari masih pagi, pelayat sudah mulai banyak berdatangan. Kami melewati sekumpulan bapak-bapak yang sedang mengobrol, kulihat ada ayah Rona diantara bapak-bapak tersebut, matanya terlihat masih sembab, ia mempersilahkan kami masuk kedalam rumah untuk bertemu dengan istrinya.

Aku dan ibu langsung melangkah masuk kedalam rumah, pemandangan yang kulihat tidak seperti biasanya, ruangan ini terasa begitu lapang, hanya hamparan karpet dengan corak bunga berwarna merah yang dipasang memenuhi ruangan, semua kursi dan meja yang biasanya ada satupun tak terlihat. Kami duduk bergabung dengan pelayat yang lain, keberadaan ibu Rona belum terlihat. Beberapa ibu-ibu akan memulai pembacaan surat yasin, seorang ibu memberikan kami buku yasin, aku dan ibu ikut melantunkan persembahan doa untuk Rona.

Buku yasin ku letakkan kembali, kulihat ibu Rona muncul dari pintu ruang belakang, ia masih menggunakan gamis panjang berwarna coklat muda, kepalanya ia tutupi dengan selendang berwarna putih, matanya terlihat masih basah dengan air mata. Ibu Rona mengambil tempat duduk tidak jauh dari tempat kami duduk, ia didampingi beberapa kerabatnya, kulihat sesekali ia masih menyeka air mata.

Aku mengajak ibu bertemu langsung dengan ibu Rona, kami berdiri dan langsung mendekati tempat duduk ibu Rona, kucium punggung tangannya, Menyadari kehadiranku, Ibu Rona memelukku erat sekali.

“Kiah, Rona Kiah” ucapnya lirih sekali.

“Iya Tante, sabar Tante.” Hanya itu yang bisa ku ucapkan, aku juga rasanya tak mampu lagi mengungkapkan perasaan sedih ini. Air mata mulai mengalir dan terus mengalir, apalagi ketika melihat keadaan ibu Rona. Wajahnya  pucat, kantung mata yang menebal, ia terlihat benar-benar mengalami duka yang sangat mendalam.

Sesaat ibu dan ibu Rona terlibat perbincangan. Seorang perempuan paruh baya datang mendekati ibu Rona, ia ia berkata sangat pelan hingga kami tidak mendengar ucapannya, kemudian ibu Rona pamit pada kami, ia bangkit dari tempat duduknya, lalu beranjak menuju ruang belakang mengikuti perempuan paruh baya tersebut.

Disebelah ibu, ada saudara perempuan ayahnya Rona, namanya Bude Nur, aku kenal betul dengan Bude Nur, karena rumahnya bersebelahan dengan rumah Rona. Bila sedang musim buah jambu, aku dan Rona sering mengambil buah jambu yang ada dibelakang rumah Bude Nur. Ibu berbincang dengan Bude Nur. Aku mendengar percakapan mereka bahwa seharusnya jenazah sudah ada dirumah sejak pukul delapan tadi.

Kulihat jam ditangan sudah menunjukkan pukul Sembilan lewat sepuluh menit. Seharusnya jenazah sudah satu jam yang lalu berada dirumah. Aku tertegun, mendengar percakapan ibu dengan Bude Nur, disaat kepergiaan, jenazahnya pun begitu susah untuk bertemu dengan keluarga, harus melewati beberapa tahap pemeriksaan terlebih dahulu.

 

***

 

Tepat dihari ketiga aku baru beranjak menguatkan langkah menuju sekolah, tragedi berdarah itu benar-benar mempengaruhi pikiran dan perasaan ku. Teman-teman disekolah ternyata sama, mereka juga masih dihantui rasa ketakutan yang mendalam.

Semua siswa tidak berani berjalan disekitar sekolah sendirian, apalagi pergi ke kamar mandi. Garis pembatas yang dipasang pihak kepolisian masih terpasang dengan kokoh, ketika melewatinya, bulu kudukku berdiri, bayangan itu masih mengganggu, suasana menjadi sangat menegangkan.

Pelajaran kedua dimulai pukul sembilan lewat lima belas menit, bu Inayah mulai membuka pertemuan, Mata pelajaran Biologi, ini adalah mata pelajaran favoritku, tapi kali ini aku tidak begitu bersemangat mengikutinya. Ketika bu Inayah sedang menjelaskan materi, ada dua orang polisi masuk ke dalam kelas, mereka didampingi oleh kepala sekolah. Bu Inayah menyambut kedatangan mereka, sepertinya mereka terlibat pembicaraan yang serius, aku duduk di bangku paling depan tapi tidak bisa mendengar begitu jelas pembicaraan mereka.

Tidak lama kepala sekolah memanggil Jeri lalu mengajaknya keluar kelas, Kedua polisi tersebut mengikuti dari belakang. Bu Inayah juga ikut keluar, ia meminta kami untuk tetap tenang dan tidak meninggalkan kelas.

"Kenapa Jeri dipanggil?" bisik Ana yang duduk di sebelahku.

"Nggak tahu.l" jawabku enteng, aku memang tidak tahu dan tidak mau tahu dengan urusan Jeri. Bukan hanya Ana saja yang penasaran dengan kejadian ini, teman-teman lainpun tak kalah ingin tahunya, jiwa detektif meronta.

Rasa penasaran membuat beberapa teman beramai-ramai mendekati jendela kaca. Ana tidak mau ketinggalan, ia berlari dan mencari posis untuk bisa mengintip keluar jendela.

"Kia sini" seru Ana ketika ia berada didepan jendela.

"Sebentar" sebenarnya aku tidak begitu tertarik untuk melihat, apalagi ini menyangkut tentang Jeri. Aku tidak suka dengan tindakan Jeri, ia sudah menghianati Rona sahabatku, hal itu yang membuat ku tidak ingin tahu apa yang terjadi dengannya. Aku masih melanjutkan membuat catatan yang ditugaskan bu guru. Merasa diacuhkan, Ana mendekatiku, ia tidak menghiraukan penolakan. Ana memaksa menghentikan pekerjaanku dan langsung menarik tanganku, dengan terpaksa kuikuti langkah kaki Ana, kami berjalan kearah jendela. Ana mengajakku berdiri tepat didepan jendela, tempat ia berdiri sebelumnya.

"Lihat! ini pasti ada kaitannya dengan Rona" kata Ana lantang.

"Apa iya," aku masih tidak yakin dengan ucapan Ana.

"Siapa lagi yang dekat dengan Rona selama ini, ya pasti Jeri." ucap Ana untuk menguatkan dugaannya. Ucapan Ana didukung oleh teman-teman yang lain, sebagian besar mereka menyangka Jeri dibawah polisi karena ada hubungannya dengan tragedi yang menimpa Rona.

Kulihat bukan hanya dua polisi yang datang ke sekolah, sebagian mereka banyak yang menunggu di luar kelas. Tampak tangan jeri diborgol dan dibawah polisi keluar menuju mobil yang belakangnya berbentuk bak, ia duduk dengan wajah tertunduk diapit oleh beberapa orang polisi. Pantas saja Ana begitu terlihat yakin dengan ucapannya tadi.

"Ayo kita lanjut lagi...!" suara bu Inayah membuat kami kaget, tanpa kami sadari ternyata bu Inayah sudah masuk kedalam kelas lagi. Kami pun membubarkan diri dari kerumunan di sekitar jendela, lalu duduk dikursi masing-masing. Ada yang mencoba bertanya langsung dengan bu Inayah, mengapa Jeri di bawah oleh Polisi, tapi jawaban bu Inayah tidak memuaskan rasa penasaran kami. Bu Inayah Juga belum mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang telah terjadi, pelajaran dilanjutkan kembali sampai waktunya istirahat.

Tidak menunggu waktu yang lama, setelah jam pelajaran berakhir, di saat-saat jam istirahat, cerita penangkapan Jeri mulai menyebar, dan ternyata memang berhubungan dengan kejadian yang menimpa Rona. Teka-teki penyebab hembusan napas terakhir Rona terkuak, ia terkena beberapa tusukan benda tajam, ada yang tepat mengenai jantungnya, hasil penemuan sidik jari terungkap, Jeri Prakoso, sebagai dalang tunggal atas kejadian ini.

Kami semua dibuat kaget, aku sendiri masih merasa tidak percaya, karena kesehariannya Jeri adalah siswa yang baik, ia terlihat biasa dan cenderung dicap sebagai anak mama, dibalik itu, ternyata ia tega melakukan ini pada sahabatku sendiri. Hasil cerita yang berkembang, ternyata Rona hamil, usia kandungannya masuk tiga bulan, ia mendesak Jeri untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Rona mengancam bila tidak ia akan melaporkan perbuatan Jeri pada pihak berwajib, karena desakan tersebut Jeri merasa terancam. Jeri menghabisi Rona tepat di pagi hari ketika suasana sekolah masih sepi.

Akibat perbuatannya Jeri dikeluarkan dari sekolah, ia akan mendapatkan pelajaran terbaik, jeruji besi telah menantikan kedatangannya. Aku sungguh menyesal telah membaca surat darinya, seakan-akan diriku ikut bersalah dalam kejadian ini. Tubuhku terasa lunglai, seperti habis melewati sebuah marah bahaya besar. Ketika bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas ingin cepat pulang, aku teringat dengan surat dari Jeri beberapa hari yang lalu. Begitu tiba dirumah, aku langsung menuju kamar, lalu mengambil surat dari Jeri.

Kupikir akan ku bakar saja surat nya, tapi ibu pasti bertanya-tanya. Akhirnya surat tersebut kusobek kecil-kecil, lalu kumasukkan kedalam kloset, kusiram air sebanyak-banyak nya sampai semua sobekan tak terlihat. Satu pun tidak mengetahui perihal surat yang dikirim Jeri padaku, termasuk temannya yang menjadi perantara, aku juga tidak menceritakan pada siapapun, biarlah ini ku simpan sendiri, aku tidak ingin menambah cerita baru lagi.

Wajah Rona membayangiku, sejak menjalin hubungan dengan Jeri ia terlihat bahagia, hari-harinya dijalani dengan begitu bersemangat, ia hadir ke sekolah selalu paling awal diantara teman-teman lainnya. Kadang aku terpikir ingin merasakan hubungan seperti yang ia jalani, tapi semua yang mendekat tidak ada yang bisa membuat hatiku bersemangat seperti yang dirasakan Rona.

Terpopuler

Comments

Your name

Your name

Sedih banget Thor, aku sampai menahan air mata

2021-12-24

0

Arsy-Khalid

Arsy-Khalid

semangat

2021-10-09

0

Restviani

Restviani

tahun 95 aku baru msk SMP, jadi wajar ya pake surat, eh jd inget lg surat"an..., wangi kertasnya itu loh....😂😂

2021-07-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!