Penjaga sekolah dan guru-guru berlarian menuju kamar mandi. Kami dilarang mendekat dan diarahkan agar masuk ke dalam kelas masing-masing. Sepertinya guru-guru tidak berani mengambil tindakan langsung. Penjaga sekolah memeriksa denyut nadinya.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sudah meninggal, Pak,” ucap Pak Soleh.
“Jangan diubah posisinya, Pak! Biarkan polisi dan pihak rumah sakit yang menangani,” ujar seorang guru lainnya dengan nada panik.
Sambil berjalan meninggalkan tempat kejadian, aku masih bisa mendengar percakapan kepala sekolah yang sedang menghubungi pihak kepolisian dan petugas medis dari rumah sakit. Suasana terasa begitu mencekam. Ketakutan menyelimuti seluruh lingkungan sekolah. Suara ramai di kelas saat jam istirahat berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada yang berani duduk sendirian, semua berkumpul dan hanya diam membisu, saling memandang tanpa kata. Itulah yang bisa kami lakukan untuk sementara ini.
Aku bergabung dengan Ana dan Tari, dua bangku kami gabungkan agar bisa duduk bersama. Tiupan angin membanting pintu kelas hingga menutupnya rapat. Suaranya keras, seperti bantingan pintu dari orang yang sedang marah besar. Alam seakan ikut marah atas kejadian ini, membuat kami semakin ketakutan.
Perlahan, cuaca mulai mereda. Hanya sedikit gerimis yang tersisa. Udara masih terasa dingin. Suara nyaring sirene ambulans dan mobil kepolisian memecah kesunyian. Garis pembatas dipasang di sekitar lokasi kejadian.
Kami berdiri di depan kelas, menyaksikan para polisi yang mengawal petugas medis. Mereka membawa jasad siswi itu menuju ambulans. Tubuhnya lunglai, bersimbah darah. Tas sekolah masih menggantung di punggungnya. Saat wajahnya terlihat jelas, aku terkejut—dia adalah sahabatku, Rona Sumitra.
Petugas medis segera menutup tubuhnya. Itulah pertemuan terakhir kami. Dengan pengawalan ketat dari polisi, jenazah dibawa untuk diotopsi. Air mataku langsung mengalir. Kenangan tentang kebersamaan kami selama ini seakan terputar kembali. Kini semuanya tinggal kenangan. Ia telah pergi untuk selamanya.
"Selamat jalan, sahabatku Rona..." gumamku dalam hati. Ini bukanlah jalan terbaik untukmu, tapi takdir sudah berkata lain.
Hari kedua setelah kepergian Rona.
Ibu masuk ke kamar, membangunkanku. Udara pagi itu sangat dingin. Hembusannya terasa menusuk tulang. Rasa malas menyelimuti. Tidak ada semangat untuk menjalani hari, apalagi pergi ke sekolah.
“Kak, salat dulu. Sudah pukul setengah enam,” ucap ibu.
“Iya, Bu,” jawabku pelan. Aku tetap harus bangun dan menunaikan salat subuh meski agak terlambat.
Ku langkahkan kaki ke kamar mandi. Membersihkan badan, lalu berwudu. Setelah salat, aku tak lupa memanjatkan doa untuk Rona.
Waktu terasa cepat berlalu. Rasanya baru saja selesai salat, kini cahaya matahari mulai terlihat, meski masih malu-malu menembus tirai jendela kaca. Aku membuka tirai, cahaya langsung menyelinap masuk, memberi sedikit kehangatan.
Ibu masuk lagi ke kamarku.
“Kiah, belum siap-siap? Sudah hampir jam tujuh. Nanti terlambat.”
“Nggak tahu, Bu. Kia malas. Rasanya berat sekali. Kia nggak usah sekolah hari ini ya…”
“Kamu sakit?” tanya ibu, menyentuh dahiku. Sentuhannya terasa dingin dan menenangkan.
“Kayaknya nggak, Bu. Cuma rasanya tidak mau sekolah saja.”
Ibu menghela napas pelan. “Masih kepikiran kejadian kemarin, ya? Sudah, nggak apa-apa. Hari ini tidak usah masuk sekolah dulu. Kita melayat ke rumah Rona, nanti ibu yang temani.”
Hari ini aku benar-benar merasa kehilangan. Ini adalah hari pertama sejak kejadian itu. Aku sengaja tidak masuk sekolah tanpa surat ataupun keterangan.
Pukul 07.30, seharusnya aku sudah duduk di kelas, mendengarkan guru mengajar. Tapi hari ini aku berjalan menuju rumah Rona, ditemani ibuku. Tenda duka terpasang di halaman rumah yang bercat hijau muda. Kursi-kursi plastik tersusun rapi. Hari masih pagi, tapi pelayat sudah ramai berdatangan. Kami melewati sekumpulan bapak-bapak yang sedang berbincang. Ayah Rona ada di antara mereka. Matanya sembap. Ia mempersilakan kami masuk untuk bertemu istrinya.
Kami melangkah masuk. Ruangan terasa begitu lapang, tanpa kursi dan meja seperti biasanya. Hanya hamparan karpet bercorak bunga merah yang memenuhi ruangan. Kami duduk bersama pelayat lainnya. Beberapa ibu-ibu mulai melantunkan surat Yasin. Seorang ibu menyerahkan buku Yasin padaku dan ibu. Kami pun ikut melantunkan doa untuk Rona.
Setelah membaca Yasin, kulihat ibu Rona muncul dari pintu belakang. Ia mengenakan gamis panjang cokelat muda dan selendang putih. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Ia duduk tidak jauh dari kami, ditemani beberapa kerabat. Sesekali ia menyeka air mata.
Aku berdiri dan menghampirinya bersama ibu. Kucium punggung tangannya. Ibu Rona langsung memelukku erat.
“Kiah… Rona, Kiah...” ucapnya lirih.
“Iya, Tante... Sabar, ya, Tante.” Hanya itu yang mampu kuucapkan. Lidahku kelu. Aku ikut menangis.
Beberapa saat kemudian, seorang perempuan paruh baya mendekati ibu Rona dan membisikkan sesuatu. Ibu Rona bangkit perlahan, pamit, lalu berjalan ke ruang belakang.
Di sebelah ibu duduk Bude Nur, saudara perempuan ayah Rona. Aku mengenalnya baik. Kami sering bermain di rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Rona. Ibu berbincang dengan Bude Nur. Aku mendengar jenazah seharusnya sudah tiba sejak pukul delapan pagi. Tapi kini sudah pukul sembilan lewat sepuluh menit.
Aku terdiam. Bahkan di saat kepergiannya, Rona harus melewati prosedur panjang sebelum bertemu keluarganya.
Hari Ketiga Setelah Kepergian Rona
Hari ketiga setelah kejadian, aku memberanikan diri untuk kembali ke sekolah. Tapi suasana belum pulih. Semua masih dihantui ketakutan. Tidak ada yang berani berjalan sendirian, apalagi ke kamar mandi. Garis polisi masih terpasang. Melewatinya membuat bulu kuduk merinding.
Pelajaran kedua dimulai pukul 09.15. Bu Inayah, guru Biologi, masuk ke kelas. Biasanya ini pelajaran favoritku, tapi kali ini aku tidak bersemangat. Tiba-tiba dua polisi masuk ke kelas, ditemani kepala sekolah. Mereka berbicara sebentar dengan Bu Inayah, lalu memanggil Jeri keluar kelas. Aku duduk di bangku depan, tapi tak mendengar jelas pembicaraannya. Bu Inayah meminta kami tetap tenang di kelas.
“Kenapa Jeri dipanggil?” bisik Ana padaku.
“Nggak tahu.” Jawabku singkat. Aku memang tidak suka membicarakan Jeri. Apalagi setelah tahu betapa ia telah menghianati Rona.
Ana tetap penasaran. Ia dan beberapa teman lainnya mendekati jendela untuk mengintip. Ana menarikku ikut.
“Kia, lihat! Ini pasti ada hubungannya dengan Rona!”
Aku diam. Tapi ketika kulihat tangan Jeri diborgol dan dibawa ke mobil polisi, hatiku tercabik. Sahabatku… dan pelakunya adalah orang yang ia cintai. Saat Bu Inayah kembali ke kelas, pelajaran dilanjutkan. Tapi suasana sudah tidak sama. Semua resah.
Saat jam istirahat, kabar itu tersebar luas. Jeri Prakoso, terbukti sebagai pelaku. Motifnya mengejutkan: Rona hamil tiga bulan. Ia mendesak Jeri bertanggung jawab. Karena tertekan, Jeri menghabisi Rona dengan beberapa tusukan benda tajam, tepat di pagi hari sebelum jam pelajaran dimulai. Jeri dikeluarkan dari sekolah dan akan menghadapi hukuman. Aku merasa menyesal telah membaca surat terakhir darinya. Sungguh, itu membuatku merasa seperti bagian dari tragedi ini.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar, mengambil surat Jeri, lalu menyobeknya kecil-kecil dan menyiramnya ke dalam kloset. Aku tidak ingin surat itu ditemukan siapa pun. Biarlah semuanya terkubur bersama rasa sakit ini. Wajah Rona terus membayang. Dulu ia selalu ceria saat bersama Jeri. Tapi kebahagia annya ternyata hanya semu. Aku hanya bisa berdoa semoga ia tenang di sana.
Selamat jalan, sahabatku. Semoga damai di sisi-Nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Your name
Sedih banget Thor, aku sampai menahan air mata
2021-12-24
0
Panggil saja Kanjeng Ratu🤪
semangat
2021-10-09
0
Restviani
tahun 95 aku baru msk SMP, jadi wajar ya pake surat, eh jd inget lg surat"an..., wangi kertasnya itu loh....😂😂
2021-07-05
2