NovelToon NovelToon

Hadiah Dari Tuhan

Bab 1

Bel berdering begitu kencang membuat jantung semakin terpacu, aku terus berlari, gerbang terlihat hampir ditutup, dengan kekuatan penuh aku terus berlari mengerahkan seluruh tenaga agar segera bisa melewatinya. Aku agak sedikit lega meskipun terlambat dua menit, pak Soleh sang penjaga masih bersedia menunggu.

"Cepat masuk, sebelum guru kamu harus sudah ada dikelas.”

“Baik pak, terima kasih.”

Pak soleh langsung menutup pintu gerbang sekolah, aku bergegas menuju kelas, suara teman-teman terdengar sampai keluar kelas, berarti bu Lani guru yang mengajar di jam pertama belum masuk. Saat ingin melangkah kedalam, seorang teman menahan ku di pintu, ia memberikan sepucuk amplop berwarna ungu muda

“Kiah ini  dari Jeri.”

“Untuk Rona ya?”

“Coba baca dulu, aku juga tidak tahu persis, bisa jadi untuk Rona, tapi dia memintaku memberikannya pada mu.”

Surat tersebut kuambil lalu kumasukkan kedalam tas. Aku langsung masuk menuju tempat duduk, Rona tidak ada dikelas, tasnya juga belum ada di laci meja, apa mungkin dia tidak hadir hari ini?

“An, Rona nggak masuk ya?” ku coba menanyakan keberadaan Rona pada Ana teman yang duduk di meja sebelah.

“Mungkin iya, karena dari tadi belum terlihat, tas nya ada nggak?”

“Nggak ada, tapi biasanya kalau dia tidak masuk, ayahnya selalu mengantarkan surat ijin.”

“Jangan-jangan datangnya terlambat juga”

“Kalau terlambat berarti tidak bisa masuk lagi, Kiah hampir saja tadi nggak bisa masuk, untung Pak Soleh masih mengijinkan.”

Rona adalah sahabat dekatku, sejak kelas satu SMA kami duduk berdekatan, di kelas dua ini pun kami tetap memilih untuk bersama, karena keakraban kami, teman-teman mengira kami memiliki hubungan saudara. Kami selalu berbagi cerita, suka dan duka bersama. Belakangan ia sering tidak masuk karena sakit, maag nya sering kambuh, di sekolah ia pernah mengeluhkan pusing dan rasa mual yang agak berlebihan.

“Ki PR matematika sudah” Tanya Ana.

“Sudah”

“Lihat ya”

“Kenapa, belum buat?”

“Sudah juga sih, hanya mencocokkan saja, siapa tahu ada yang beda.”

Aku mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas, buku PR matematika kuberikan pada Ana. Saat mengeluarkan buku tak sengaja surat titipan Jeri terjatuh tepat dibawah meja, aku langsung mengambil surat tersebut dan

meletakkannya didalam laci. Semua kulakukan dalam sekejap saja, tapi Ana sepertinya melihat kejadian tersebut.

“Dapat surat cinta” Ledek Ana.

“Siapa An, dapat surat cinta?” Tanya Tari teman sebangku Ana. Ana tidak menjawab, ia hanya tersenyum matanya melirik padaku, tentu Tari mengerti dengan sikapnya seperti itu.

“Ini titipan seseorang, bukan untuk Kiah” jawabku membela diri.

“Ih, nggak ngaku lagi, apa perlu kami ikut baca.” Ucap Ana.

“Sudah nanti bu Lani masuk, cepat lihat PRnya” ucapku ingin mengalihkan perhatiannya. Mendengar nama bu Lani, Ana buru-buru membuka buku PR matematikanya, lalu membandingkan dengan buku PR ku.

“Kiah, nomor tiga kita beda” ucap Ana. Aku beranjak dan berdiri mendekat meja Ana, kulihat jawaban kami memang berbeda.

“Iya Ana, rumus kita juga beda”

“Coba lihat punya Tari” Tari memberikan buku PRnya.

“Ini beda lagi” ucap Ana.Kami bertiga melihat PR tersebut, ternyata jawaban kami memang berbeda semua.

“Siapa yang salah, siapa yang benar ini?” Kami bertiga jadi bingung.

“Pakar matematika biasanya Kiah, apa kita ikut jawaban Kiah aja”

“Nggak dulu malas, pokoknya yang penting ada jawabannya” ucapTari.

“Dasar Tari, mestinya bukan asal jawab, tapi harus benar juga.”

“Sudahlah Ana, jawaban Ana nggak usah diganti, takut nggak sempat, Belum tentu juga jawaban Kiah benar semua.”

“Iya juga, siapa tahu justru jawaban Ana yang benar semua!”

Ana mengembalikan buku PR ku, ia tidak jadi mengganti jawaban dibuku PR nya. Kulihat di meja belakang, beberapa teman laki-laki sedang sibuk menyalin PR, kalau ketahuan bu Lani, mereka semua pasti akan kena sanksi. Ku letakkan buku PR di laci meja, tanganku menyentuh surat yang sebelumnya ku letakkan di sana, rasa penasaran membuatku ingin mengetahui isi surat tersebut.

Kubuka amplop surat tersebut, wangi harum menyeruak, lalu kuambil isinya berupa selembar kertas berwarna ungu mudah, senada yang dengan amplopnya. Surat tersebut kumasukkan kedalam buku pelajaran Matematika, agar yang lain tidak melihat apa yang sedang ku baca.

Sekilas terlihat ada tanda tangan paling bawah surat bertuliskan nama “Jeri Prakoso” mungkin ini memang untuk Rona, karena setahuku Jeri adalah pacar Rona, kedekatan mereka hampir satu tahunan ini. Aku ingat pesan teman yang menitipkan, bahwa surat ini untukku, berarti tak salah bila ku baca, tanggal yang tertulis menunjukkan surat ini sudah dibuat lima hari yang lalu.

Bu Lani masih belum masuk ke kelas, ini kesempatan emas bagiku untuk membacanya secara utuh.

Palembang, 11 Desember 1995

Menjumpai Zakiah

Malam begitu gelapnya, tapi mataku

tidak bisa tertidur lelap, bayangan wajah manis mu selalu hadir di pelupuk mata.

Hari-hariku terusik, candu mu membuatku benar-benar dimabuk asmara.

Kia ku ingin mengatakan langsung padamu, tapi aku yakin engkau akan menolak rasaku ini dengan alasan persahabatan, jujur aku ungkapkan padamu, aku hanya menganggapnya teman biasa saja, aku hanya berharap lebih padamu seorang. Aku merasa sakit yang begitu hebat bila tidak bisa memilikimu, hanya dirimu yang mampu menyembuhkannya, aku ingin engkau menjadi milikku selamanya.

Kia tolong mengerti perasaan ku ini, terimalah aku menjadi kekasihmu, siapapun tidak ada yang bisa menghalangi.

Kia surat ini tidak perlu dibalas, aku takut engkau merasa lelah berpikir dan menulis surat untukku, aku tidak menginginkan itu, cukup engkau anggukan kepalamu di hadapanku, itu saja sudah cukup bagiku, sebagai pertanda rasa cinta ini menemukan jalannya.

Jeri Prakoso.

 

 

Ternyata surat tersebut memang ditujukan untukku, permainan kata-kata yang ia tuliskan bisa membuat orang yang membacanya terhanyut sekaligus merasa takut, sepertinya ia sangat terobsesi dengan perasaannya sendiri. Aku sama sekali tidak bersimpati, hatiku begitu marah dan kesal, hadirnya surat ini menunjukkan kalau ia telah menghianati hubungannya Rona sahabatku.

"Assalamualaikum," ucapan salam dari bu Lani guru matematika membuatku kaget, seperti biasa kami menjawab serentak salam bu Lani tersebut, Bu Lani masuk dan duduk dikursi, ia membuka buku absen dan mulai mengabsen kami satu persatu. Surat dari Jeri tersebut langsung ku simpan kembali di dalam tas.

"tok, tok, tok" pintu di ketuk tiga kali lalu seseorang membukanya, ternyata Jeri.

"Masuk" ucap bu Lani, Jeri langsung masuk dengan terburu-buru tangan kanannya lecet dan mengeluarkan sedikit darah.

“kenapa tangannya Jer? ” Bu Lani menanyakan perihal luka tersebut.

“Terkena cakaran kucing peliharaan tetangga Bu”Jeri terlihat gugup saat menjawab.

“Obati dulu sekarang, takut bahaya, minta sama Pak Burhan di ruang UKS, tapi setelah itu langsung kembali lagi ke kelas.” Ucap Bu Lani, Bu Lani ternyata peduli juga dengan anak muridnya, padahal saat sedang mengajar, ia adalah guru yang paling ditakuti. Jeri keluar menuju ruang UKS.

Pelajaran dimulai, kami diminta mengumpulkan buku PR, setelah buku-buku tersebut dikumpul, pembahasan PR dilakukan bersama-sama. Bu Lani meminta tiga orang menjawab PR tersebut dipapan tulis, kali ini aku tidak mendapat bagian untuk menjawab. Sepuluh menit kemudian, pintu diketuk dan dibuka lagi, Jeri muncul. Ia menunjukkan lukanya yang sudah diolesi obat merah pada Bu Lani. Bu Lani mengijinkannya duduk di bangkunya.

Jeri langsung menuju ketempat duduknya, ia duduk di samping tepat tiga meja dari tempat dudukku. Entah mengapa aku begitu penasaran ingin memandang kearahnya, untung saja ketika kulihat ia sedang tidak menyadarinya, ia nampak sedang sangat gelisah, wajahnya terlihat sedikit pucat.

Aku kembali memperhatikan bu Lani yang sedang menjelaskan jawaban PR yang sudah ditulis dipapan tulis.

“Coba nomor tiga, ini belum ada yang tepat! ada yang mau coba lagi?” tidak ada jawaban, banyak teman memang merasa kesulitan menjawab soal nomor tiga.

“Kiah, ini ada yang sama tidak jawabannya”

“Lain Bu”

“Ambil bukunya, tulis didepan”

Aku segera menuliskan jawaban PR nomor tiga di papan tulis, jalannya yang panjang, membuat aku harus menghapus sebagian jawaban teman sebelumnya.

“Ada yang sama tidak dengan jawaban Kiah” Tanya bu Lani pada teman-teman lainnya.

Beberapa teman ada yang mengacungkan jari telunjuknya.

“Inilah jawaban yang tepat.” ucap Bu Lani. Aku duduk kembali, Ana melirik ke arahku. Sepertinya ia menyesali tidak mengganti jawaban PRnya tadi. Ku kirim senyuman untuk menyemangatinya.

Suara bel terdengar sangat nyaring, dengan sekejap kantin diserbu para siswa, kami melepas penat dan dahaga setelah melewati dua pelajaran hari ini. Aku segera bergabung dengan teman-teman menuju kantin, Kulihat Jeri sedang seorang diri, ia berjalan menuju ke arahku, dengan sigap aku menarik tangan temanku, lalu memutar arah dan mencari alasan untuk tidak lewat berpapasan, aku tidak mau berhadapan langsung, hatiku benar-benar tidak suka dengan tindakannya.

Rona adalah sahabat terdekatku, mana mungkin aku menghianati persahabatan kami demi seorang Jeri, ingin rasanya meluapkan emosi yang sudah di atas kepala ini dengan langsung melabrak Jeri, tapi semua itu hanya ada di pikiran ku, dan tidak akan lakukan, saat ini aku masih ingin menjaga rasa agar tidak mengganggu persahabatan ku dengan Rona.

Cuaca mulai mendung, seketika langit gelap, angin berhembus begitu kencang, beberapa dahan pohon disekitar sekolah patah, amukan suara halilintar menyambar, gerimis mulai turun membasahi bumi. Kami berlarian masuk kedalam kelas, padahal waktu istirahat belum berakhir. Di tengah gemuruh cuaca yang benar-benar tidak bersahabat terdengar teriakan histeris, arah teriakan berasal dari kamar mandi. Kami bertambah ketakutan, aku berpikir mungkin ada yang terkena sambaran ganasnya halilintar, karena teriakan tersebut tidak berselang lama

dengan suara gelegar dan kilatan halilintar yang menyambar.

Tiga orang teman berlarian masuk kedalam kelas, mereka terlihat sangat ketakutan dan membawa cerita yang sangat mengejutkan, ada seorang siswi tak sadarkan diri, posisinya tengkurap, di dalam salah satu kamar mandi yang tidak pernah digunakan. Angin kencang membuat pintu kamar mandi tersebut terbuka lebar. Rasa penasaran membuat aku dan beberapa teman ingin melihat langsung ke lokasi, kerumunan yang begitu ramai membuat kami tidak bisa melihat secara langsung, hanya cerita dari teman-teman yang ku dengar.

Ceritanya persis yang diceritakan teman yang telah menyaksikan ini sebelumnya, seorang siswi dengan posisi yang sama, dan tidak bergerak sama sekali, seperti cerita teman-teman sebelumnya, dan masih belum bisa dipastikan siapa siswi tersebut sebenarnya.

Bab 2

Penjaga sekolah dan guru-guru berlarian menuju kamar mandi, Kami dilarang mendekat, dan diarahkan agar masuk ke dalam kelas masing-masing, sepertinya guru-guru tidak berani mengambil tindakan langsung. Penjaga sekolah memeriksa denyut nadinya

“Innalillahi Wainnailaihi Raji'un, sudah meninggal pak,” ucap pak Soleh

“Jangan dirubah posisinya pak! biarkan polisi dan pihak rumah sakit yang menangani."

Sambil berjalan meninggalkan tempat kejadian tersebut, aku masih bisa mendengar percakapan kepala sekolah yang sedang menghubungi pihak kepolisian dan petugas medis dari rumah sakit. Suasana terasa begitu mencekam, ketakutan dimana-mana, suara ramai dikelas saat jam istirahat berubah seratus delapan puluh derajat, semua berkumpul dan tidak ada yang berani duduk sendirian, tapi yang ada hanya diam membisu dan saling memandang, itulah yang bisa kami lakukan sementara ini.

Aku bergabung dengan Ana dan Tari, dua bangku kami gabung agar bisa duduk bersama. Tiupan angin membanting pintu kelas hingga membuatnya tertutup rapat, persis seperti bantingan orang yang sedang marah besar, alam begitu marahnya dengan kejadian ini, hingga membuat kami semakin ketakutan. Perlahan amukan cuaca mulai berangsur reda, hanya sedikit titik-titik gerimis yang tersisa, udara masih terasa begitu dingin, suara nyaring mobil ambulan dan mobil dinas dari kepolisian memecah telinga, garis pembatas dipasang disekitar lokasi penemuan.

Kami berdiri didepan kelas menyaksikan para polisi yang mengawal petugas medis, mereka membawa jasad siswi tersebut menuju mobil ambulans. Tubuh lunglai bersimbah darah, tas sekolah masih menyangkut di punggungnya, sosok wajah itu membuatku merasa lebih kaget lagi, dia adalah sahabatku “Rona Sumitra.”

Petugas medis langsung menutup tubuh tersebut, inilah pertemuan terakhir kami, petugas medis dengan dikawal ketat pihak kepolisian membawa jenazah tersebut untuk di otopsi. Air mata ku langsung mengalir, terbayang serunya persahabatan kami selama ini, kini kisah itu tidak bisa terulang lagi, ia sudah pergi untuk selamanya “selamat jalan sahabatku Rona” ini sebenarnya bukanlah jalan terbaik untuk mu, tapi takdir sudah berkata lain.

 

***

 

 

Ibu masuk ke kamar, ia membangunkan ku, udara pagi ini sangat dingin, hembusannya terasa sampai menusuk ke tulang, rasa malas memang sedang menggelayuti ku, tidak ada semangat untuk melakukan kegiatan hari ini, apalagi untuk berangkat ke sekolah.

“Kak, shalat dulu sudah pukul setengah enam” ucap ibu.

“Iya bu” aku tetap harus bangun dari tempat tidur dan melaksanakan shalat subuh meski terlambat. Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi, terlebih dahulu ku membersihkan badan, lalu berwudhu, setelah shalat tidak lupa ku panjatkan doa untuk temanku Rona.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, padahal rasanya aku baru saja melaksanakan shalat subuh, kini remang-remang cahaya matahari sudah terlihat meski terhalang oleh tirai jendela kaca di kamarku. Ku buka tirai jendela, cahaya pun langsung bisa menembus masuk, hangatnya mulai terasa  menyentuh.

Ibu masuk ke kamarku lagi, “Kiah, belum siap-siap, sudah hampir jam tujuh nanti terlambat”

“Nggak tahu bu, Kia malas rasanya berat sekali, Kia nggak usah sekolah ya hari ini”

“Kenapa Kia sakit?” sentuhan jari ibu di dahi ku terasa dingin.

“Kayaknya nggak bu, Kia rasanya tidak mau sekolah saja”

“Masih ingat kejadian kemarin ya, sudah tidak apa hari ini tidak usah masuk sekolah dulu, melayat saja tempat Rona nanti ibu yang menemani”

Aku sangat sedih dan merasa kehilangan, ini adalah hari pertama setelah kejadian yang menimpa Rona. Hari ini aku sengaja tidak masuk sekolah, tanpa berkirim surat atau pun berita. Pukul tujuh tiga puluh, seharusnya saat ini aku sudah berada didalam kelas bersama teman-teman dan sedang memperhatikan guru yang sedang mengajar, tapi kali ini dengan ditemani ibu ku langkahkan kaki menuju rumah Rona

Tenda terpasang tepat dihalaman rumah yang bercat hijau muda, kursi-kursi plastik tersusun rapi. Hari masih pagi, pelayat sudah mulai banyak berdatangan. Kami melewati sekumpulan bapak-bapak yang sedang mengobrol, kulihat ada ayah Rona diantara bapak-bapak tersebut, matanya terlihat masih sembab, ia mempersilahkan kami masuk kedalam rumah untuk bertemu dengan istrinya.

Aku dan ibu langsung melangkah masuk kedalam rumah, pemandangan yang kulihat tidak seperti biasanya, ruangan ini terasa begitu lapang, hanya hamparan karpet dengan corak bunga berwarna merah yang dipasang memenuhi ruangan, semua kursi dan meja yang biasanya ada satupun tak terlihat. Kami duduk bergabung dengan pelayat yang lain, keberadaan ibu Rona belum terlihat. Beberapa ibu-ibu akan memulai pembacaan surat yasin, seorang ibu memberikan kami buku yasin, aku dan ibu ikut melantunkan persembahan doa untuk Rona.

Buku yasin ku letakkan kembali, kulihat ibu Rona muncul dari pintu ruang belakang, ia masih menggunakan gamis panjang berwarna coklat muda, kepalanya ia tutupi dengan selendang berwarna putih, matanya terlihat masih basah dengan air mata. Ibu Rona mengambil tempat duduk tidak jauh dari tempat kami duduk, ia didampingi beberapa kerabatnya, kulihat sesekali ia masih menyeka air mata.

Aku mengajak ibu bertemu langsung dengan ibu Rona, kami berdiri dan langsung mendekati tempat duduk ibu Rona, kucium punggung tangannya, Menyadari kehadiranku, Ibu Rona memelukku erat sekali.

“Kiah, Rona Kiah” ucapnya lirih sekali.

“Iya Tante, sabar Tante.” Hanya itu yang bisa ku ucapkan, aku juga rasanya tak mampu lagi mengungkapkan perasaan sedih ini. Air mata mulai mengalir dan terus mengalir, apalagi ketika melihat keadaan ibu Rona. Wajahnya  pucat, kantung mata yang menebal, ia terlihat benar-benar mengalami duka yang sangat mendalam.

Sesaat ibu dan ibu Rona terlibat perbincangan. Seorang perempuan paruh baya datang mendekati ibu Rona, ia ia berkata sangat pelan hingga kami tidak mendengar ucapannya, kemudian ibu Rona pamit pada kami, ia bangkit dari tempat duduknya, lalu beranjak menuju ruang belakang mengikuti perempuan paruh baya tersebut.

Disebelah ibu, ada saudara perempuan ayahnya Rona, namanya Bude Nur, aku kenal betul dengan Bude Nur, karena rumahnya bersebelahan dengan rumah Rona. Bila sedang musim buah jambu, aku dan Rona sering mengambil buah jambu yang ada dibelakang rumah Bude Nur. Ibu berbincang dengan Bude Nur. Aku mendengar percakapan mereka bahwa seharusnya jenazah sudah ada dirumah sejak pukul delapan tadi.

Kulihat jam ditangan sudah menunjukkan pukul Sembilan lewat sepuluh menit. Seharusnya jenazah sudah satu jam yang lalu berada dirumah. Aku tertegun, mendengar percakapan ibu dengan Bude Nur, disaat kepergiaan, jenazahnya pun begitu susah untuk bertemu dengan keluarga, harus melewati beberapa tahap pemeriksaan terlebih dahulu.

 

***

 

Tepat dihari ketiga aku baru beranjak menguatkan langkah menuju sekolah, tragedi berdarah itu benar-benar mempengaruhi pikiran dan perasaan ku. Teman-teman disekolah ternyata sama, mereka juga masih dihantui rasa ketakutan yang mendalam.

Semua siswa tidak berani berjalan disekitar sekolah sendirian, apalagi pergi ke kamar mandi. Garis pembatas yang dipasang pihak kepolisian masih terpasang dengan kokoh, ketika melewatinya, bulu kudukku berdiri, bayangan itu masih mengganggu, suasana menjadi sangat menegangkan.

Pelajaran kedua dimulai pukul sembilan lewat lima belas menit, bu Inayah mulai membuka pertemuan, Mata pelajaran Biologi, ini adalah mata pelajaran favoritku, tapi kali ini aku tidak begitu bersemangat mengikutinya. Ketika bu Inayah sedang menjelaskan materi, ada dua orang polisi masuk ke dalam kelas, mereka didampingi oleh kepala sekolah. Bu Inayah menyambut kedatangan mereka, sepertinya mereka terlibat pembicaraan yang serius, aku duduk di bangku paling depan tapi tidak bisa mendengar begitu jelas pembicaraan mereka.

Tidak lama kepala sekolah memanggil Jeri lalu mengajaknya keluar kelas, Kedua polisi tersebut mengikuti dari belakang. Bu Inayah juga ikut keluar, ia meminta kami untuk tetap tenang dan tidak meninggalkan kelas.

"Kenapa Jeri dipanggil?" bisik Ana yang duduk di sebelahku.

"Nggak tahu.l" jawabku enteng, aku memang tidak tahu dan tidak mau tahu dengan urusan Jeri. Bukan hanya Ana saja yang penasaran dengan kejadian ini, teman-teman lainpun tak kalah ingin tahunya, jiwa detektif meronta.

Rasa penasaran membuat beberapa teman beramai-ramai mendekati jendela kaca. Ana tidak mau ketinggalan, ia berlari dan mencari posis untuk bisa mengintip keluar jendela.

"Kia sini" seru Ana ketika ia berada didepan jendela.

"Sebentar" sebenarnya aku tidak begitu tertarik untuk melihat, apalagi ini menyangkut tentang Jeri. Aku tidak suka dengan tindakan Jeri, ia sudah menghianati Rona sahabatku, hal itu yang membuat ku tidak ingin tahu apa yang terjadi dengannya. Aku masih melanjutkan membuat catatan yang ditugaskan bu guru. Merasa diacuhkan, Ana mendekatiku, ia tidak menghiraukan penolakan. Ana memaksa menghentikan pekerjaanku dan langsung menarik tanganku, dengan terpaksa kuikuti langkah kaki Ana, kami berjalan kearah jendela. Ana mengajakku berdiri tepat didepan jendela, tempat ia berdiri sebelumnya.

"Lihat! ini pasti ada kaitannya dengan Rona" kata Ana lantang.

"Apa iya," aku masih tidak yakin dengan ucapan Ana.

"Siapa lagi yang dekat dengan Rona selama ini, ya pasti Jeri." ucap Ana untuk menguatkan dugaannya. Ucapan Ana didukung oleh teman-teman yang lain, sebagian besar mereka menyangka Jeri dibawah polisi karena ada hubungannya dengan tragedi yang menimpa Rona.

Kulihat bukan hanya dua polisi yang datang ke sekolah, sebagian mereka banyak yang menunggu di luar kelas. Tampak tangan jeri diborgol dan dibawah polisi keluar menuju mobil yang belakangnya berbentuk bak, ia duduk dengan wajah tertunduk diapit oleh beberapa orang polisi. Pantas saja Ana begitu terlihat yakin dengan ucapannya tadi.

"Ayo kita lanjut lagi...!" suara bu Inayah membuat kami kaget, tanpa kami sadari ternyata bu Inayah sudah masuk kedalam kelas lagi. Kami pun membubarkan diri dari kerumunan di sekitar jendela, lalu duduk dikursi masing-masing. Ada yang mencoba bertanya langsung dengan bu Inayah, mengapa Jeri di bawah oleh Polisi, tapi jawaban bu Inayah tidak memuaskan rasa penasaran kami. Bu Inayah Juga belum mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang telah terjadi, pelajaran dilanjutkan kembali sampai waktunya istirahat.

Tidak menunggu waktu yang lama, setelah jam pelajaran berakhir, di saat-saat jam istirahat, cerita penangkapan Jeri mulai menyebar, dan ternyata memang berhubungan dengan kejadian yang menimpa Rona. Teka-teki penyebab hembusan napas terakhir Rona terkuak, ia terkena beberapa tusukan benda tajam, ada yang tepat mengenai jantungnya, hasil penemuan sidik jari terungkap, Jeri Prakoso, sebagai dalang tunggal atas kejadian ini.

Kami semua dibuat kaget, aku sendiri masih merasa tidak percaya, karena kesehariannya Jeri adalah siswa yang baik, ia terlihat biasa dan cenderung dicap sebagai anak mama, dibalik itu, ternyata ia tega melakukan ini pada sahabatku sendiri. Hasil cerita yang berkembang, ternyata Rona hamil, usia kandungannya masuk tiga bulan, ia mendesak Jeri untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Rona mengancam bila tidak ia akan melaporkan perbuatan Jeri pada pihak berwajib, karena desakan tersebut Jeri merasa terancam. Jeri menghabisi Rona tepat di pagi hari ketika suasana sekolah masih sepi.

Akibat perbuatannya Jeri dikeluarkan dari sekolah, ia akan mendapatkan pelajaran terbaik, jeruji besi telah menantikan kedatangannya. Aku sungguh menyesal telah membaca surat darinya, seakan-akan diriku ikut bersalah dalam kejadian ini. Tubuhku terasa lunglai, seperti habis melewati sebuah marah bahaya besar. Ketika bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas ingin cepat pulang, aku teringat dengan surat dari Jeri beberapa hari yang lalu. Begitu tiba dirumah, aku langsung menuju kamar, lalu mengambil surat dari Jeri.

Kupikir akan ku bakar saja surat nya, tapi ibu pasti bertanya-tanya. Akhirnya surat tersebut kusobek kecil-kecil, lalu kumasukkan kedalam kloset, kusiram air sebanyak-banyak nya sampai semua sobekan tak terlihat. Satu pun tidak mengetahui perihal surat yang dikirim Jeri padaku, termasuk temannya yang menjadi perantara, aku juga tidak menceritakan pada siapapun, biarlah ini ku simpan sendiri, aku tidak ingin menambah cerita baru lagi.

Wajah Rona membayangiku, sejak menjalin hubungan dengan Jeri ia terlihat bahagia, hari-harinya dijalani dengan begitu bersemangat, ia hadir ke sekolah selalu paling awal diantara teman-teman lainnya. Kadang aku terpikir ingin merasakan hubungan seperti yang ia jalani, tapi semua yang mendekat tidak ada yang bisa membuat hatiku bersemangat seperti yang dirasakan Rona.

Bab 3

Kejadian yang menimpa Rona membuatku merasa begitu takut, dengan hubungan cinta yang terjalin atas nama pacaran. Hal ini membuatku berpikir ulang, ternyata cinta diantara mereka hanyalah cinta semu belaka, hubungan yang terjalin menjerumuskan pada perbuatan dosa, aniaya dan membuat kehancuran.

Sejak kejadian itu, aku mulai menghindar bila ada teman laki-laki yang tingkahnya mulai menunjukkan perhatian yang istimewa, seketika hati ku tidak menyukainya, aku langsung menjauh dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Aku tidak ingin mengalami hal yang sama seperti sahabatku.

Selama di SMA, banyak surat-surat cinta yang kudapat, dari kakak kelas, dan teman- teman satu angkatan tapi berbeda kelas, dari adik kelas pun ada. Semua surat mereka pada dasarnya sama, berisi rayuan gombal mengajakku menjalin hubungan pacaran, kata-kata yang mereka tuliskan di surat tersebut tidak bisa menggoyahkan hati. Ada yang pernah nekad sampai menemui ku dirumah, saat itu aku bersembunyi dikamar, sementara Bagas ku minta menanggulanginya, entah apa yang diucapkan Bagas, karena setelah itu ia tidak datang lagi.

Diakhir kelas tiga ada satu surat datang dari sekolah lain, aku sendiri tidak mengenal si pengirim, dari ceritanya ia pernah melihatku ketika acara pertandingan persahabatan bola basket yang digelar di sekolah. Pada saat pertandingan berlangsung, aku dan teman-teman menyaksikan pertandingan tersebut, kami berdiri sangat dekat dengan lapangan, ia menjadi anggota salah satu tim yang bertanding melawan tim sekolah kami.

Semua surat-surat yang ku terima tidak ada yang ku balas, beberapa ku bakar dan ada yang tidak sampai ikut pulang ke rumah, karena sudah dibuang ketika masih di jalan. Pada dasarnya aku tidak membatasi pertemanan dengan teman laki-laki, karena di sekolah kami biasa saling berinteraksi, hanya saja bila ada yang memiliki perasaan lebih, aku akan langsung menjauh, rasa persahabatan ku padanya berubah menjadi kebencian yang sebenarnya tidak berdasar.

Masa-masa SMA sangat berkesan, tidak memiliki seorang pacar bukan berarti aku tidak bisa menikmati indahnya masa sekolah ini. Aku memiliki teman-teman perempuan yang asik, kami membuat kelompok dan sering melakukan hal-hal asik secara bersama-sama. Banyak kegiatan positif yang kami lakukan, seperti mengikuti les dan kursus bersama, diwaktu libur kami sering berkumpul, kadang dirumah, dan kadang dirumah teman yang lainnya. Eli, Ana, dan Lila mereka adalah teman-teman dekat ku, mereka telah memberi kenangan terindah di masa-masa SMA ku.

Lima tahun telah berlalu, tragedi yang menyebabkan kepergian Rona masih melekat dibenak ku, tidak hanya melekat dengan baik, ia memberiku rasa trauma yang begitu dalam. Sejak kejadian itu, sampai saat ini aku sangat antipati dengan hubungan yang bernama pacaran. Aku sangat menghindari bila ada seseorang yang ingin mendekatiku dan berharap lebih dari hubungan sebagai seorang teman. Sejak saat itu aku memantapkan hatiku untuk tidak pacaran, telah tertulis di hati, aku akan menikah dengan seseorang yang benar-benar kuinginkan tanpa melalui proses pacaran.

Hari masih pagi, ibu membuka pintu dapur, ia ingin ke rumah bude Asti, barusan kami mendapat kabar, Ayahnya Bude Asti mengalami sesak napas, ibu ingin memastikan keadaannya. Bude Asti adalah tetangga kami, rumah kami hanya terpisah oleh jalan setapak.

“Kia, kunci kembali pintu nya.”

“Iya Bu”

Tidak lama ibu keluar, terdengar suara musik mengalun cukup keras.

“Akulah Arjuna, yang mencari cinta, wahai wanita, cintailah aku.”

Lagu dari band kesukaanku dewa 19, meskipun lagu yang diputar sangat kusukai, tapi kalau sudah seluruh penjuru rumah bisa mendengar berarti volumenya sudah tidak wajar lagi, dan ini bisa juga mengganggu tetangga sekitar.

Kutinggalkan sementara roti yang sudah ku olesi mentega, lalu menuju kamar adikku. Ketika di dapur suaranya hanya menyakiti telingaku, begitu memasuki kamarnya, bukan hanya telinga tapi detak jantungku ikut terpacu dan bergetar lebih kencang, rasanya suara musik ini bisa membangunkan orang-orang satu RT.

Sepertinya adikku baru keluar dari kamar mandi, karena masih mengenakan kain handuk, ia memegang sapu ditangannya seperti posisi memegang sebuah gitar, sapu tersebut ia ayun-ayunkan persis seperti gitaris professional. Tanpa memperdulikan tingkahnya, aku langsung mengecilkan volume musik yang sangat memecah telinga.

“Tidak asik Kak kalau suaranya kecil”

“Kasihan tetangga, mereka berhak mendapatkan ketenangan”

“Ini kan pagi kak, waktunya semangat pagi, kalau malam iya, kita butuh ketenangan untuk tidur, benar tidak?”

Kutinggalkan Bagas, ia masih mengayunkan sapu yang dipegangnya, aku segera menuju ke dapur untuk menyelesaikan membuat roti panggang buat sarapan pagi ini.

“Assalamualaikum”

“waalaikumsalam”

Ku buka pintu, ibu masuk dari pintu dapur membawa pisang dua sisir, masing-masing yang diikat dengan tali, pisangnya besar dan matang, sepertinya siap untuk dimakan, ibu meletakkan pisang-pisang tersebut di atas meja.

“Bu tidakkebanyakan apa?”

“Satu untuk bude Asti, nanti ibu mau kerumahnya lagi.”

“Bagaimana keadaan kakek bu?”

“Harus istirahat total, tidak boleh banyak jalan seperti kebiasaannya.”

Aku menyelesaikan membuat roti panggang isi selai nanas, selai nanasnya buatan sendiri, rasa manisnya lebih alami. Selesai memanggang roti aku langsung menyeduh teh, dua teh celup kumasukkan ke dalam satu ceret ukuran sedang, ini cukup untuk teman sarapan kami dengan roti panggang.

“Kia segera mandi, ini sudah pukul tujuh lewat sepuluh, nanti terlambat biar ibu yang melanjutkan” suara ibu terdengar cemas.

“Iya bu, ini juga sudah selesai.”

“Cepat mandi, nanti berangkat sama Bagas kan?"

Sepiring roti panggang ku letakkan di atas meja, teh hangat juga sudah tersedia, biasanya jam segini aku sudah mandi dan bersiap-siap berangkat, sementara saat ini baru mau mandi, wajar saja ibu terlihat cemas. Bagas keluar dari kamarnya membawa keranjang pakaian kotor, ia sudah nampak rapi, dengan baju kaos abu berkerah, ada list putih ditangan, ia memadukannya dengan celana jeans hitam, benar-benar gaya seorang mahasiswa.

“Tunggu Kakak ya”

“Oke bos, cepat bersiap, atau ditinggal.”

“Tujuh tiga lima kita berangkat.”

Aku segera menuju ke kamar untuk membersihkan badan, lalu bersiap-siap untuk berangkat kerja, waktu yang ku habiskan hanya sepuluh menit untuk menyelesaikan semuanya, setelah itu aku langsung menuju kebelakang untuk sarapan. Langkahku terhenti, terdengar suara ketukan, aku segera membukakan pintu, ternyata bu Siti, istri ketua RT di lingkungan kami.

“Kia…, ibunya ada”

“Ada bu, tunggu Kia panggilkan”

“Ibu mau ambil jahitan, katanya kemarin sudah selesai”

“Duduk dulu bu.”

Aku masuk ke kamar ibu, ia baru saja selesai melaksanakan shalat dhuha, aku menunggu sejenak duduk ditempat tidur, karena ibu masih sedang berdoa.

“Ada siapa  Kak,?”

“Bu Siti, katanya mau mengambil jahitan Bu”

“Oh iya, jahitannya sudah selesai, Kia cepatlah sarapan” ucap ibu, Ibu keluar kamar menemui bu Siti, aku segera ke belakang untuk sarapan, sesuai dengan target yang sudah ku buat, tepat pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit, aku dan Bagas keluar meninggalkan rumah.

Zakiah Dahlan nama lengkap ku, saat aku dan adikku Bagas masih sekolah dasar, Ayah pergi  meninggalkan kami. Ayah dulunya adalah seorang guru SMA yang sudah berstatus pegawai negeri sipil, uang pensiun ayah yang menjadi bekal kehidupan kami. Semenjak ayah meninggal ibu tidak berdiam diri, dirumah ia membuka usaha jahit pakaian, meskipun masih usaha kecil, tapi langganan ibu cukup banyak, ia dibantu dua orang dalam menjalankan usahanya, setiap hari ada saja jahitan yang harus ibu selesaikan, apalagi disaat momen-momen tertentu, seperti menjelang tahun ajaran baru.

Beberapa sekolah langganan ibu menjahitkan seragam untuk siswanya, begitu juga bila ada acara pernikahan di wilayah kami, atau ketika mendekati bulan suci Ramadhan, biasanya pesanan semakin meningkat. Kehidupan kami terbilang berkecukupan, meskipun begitu ibu selalu mengajarkan kami untuk hidup prihatin dan tidak berlebih-lebihan. Ia lebih mementingkan pendidikan untuk masa depan kami ketimbang kebutuhannya sendiri.

Ibu menanamkan cita-cita yang besar pada kami, ia berharap agar aku dan adikku bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi. Ibu agak sedikit lega, karena jarak umur kami selisih tiga tahun, menurut perhitungan ibu, ketika aku menyelesaikan kuliah program diploma, Bagas baru akan menjadi mahasiswa.

Ibu juga sangat berharap, agar setelah menyelesaikan pendidikan aku dapat langsung diterima bekerja. Doa seorang ibu mampu menyentuh langit, jalan pun terbuka. Saat aku telah menyelesaikan pendidikan, tante Mala,

adik perempuan ayah memberikan informasi lowongan pekerjaan di perguruan tinggi ditempat temannya mengajar, setelah dilihat kualifikasi ku memenuhi semua persyaratan untuk mengikuti tes, dengan bantuan dan rekomendasi dari temannya, aku diterima sebagai staf di salah satu program studi di perguruan tinggi tersebut.

Skenario yang ibu susun satu persatu mulai terwujud, dengan usaha dan doa yang tak pernah putus. Saat ini Bagas telah menyandang status sebagai mahasiswa, ia sudah memasuki semester dua, sementara aku sudah diterima sebagai karyawan di perguruan tinggi swasta, meskipun masih status sebagai karyawan masa percobaan.

Dunia kerja sangat membuat sibuk, menjadi staf di perguruan tinggi swasta yang besar dan sangat terkenal karena keunggulan lulusannya,  kebanggaan tersendiri bagiku bisa bergabung disini, apalagi ibuku, ini memang harapannya sejak lama, agar setelah kuliah aku langsung mendapatkan pekerjaan. Awal yang cukup sulit bagiku, karena ini benar-benar dunia baru, berkat bimbingan dan arahan yang tepat aku dapat dengan mudah mengikuti iramanya. Aku ditempatkan di program studi yang relatif baru, belum ada meluluskan mahasiswa, tahun ini program studi baru akan melaksanakan yudisium dan wisuda mahasiswa angkatan pertamanya.

Sebagian besar stafnya disini masih muda-muda, beberapa sudah menikah, dan banyak juga yang masih lajang, ada satu staf yang seusia dengan ku, kami berdua terbilang staf paling muda disini, beda sekitar tiga sampai empat tahun dengan beberapa staf yang masih lajang lainnya. Mahasiswa di kampus tempatku bekerja

memanggilku dengan sebutan “Mbak Kia.” Aku membantu menyiapkan administrasi kegiatan perkuliahan, bila sudah menyangkut absensi kehadiran dan surat menyurat, mahasiswa sering berurusan denganku.

Berhadapan dengan mahasiswa bukanlah hal yang mudah, karena usia yang tidak begitu terpaut jauh, mereka tidak segan melontarkan kata-kata candaan, walaupun begitu mereka tetap menjaga kesopanan antara mahasiswa dengan staf, ditengah kesibukanku menyiapkan administrasi kadang ada saja ulah mereka yang membuatku geli.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!