NovelToon NovelToon

Hadiah Dari Tuhan

Bab 1

Bel berbunyi sangat kencang, membuat jantungku semakin terpacu. Aku terus berlari, gerbang sekolah terlihat hampir ditutup. Dengan kekuatan penuh, aku mengerahkan seluruh tenagaku agar bisa segera melewatinya. Aku agak sedikit lega meskipun terlambat dua menit. Pak Soleh, sang penjaga gerbang, masih bersedia menunggu.

"Cepat masuk, sebelum guru kamu sudah ada di kelas."

"Baik, Pak. Terima kasih."

Pak Soleh langsung menutup pintu gerbang sekolah. Aku bergegas menuju kelas. Suara teman-teman terdengar sampai ke luar kelas. Itu berarti Bu Lani, guru yang mengajar di jam pertama, belum masuk. Saat hendak melangkah masuk, seorang teman menahanku di pintu. Ia memberikan sepucuk amplop berwarna ungu muda.

"Kiah, ini dari Jeri."

"Untuk Rona ya?"

"Coba baca dulu, aku juga nggak tahu pasti. Bisa jadi untuk Rona, tapi dia memintaku untuk memberikannya padamu."

Surat tersebut kuambil lalu kumasukkan ke dalam tas. Aku langsung masuk menuju tempat duduk. Rona tidak ada di kelas, tasnya pun belum ada di laci meja. Apa mungkin dia tidak hadir hari ini?

"An, Rona nggak masuk ya?" tanyaku kepada Ana, teman yang duduk di meja sebelah.

"Mungkin iya, soalnya dari tadi belum kelihatan. Tasnya ada nggak?"

"Nggak ada. Tapi biasanya kalau dia nggak masuk, ayahnya selalu ngantar surat izin."

"Jangan-jangan dia juga terlambat."

"Kalau terlambat berarti nggak bisa masuk lagi. Kiah juga hampir aja tadi nggak bisa masuk, untung Pak Soleh masih ngizinin."

Rona adalah sahabat dekatku. Sejak kelas satu SMA kami duduk berdekatan. Di kelas dua ini pun kami tetap memilih untuk bersama. Karena keakraban kami, teman-teman sering mengira kami bersaudara. Kami selalu berbagi cerita, suka dan duka. Belakangan ini, ia sering tidak masuk karena sakit. Maagnya sering kambuh. Di sekolah, ia pernah mengeluhkan pusing dan rasa mual yang cukup parah.

"Ki, PR matematika udah?" tanya Ana.

"Udah."

"Lihat ya?"

"Kenapa, belum ngerjain?"

"Udah sih, cuma pengin nyocokin aja, siapa tahu beda."

Aku mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas. Buku PR matematika kuberikan pada Ana. Saat mengeluarkan buku, tanpa sengaja surat dari Jeri terjatuh tepat di bawah meja. Aku langsung mengambilnya dan meletakkannya di dalam laci. Semua kulakukan dengan cepat, tapi Ana sepertinya melihat kejadian itu.

"Dapat surat cinta," ledek Ana.

"Siapa, An? Dapat surat cinta?" tanya Tari, teman sebangku Ana. Ana tidak menjawab, hanya tersenyum dan melirik ke arahku. Tentu saja Tari langsung mengerti.

"Itu titipan seseorang, bukan untukku," jawabku membela diri.

"Ih, nggak ngaku lagi. Apa perlu kami baca bareng-bareng?" ucap Ana menggoda.

"Udah, nanti Bu Lani masuk. Cepet lihat PR-nya," ucapku mencoba mengalihkan perhatian mereka. Mendengar nama Bu Lani, Ana buru-buru membuka buku PR matematikanya dan mulai membandingkan jawabannya dengan punyaku.

"Kiah, nomor tiga kita beda," ucap Ana. Aku berdiri dan mendekati mejanya. Memang, jawaban kami berbeda.

"Iya, Ana. Rumus kita juga beda."

"Coba lihat punya Tari."

Tari memberikan buku PR-nya."Ini beda lagi," ucap Ana.

Kami bertiga jadi bingung."Siapa yang salah, siapa yang benar ini?"

"Pakar matematika biasanya Kiah. Apa kita ikut jawaban Kiah aja?"

"Nggak dulu, males. Yang penting ada jawabannya," ucap Tari santai.

"Dasar Tari, mestinya bukan asal jawab, tapi harus benar juga."

"Sudahlah, Ana. Jawabanmu nggak usah diganti, takut nggak sempat. Belum tentu juga jawabanku benar semua."

"Iya juga. Siapa tahu justru jawabanku yang benar semua!"

Ana mengembalikan buku PR-ku, ia tidak jadi mengganti jawabannya. Di meja belakang, beberapa teman laki-laki tampak sibuk menyalin PR. Kalau sampai ketahuan Bu Lani, mereka bisa kena sanksi. Aku meletakkan buku PR ke dalam laci meja. Tanganku menyentuh surat yang sebelumnya kuletakkan di sana. Rasa penasaran membuatku ingin tahu isinya.

Aku membuka amplop itu. Wangi harum menyeruak keluar. Isinya selembar kertas berwarna ungu muda, senada dengan amplopnya. Aku selipkan surat itu ke dalam buku pelajaran matematika agar yang lain tidak bisa melihat. Sekilas, kulihat ada tanda tangan di bagian bawah dengan nama: "Jeri Prakoso". Mungkin ini memang untuk Rona, karena setahuku, Jeri adalah pacar Rona. Tapi aku ingat pesan teman yang menitipkan surat ini untukku. Tanggal surat menunjukkan surat ini ditulis lima hari yang lalu. Bu Lani belum juga masuk ke kelas. Ini kesempatan bagiku untuk membaca isi surat tersebut.

Palembang, 11 Desember 1995

Menjumpai Zakiah,

Malam begitu gelap, tapi mataku

tak bisa terpejam. Bayangan wajah manismu

selalu hadir di pelupuk mata.

Hari-hariku terusik, candumu membuatku

benar-benar dimabuk asmara.

Kiah, aku ingin mengatakan langsung padamu,

tapi aku yakin engkau akan menolak rasaku ini

dengan alasan persahabatan.

Jujur, aku ungkapkan padamu,

aku hanya menganggapnya teman biasa saja.

Aku hanya berharap lebih padamu seorang.

Aku merasa sakit yang begitu hebat

bila tidak bisa memilikimu.

Hanya dirimu yang mampu menyembuhkannya.

Aku ingin engkau menjadi milikku selamanya.

Kiah, tolong mengerti perasaanku ini.

Terimalah aku menjadi kekasihmu.

Siapapun, tak ada yang bisa menghalangi.

Kiah, surat ini tidak perlu dibalas.

Aku takut engkau merasa lelah berpikir dan menulis balasan.

Aku tidak menginginkan itu.

Cukup engkau mengangguk di hadapanku,

itu saja sudah cukup bagiku,

sebagai pertanda rasa cinta ini menemukan jalannya.

Jeri Prakoso

Ternyata surat tersebut memang ditujukan untukku. Kata-katanya yang manis bisa membuat siapa pun yang membacanya terhanyut, sekaligus merasa takut. Sepertinya ia sangat terobsesi pada perasaannya sendiri. Aku sama sekali tidak bersimpati. Hatiku begitu marah dan kesal. Hadirnya surat ini menunjukkan bahwa ia telah mengkhianati hubungan dengan Rona, sahabatku.

“Assalamualaikum,” suara salam dari Bu Lani membuatku terkejut. Seperti biasa, kami menjawab salamnya serentak. Bu Lani masuk dan duduk di kursi, membuka buku absen dan mulai memanggil nama kami satu per satu. Surat dari Jeri langsung kusimpan kembali ke dalam tas.

Tok, tok, tok — pintu diketuk tiga kali, lalu seseorang membukanya. Ternyata Jeri.

“Masuk,” ucap Bu Lani. Jeri masuk dengan terburu-buru. Tangan kanannya lecet dan mengeluarkan sedikit darah.

“Kenapa tanganmu, Jer?” tanya Bu Lani.

“Terkena cakaran kucing peliharaan tetangga, Bu,” jawabnya gugup.

“Obati dulu sekarang, takut bahaya. Minta obat ke Pak Burhan di ruang UKS. Tapi setelah itu langsung kembali ke kelas,” ucap Bu Lani. Ia ternyata cukup peduli, meskipun saat mengajar terkenal tegas.

Pelajaran dimulai. Kami diminta mengumpulkan buku PR. Setelah buku dikumpulkan, pembahasan dilakukan bersama. Bu Lani meminta tiga orang untuk menjawab PR di papan tulis. Kali ini aku tidak mendapat giliran.

Sepuluh menit kemudian, pintu diketuk lagi. Jeri muncul dengan luka yang sudah diolesi obat merah.

“Sudah diobati, Bu,” katanya.

“Silakan duduk,” jawab Bu Lani.

Jeri duduk, tiga meja dari tempat dudukku. Aku ingin sekali menatapnya. Saat kulirik, ia tampak gelisah. Wajahnya pucat. Aku kembali memperhatikan Bu Lani.

“Coba nomor tiga. Ini belum ada yang tepat! Ada yang mau coba lagi?”

Tidak ada yang menjawab.

“Kiah, ini ada yang sama tidak jawabannya?” tanya Bu Lani.

“Lain, Bu.”

“Ambil bukunya, tulis di depan.”

Aku maju, menuliskan jawaban di papan tulis. Jawabannya panjang, sampai harus menghapus sebagian tulisan sebelumnya.

“Inilah jawaban yang tepat,” ucap Bu Lani setelah beberapa teman menunjukkan jawabannya sama denganku.

Aku duduk kembali. Ana melirikku, tampak menyesal karena tidak mengganti jawabannya. Aku tersenyum kepadanya.

Bel berbunyi nyaring. Seketika kantin diserbu siswa. Aku ikut menuju ke sana. Kulihat Jeri sendirian, berjalan ke arahku. Dengan cepat, kutarik tangan temanku dan memutar arah. Aku tidak ingin berpapasan dengannya. Hatiku benar-benar tidak suka dengan tindakannya.

Rona adalah sahabatku. Tidak mungkin aku mengkhianati persahabatan kami demi seorang Jeri. Ingin rasanya meluapkan amarahku, tapi semua itu hanya kupendam. Aku masih ingin menjaga rasa agar tidak mengganggu persahabatanku dengan Rona. Cuaca mendung, langit gelap, angin berhembus kencang. Dahan pohon patah, petir menyambar, dan gerimis mulai turun. Kami berlarian kembali ke kelas. Di tengah badai itu, terdengar teriakan histeris dari arah kamar mandi. Kami semua ketakutan. Mungkin ada yang terkena sambaran petir, karena suara itu datang bersamaan dengan kilatan yang menyambar.

Tiga orang teman berlari masuk ke kelas, wajah mereka pucat. Ada yang pingsan, katanya. Seorang siswi ditemukan dalam keadaan tengkurap di kamar mandi yang sudah lama tak digunakan. Pintu kamar mandi itu terbuka karena angin. Rasa penasaran membuat aku dan beberapa teman ingin melihat langsung. Tapi kerumunan terlalu padat. Kami hanya bisa mendengar cerita dari mereka yang melihat langsung. Seorang siswi tergeletak tak sadarkan diri. Siapa dia belum bisa dipastikan...

Bab 2

Penjaga sekolah dan guru-guru berlarian menuju kamar mandi. Kami dilarang mendekat dan diarahkan agar masuk ke dalam kelas masing-masing. Sepertinya guru-guru tidak berani mengambil tindakan langsung. Penjaga sekolah memeriksa denyut nadinya.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sudah meninggal, Pak,” ucap Pak Soleh.

“Jangan diubah posisinya, Pak! Biarkan polisi dan pihak rumah sakit yang menangani,” ujar seorang guru lainnya dengan nada panik.

Sambil berjalan meninggalkan tempat kejadian, aku masih bisa mendengar percakapan kepala sekolah yang sedang menghubungi pihak kepolisian dan petugas medis dari rumah sakit. Suasana terasa begitu mencekam. Ketakutan menyelimuti seluruh lingkungan sekolah. Suara ramai di kelas saat jam istirahat berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada yang berani duduk sendirian, semua berkumpul dan hanya diam membisu, saling memandang tanpa kata. Itulah yang bisa kami lakukan untuk sementara ini.

Aku bergabung dengan Ana dan Tari, dua bangku kami gabungkan agar bisa duduk bersama. Tiupan angin membanting pintu kelas hingga menutupnya rapat. Suaranya keras, seperti bantingan pintu dari orang yang sedang marah besar. Alam seakan ikut marah atas kejadian ini, membuat kami semakin ketakutan.

Perlahan, cuaca mulai mereda. Hanya sedikit gerimis yang tersisa. Udara masih terasa dingin. Suara nyaring sirene ambulans dan mobil kepolisian memecah kesunyian. Garis pembatas dipasang di sekitar lokasi kejadian.

Kami berdiri di depan kelas, menyaksikan para polisi yang mengawal petugas medis. Mereka membawa jasad siswi itu menuju ambulans. Tubuhnya lunglai, bersimbah darah. Tas sekolah masih menggantung di punggungnya. Saat wajahnya terlihat jelas, aku terkejut—dia adalah sahabatku, Rona Sumitra.

Petugas medis segera menutup tubuhnya. Itulah pertemuan terakhir kami. Dengan pengawalan ketat dari polisi, jenazah dibawa untuk diotopsi. Air mataku langsung mengalir. Kenangan tentang kebersamaan kami selama ini seakan terputar kembali. Kini semuanya tinggal kenangan. Ia telah pergi untuk selamanya.

"Selamat jalan, sahabatku Rona..." gumamku dalam hati. Ini bukanlah jalan terbaik untukmu, tapi takdir sudah berkata lain.

Hari kedua setelah kepergian Rona.

Ibu masuk ke kamar, membangunkanku. Udara pagi itu sangat dingin. Hembusannya terasa menusuk tulang. Rasa malas menyelimuti. Tidak ada semangat untuk menjalani hari, apalagi pergi ke sekolah.

“Kak, salat dulu. Sudah pukul setengah enam,” ucap ibu.

“Iya, Bu,” jawabku pelan. Aku tetap harus bangun dan menunaikan salat subuh meski agak terlambat.

Ku langkahkan kaki ke kamar mandi. Membersihkan badan, lalu berwudu. Setelah salat, aku tak lupa memanjatkan doa untuk Rona.

Waktu terasa cepat berlalu. Rasanya baru saja selesai salat, kini cahaya matahari mulai terlihat, meski masih malu-malu menembus tirai jendela kaca. Aku membuka tirai, cahaya langsung menyelinap masuk, memberi sedikit kehangatan.

Ibu masuk lagi ke kamarku.

“Kiah, belum siap-siap? Sudah hampir jam tujuh. Nanti terlambat.”

“Nggak tahu, Bu. Kia malas. Rasanya berat sekali. Kia nggak usah sekolah hari ini ya…”

“Kamu sakit?” tanya ibu, menyentuh dahiku. Sentuhannya terasa dingin dan menenangkan.

“Kayaknya nggak, Bu. Cuma rasanya tidak mau sekolah saja.”

Ibu menghela napas pelan. “Masih kepikiran kejadian kemarin, ya? Sudah, nggak apa-apa. Hari ini tidak usah masuk sekolah dulu. Kita melayat ke rumah Rona, nanti ibu yang temani.”

Hari ini aku benar-benar merasa kehilangan. Ini adalah hari pertama sejak kejadian itu. Aku sengaja tidak masuk sekolah tanpa surat ataupun keterangan.

Pukul 07.30, seharusnya aku sudah duduk di kelas, mendengarkan guru mengajar. Tapi hari ini aku berjalan menuju rumah Rona, ditemani ibuku. Tenda duka terpasang di halaman rumah yang bercat hijau muda. Kursi-kursi plastik tersusun rapi. Hari masih pagi, tapi pelayat sudah ramai berdatangan. Kami melewati sekumpulan bapak-bapak yang sedang berbincang. Ayah Rona ada di antara mereka. Matanya sembap. Ia mempersilakan kami masuk untuk bertemu istrinya.

Kami melangkah masuk. Ruangan terasa begitu lapang, tanpa kursi dan meja seperti biasanya. Hanya hamparan karpet bercorak bunga merah yang memenuhi ruangan. Kami duduk bersama pelayat lainnya. Beberapa ibu-ibu mulai melantunkan surat Yasin. Seorang ibu menyerahkan buku Yasin padaku dan ibu. Kami pun ikut melantunkan doa untuk Rona.

Setelah membaca Yasin, kulihat ibu Rona muncul dari pintu belakang. Ia mengenakan gamis panjang cokelat muda dan selendang putih. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Ia duduk tidak jauh dari kami, ditemani beberapa kerabat. Sesekali ia menyeka air mata.

Aku berdiri dan menghampirinya bersama ibu. Kucium punggung tangannya. Ibu Rona langsung memelukku erat.

“Kiah… Rona, Kiah...” ucapnya lirih.

“Iya, Tante... Sabar, ya, Tante.” Hanya itu yang mampu kuucapkan. Lidahku kelu. Aku ikut menangis.

Beberapa saat kemudian, seorang perempuan paruh baya mendekati ibu Rona dan membisikkan sesuatu. Ibu Rona bangkit perlahan, pamit, lalu berjalan ke ruang belakang.

Di sebelah ibu duduk Bude Nur, saudara perempuan ayah Rona. Aku mengenalnya baik. Kami sering bermain di rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Rona. Ibu berbincang dengan Bude Nur. Aku mendengar jenazah seharusnya sudah tiba sejak pukul delapan pagi. Tapi kini sudah pukul sembilan lewat sepuluh menit.

Aku terdiam. Bahkan di saat kepergiannya, Rona harus melewati prosedur panjang sebelum bertemu keluarganya.

Hari Ketiga Setelah Kepergian Rona

Hari ketiga setelah kejadian, aku memberanikan diri untuk kembali ke sekolah. Tapi suasana belum pulih. Semua masih dihantui ketakutan. Tidak ada yang berani berjalan sendirian, apalagi ke kamar mandi. Garis polisi masih terpasang. Melewatinya membuat bulu kuduk merinding.

Pelajaran kedua dimulai pukul 09.15. Bu Inayah, guru Biologi, masuk ke kelas. Biasanya ini pelajaran favoritku, tapi kali ini aku tidak bersemangat. Tiba-tiba dua polisi masuk ke kelas, ditemani kepala sekolah. Mereka berbicara sebentar dengan Bu Inayah, lalu memanggil Jeri keluar kelas. Aku duduk di bangku depan, tapi tak mendengar jelas pembicaraannya. Bu Inayah meminta kami tetap tenang di kelas.

“Kenapa Jeri dipanggil?” bisik Ana padaku.

“Nggak tahu.” Jawabku singkat. Aku memang tidak suka membicarakan Jeri. Apalagi setelah tahu betapa ia telah menghianati Rona.

Ana tetap penasaran. Ia dan beberapa teman lainnya mendekati jendela untuk mengintip. Ana menarikku ikut.

“Kia, lihat! Ini pasti ada hubungannya dengan Rona!”

Aku diam. Tapi ketika kulihat tangan Jeri diborgol dan dibawa ke mobil polisi, hatiku tercabik. Sahabatku… dan pelakunya adalah orang yang ia cintai. Saat Bu Inayah kembali ke kelas, pelajaran dilanjutkan. Tapi suasana sudah tidak sama. Semua resah.

Saat jam istirahat, kabar itu tersebar luas. Jeri Prakoso, terbukti sebagai pelaku. Motifnya mengejutkan: Rona hamil tiga bulan. Ia mendesak Jeri bertanggung jawab. Karena tertekan, Jeri menghabisi Rona dengan beberapa tusukan benda tajam, tepat di pagi hari sebelum jam pelajaran dimulai. Jeri dikeluarkan dari sekolah dan akan menghadapi hukuman. Aku merasa menyesal telah membaca surat terakhir darinya. Sungguh, itu membuatku merasa seperti bagian dari tragedi ini.

Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar, mengambil surat Jeri, lalu menyobeknya kecil-kecil dan menyiramnya ke dalam kloset. Aku tidak ingin surat itu ditemukan siapa pun. Biarlah semuanya terkubur bersama rasa sakit ini. Wajah Rona terus membayang. Dulu ia selalu ceria saat bersama Jeri. Tapi kebahagia annya ternyata hanya semu. Aku hanya bisa berdoa semoga ia tenang di sana.

Selamat jalan, sahabatku. Semoga damai di sisi-Nya.

Bab 3

Kejadian yang menimpa Rona membuatku merasa begitu takut, dengan hubungan cinta yang terjalin atas nama pacaran. Hal ini membuatku berpikir ulang, ternyata cinta diantara mereka hanyalah cinta semu belaka, hubungan yang terjalin menjerumuskan pada perbuatan dosa, aniaya dan membuat kehancuran.

Sejak kejadian itu, aku mulai menghindar bila ada teman laki-laki yang tingkahnya mulai menunjukkan perhatian yang istimewa, seketika hati ku tidak menyukainya, aku langsung menjauh dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Aku tidak ingin mengalami hal yang sama seperti sahabatku.

Selama di SMA, banyak surat-surat cinta yang kudapat, dari kakak kelas, dan teman- teman satu angkatan tapi berbeda kelas, dari adik kelas pun ada. Semua surat mereka pada dasarnya sama, berisi rayuan gombal mengajakku menjalin hubungan pacaran, kata-kata yang mereka tuliskan di surat tersebut tidak bisa menggoyahkan hati. Ada yang pernah nekad sampai menemui ku dirumah, saat itu aku bersembunyi dikamar, sementara Bagas ku minta menanggulanginya, entah apa yang diucapkan Bagas, karena setelah itu ia tidak datang lagi.

Diakhir kelas tiga ada satu surat datang dari sekolah lain, aku sendiri tidak mengenal si pengirim, dari ceritanya ia pernah melihatku ketika acara pertandingan persahabatan bola basket yang digelar di sekolah. Pada saat pertandingan berlangsung, aku dan teman-teman menyaksikan pertandingan tersebut, kami berdiri sangat dekat dengan lapangan, ia menjadi anggota salah satu tim yang bertanding melawan tim sekolah kami.

Semua surat-surat yang ku terima tidak ada yang ku balas, beberapa ku bakar dan ada yang tidak sampai ikut pulang ke rumah, karena sudah dibuang ketika masih di jalan. Pada dasarnya aku tidak membatasi pertemanan dengan teman laki-laki, karena di sekolah kami biasa saling berinteraksi, hanya saja bila ada yang memiliki perasaan lebih, aku akan langsung menjauh, rasa persahabatan ku padanya berubah menjadi kebencian yang sebenarnya tidak berdasar.

Masa-masa SMA sangat berkesan, tidak memiliki seorang pacar bukan berarti aku tidak bisa menikmati indahnya masa sekolah ini. Aku memiliki teman-teman perempuan yang asik, kami membuat kelompok dan sering melakukan hal-hal asik secara bersama-sama. Banyak kegiatan positif yang kami lakukan, seperti mengikuti les dan kursus bersama, diwaktu libur kami sering berkumpul, kadang dirumah, dan kadang dirumah teman yang lainnya. Eli, Ana, dan Lila mereka adalah teman-teman dekat ku, mereka telah memberi kenangan terindah di masa-masa SMA ku.

Lima tahun telah berlalu, tragedi yang menyebabkan kepergian Rona masih melekat dibenak ku, tidak hanya melekat dengan baik, ia memberiku rasa trauma yang begitu dalam. Sejak kejadian itu, sampai saat ini aku sangat antipati dengan hubungan yang bernama pacaran. Aku sangat menghindari bila ada seseorang yang ingin mendekatiku dan berharap lebih dari hubungan sebagai seorang teman. Sejak saat itu aku memantapkan hatiku untuk tidak pacaran, telah tertulis di hati, aku akan menikah dengan seseorang yang benar-benar kuinginkan tanpa melalui proses pacaran.

Hari masih pagi, ibu membuka pintu dapur, ia ingin ke rumah bude Asti, barusan kami mendapat kabar, Ayahnya Bude Asti mengalami sesak napas, ibu ingin memastikan keadaannya. Bude Asti adalah tetangga kami, rumah kami hanya terpisah oleh jalan setapak.

“Kia, kunci kembali pintu nya.”

“Iya Bu”

Tidak lama ibu keluar, terdengar suara musik mengalun cukup keras.

“Akulah Arjuna, yang mencari cinta, wahai wanita, cintailah aku.”

Lagu dari band kesukaanku dewa 19, meskipun lagu yang diputar sangat kusukai, tapi kalau sudah seluruh penjuru rumah bisa mendengar berarti volumenya sudah tidak wajar lagi, dan ini bisa juga mengganggu tetangga sekitar.

Kutinggalkan sementara roti yang sudah ku olesi mentega, lalu menuju kamar adikku. Ketika di dapur suaranya hanya menyakiti telingaku, begitu memasuki kamarnya, bukan hanya telinga tapi detak jantungku ikut terpacu dan bergetar lebih kencang, rasanya suara musik ini bisa membangunkan orang-orang satu RT.

Sepertinya adikku baru keluar dari kamar mandi, karena masih mengenakan kain handuk, ia memegang sapu ditangannya seperti posisi memegang sebuah gitar, sapu tersebut ia ayun-ayunkan persis seperti gitaris professional. Tanpa memperdulikan tingkahnya, aku langsung mengecilkan volume musik yang sangat memecah telinga.

“Tidak asik Kak kalau suaranya kecil”

“Kasihan tetangga, mereka berhak mendapatkan ketenangan”

“Ini kan pagi kak, waktunya semangat pagi, kalau malam iya, kita butuh ketenangan untuk tidur, benar tidak?”

Kutinggalkan Bagas, ia masih mengayunkan sapu yang dipegangnya, aku segera menuju ke dapur untuk menyelesaikan membuat roti panggang buat sarapan pagi ini.

“Assalamualaikum”

“waalaikumsalam”

Ku buka pintu, ibu masuk dari pintu dapur membawa pisang dua sisir, masing-masing yang diikat dengan tali, pisangnya besar dan matang, sepertinya siap untuk dimakan, ibu meletakkan pisang-pisang tersebut di atas meja.

“Bu tidakkebanyakan apa?”

“Satu untuk bude Asti, nanti ibu mau kerumahnya lagi.”

“Bagaimana keadaan kakek bu?”

“Harus istirahat total, tidak boleh banyak jalan seperti kebiasaannya.”

Aku menyelesaikan membuat roti panggang isi selai nanas, selai nanasnya buatan sendiri, rasa manisnya lebih alami. Selesai memanggang roti aku langsung menyeduh teh, dua teh celup kumasukkan ke dalam satu ceret ukuran sedang, ini cukup untuk teman sarapan kami dengan roti panggang.

“Kia segera mandi, ini sudah pukul tujuh lewat sepuluh, nanti terlambat biar ibu yang melanjutkan” suara ibu terdengar cemas.

“Iya bu, ini juga sudah selesai.”

“Cepat mandi, nanti berangkat sama Bagas kan?"

Sepiring roti panggang ku letakkan di atas meja, teh hangat juga sudah tersedia, biasanya jam segini aku sudah mandi dan bersiap-siap berangkat, sementara saat ini baru mau mandi, wajar saja ibu terlihat cemas. Bagas keluar dari kamarnya membawa keranjang pakaian kotor, ia sudah nampak rapi, dengan baju kaos abu berkerah, ada list putih ditangan, ia memadukannya dengan celana jeans hitam, benar-benar gaya seorang mahasiswa.

“Tunggu Kakak ya”

“Oke bos, cepat bersiap, atau ditinggal.”

“Tujuh tiga lima kita berangkat.”

Aku segera menuju ke kamar untuk membersihkan badan, lalu bersiap-siap untuk berangkat kerja, waktu yang ku habiskan hanya sepuluh menit untuk menyelesaikan semuanya, setelah itu aku langsung menuju kebelakang untuk sarapan. Langkahku terhenti, terdengar suara ketukan, aku segera membukakan pintu, ternyata bu Siti, istri ketua RT di lingkungan kami.

“Kia…, ibunya ada”

“Ada bu, tunggu Kia panggilkan”

“Ibu mau ambil jahitan, katanya kemarin sudah selesai”

“Duduk dulu bu.”

Aku masuk ke kamar ibu, ia baru saja selesai melaksanakan shalat dhuha, aku menunggu sejenak duduk ditempat tidur, karena ibu masih sedang berdoa.

“Ada siapa  Kak,?”

“Bu Siti, katanya mau mengambil jahitan Bu”

“Oh iya, jahitannya sudah selesai, Kia cepatlah sarapan” ucap ibu, Ibu keluar kamar menemui bu Siti, aku segera ke belakang untuk sarapan, sesuai dengan target yang sudah ku buat, tepat pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit, aku dan Bagas keluar meninggalkan rumah.

Zakiah Dahlan nama lengkap ku, saat aku dan adikku Bagas masih sekolah dasar, Ayah pergi  meninggalkan kami. Ayah dulunya adalah seorang guru SMA yang sudah berstatus pegawai negeri sipil, uang pensiun ayah yang menjadi bekal kehidupan kami. Semenjak ayah meninggal ibu tidak berdiam diri, dirumah ia membuka usaha jahit pakaian, meskipun masih usaha kecil, tapi langganan ibu cukup banyak, ia dibantu dua orang dalam menjalankan usahanya, setiap hari ada saja jahitan yang harus ibu selesaikan, apalagi disaat momen-momen tertentu, seperti menjelang tahun ajaran baru.

Beberapa sekolah langganan ibu menjahitkan seragam untuk siswanya, begitu juga bila ada acara pernikahan di wilayah kami, atau ketika mendekati bulan suci Ramadhan, biasanya pesanan semakin meningkat. Kehidupan kami terbilang berkecukupan, meskipun begitu ibu selalu mengajarkan kami untuk hidup prihatin dan tidak berlebih-lebihan. Ia lebih mementingkan pendidikan untuk masa depan kami ketimbang kebutuhannya sendiri.

Ibu menanamkan cita-cita yang besar pada kami, ia berharap agar aku dan adikku bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi. Ibu agak sedikit lega, karena jarak umur kami selisih tiga tahun, menurut perhitungan ibu, ketika aku menyelesaikan kuliah program diploma, Bagas baru akan menjadi mahasiswa.

Ibu juga sangat berharap, agar setelah menyelesaikan pendidikan aku dapat langsung diterima bekerja. Doa seorang ibu mampu menyentuh langit, jalan pun terbuka. Saat aku telah menyelesaikan pendidikan, tante Mala,

adik perempuan ayah memberikan informasi lowongan pekerjaan di perguruan tinggi ditempat temannya mengajar, setelah dilihat kualifikasi ku memenuhi semua persyaratan untuk mengikuti tes, dengan bantuan dan rekomendasi dari temannya, aku diterima sebagai staf di salah satu program studi di perguruan tinggi tersebut.

Skenario yang ibu susun satu persatu mulai terwujud, dengan usaha dan doa yang tak pernah putus. Saat ini Bagas telah menyandang status sebagai mahasiswa, ia sudah memasuki semester dua, sementara aku sudah diterima sebagai karyawan di perguruan tinggi swasta, meskipun masih status sebagai karyawan masa percobaan.

Dunia kerja sangat membuat sibuk, menjadi staf di perguruan tinggi swasta yang besar dan sangat terkenal karena keunggulan lulusannya,  kebanggaan tersendiri bagiku bisa bergabung disini, apalagi ibuku, ini memang harapannya sejak lama, agar setelah kuliah aku langsung mendapatkan pekerjaan. Awal yang cukup sulit bagiku, karena ini benar-benar dunia baru, berkat bimbingan dan arahan yang tepat aku dapat dengan mudah mengikuti iramanya. Aku ditempatkan di program studi yang relatif baru, belum ada meluluskan mahasiswa, tahun ini program studi baru akan melaksanakan yudisium dan wisuda mahasiswa angkatan pertamanya.

Sebagian besar stafnya disini masih muda-muda, beberapa sudah menikah, dan banyak juga yang masih lajang, ada satu staf yang seusia dengan ku, kami berdua terbilang staf paling muda disini, beda sekitar tiga sampai empat tahun dengan beberapa staf yang masih lajang lainnya. Mahasiswa di kampus tempatku bekerja

memanggilku dengan sebutan “Mbak Kia.” Aku membantu menyiapkan administrasi kegiatan perkuliahan, bila sudah menyangkut absensi kehadiran dan surat menyurat, mahasiswa sering berurusan denganku.

Berhadapan dengan mahasiswa bukanlah hal yang mudah, karena usia yang tidak begitu terpaut jauh, mereka tidak segan melontarkan kata-kata candaan, walaupun begitu mereka tetap menjaga kesopanan antara mahasiswa dengan staf, ditengah kesibukanku menyiapkan administrasi kadang ada saja ulah mereka yang membuatku geli.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!