Bab 3

Kejadian yang menimpa Rona membuatku merasa begitu takut, dengan hubungan cinta yang terjalin atas nama pacaran. Hal ini membuatku berpikir ulang, ternyata cinta diantara mereka hanyalah cinta semu belaka, hubungan yang terjalin menjerumuskan pada perbuatan dosa, aniaya dan membuat kehancuran.

Sejak kejadian itu, aku mulai menghindar bila ada teman laki-laki yang tingkahnya mulai menunjukkan perhatian yang istimewa, seketika hati ku tidak menyukainya, aku langsung menjauh dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Aku tidak ingin mengalami hal yang sama seperti sahabatku.

Selama di SMA, banyak surat-surat cinta yang kudapat, dari kakak kelas, dan teman- teman satu angkatan tapi berbeda kelas, dari adik kelas pun ada. Semua surat mereka pada dasarnya sama, berisi rayuan gombal mengajakku menjalin hubungan pacaran, kata-kata yang mereka tuliskan di surat tersebut tidak bisa menggoyahkan hati. Ada yang pernah nekad sampai menemui ku dirumah, saat itu aku bersembunyi dikamar, sementara Bagas ku minta menanggulanginya, entah apa yang diucapkan Bagas, karena setelah itu ia tidak datang lagi.

Diakhir kelas tiga ada satu surat datang dari sekolah lain, aku sendiri tidak mengenal si pengirim, dari ceritanya ia pernah melihatku ketika acara pertandingan persahabatan bola basket yang digelar di sekolah. Pada saat pertandingan berlangsung, aku dan teman-teman menyaksikan pertandingan tersebut, kami berdiri sangat dekat dengan lapangan, ia menjadi anggota salah satu tim yang bertanding melawan tim sekolah kami.

Semua surat-surat yang ku terima tidak ada yang ku balas, beberapa ku bakar dan ada yang tidak sampai ikut pulang ke rumah, karena sudah dibuang ketika masih di jalan. Pada dasarnya aku tidak membatasi pertemanan dengan teman laki-laki, karena di sekolah kami biasa saling berinteraksi, hanya saja bila ada yang memiliki perasaan lebih, aku akan langsung menjauh, rasa persahabatan ku padanya berubah menjadi kebencian yang sebenarnya tidak berdasar.

Masa-masa SMA sangat berkesan, tidak memiliki seorang pacar bukan berarti aku tidak bisa menikmati indahnya masa sekolah ini. Aku memiliki teman-teman perempuan yang asik, kami membuat kelompok dan sering melakukan hal-hal asik secara bersama-sama. Banyak kegiatan positif yang kami lakukan, seperti mengikuti les dan kursus bersama, diwaktu libur kami sering berkumpul, kadang dirumah, dan kadang dirumah teman yang lainnya. Eli, Ana, dan Lila mereka adalah teman-teman dekat ku, mereka telah memberi kenangan terindah di masa-masa SMA ku.

Lima tahun telah berlalu, tragedi yang menyebabkan kepergian Rona masih melekat dibenak ku, tidak hanya melekat dengan baik, ia memberiku rasa trauma yang begitu dalam. Sejak kejadian itu, sampai saat ini aku sangat antipati dengan hubungan yang bernama pacaran. Aku sangat menghindari bila ada seseorang yang ingin mendekatiku dan berharap lebih dari hubungan sebagai seorang teman. Sejak saat itu aku memantapkan hatiku untuk tidak pacaran, telah tertulis di hati, aku akan menikah dengan seseorang yang benar-benar kuinginkan tanpa melalui proses pacaran.

Hari masih pagi, ibu membuka pintu dapur, ia ingin ke rumah bude Asti, barusan kami mendapat kabar, Ayahnya Bude Asti mengalami sesak napas, ibu ingin memastikan keadaannya. Bude Asti adalah tetangga kami, rumah kami hanya terpisah oleh jalan setapak.

“Kia, kunci kembali pintu nya.”

“Iya Bu”

Tidak lama ibu keluar, terdengar suara musik mengalun cukup keras.

“Akulah Arjuna, yang mencari cinta, wahai wanita, cintailah aku.”

Lagu dari band kesukaanku dewa 19, meskipun lagu yang diputar sangat kusukai, tapi kalau sudah seluruh penjuru rumah bisa mendengar berarti volumenya sudah tidak wajar lagi, dan ini bisa juga mengganggu tetangga sekitar.

Kutinggalkan sementara roti yang sudah ku olesi mentega, lalu menuju kamar adikku. Ketika di dapur suaranya hanya menyakiti telingaku, begitu memasuki kamarnya, bukan hanya telinga tapi detak jantungku ikut terpacu dan bergetar lebih kencang, rasanya suara musik ini bisa membangunkan orang-orang satu RT.

Sepertinya adikku baru keluar dari kamar mandi, karena masih mengenakan kain handuk, ia memegang sapu ditangannya seperti posisi memegang sebuah gitar, sapu tersebut ia ayun-ayunkan persis seperti gitaris professional. Tanpa memperdulikan tingkahnya, aku langsung mengecilkan volume musik yang sangat memecah telinga.

“Tidak asik Kak kalau suaranya kecil”

“Kasihan tetangga, mereka berhak mendapatkan ketenangan”

“Ini kan pagi kak, waktunya semangat pagi, kalau malam iya, kita butuh ketenangan untuk tidur, benar tidak?”

Kutinggalkan Bagas, ia masih mengayunkan sapu yang dipegangnya, aku segera menuju ke dapur untuk menyelesaikan membuat roti panggang buat sarapan pagi ini.

“Assalamualaikum”

“waalaikumsalam”

Ku buka pintu, ibu masuk dari pintu dapur membawa pisang dua sisir, masing-masing yang diikat dengan tali, pisangnya besar dan matang, sepertinya siap untuk dimakan, ibu meletakkan pisang-pisang tersebut di atas meja.

“Bu tidakkebanyakan apa?”

“Satu untuk bude Asti, nanti ibu mau kerumahnya lagi.”

“Bagaimana keadaan kakek bu?”

“Harus istirahat total, tidak boleh banyak jalan seperti kebiasaannya.”

Aku menyelesaikan membuat roti panggang isi selai nanas, selai nanasnya buatan sendiri, rasa manisnya lebih alami. Selesai memanggang roti aku langsung menyeduh teh, dua teh celup kumasukkan ke dalam satu ceret ukuran sedang, ini cukup untuk teman sarapan kami dengan roti panggang.

“Kia segera mandi, ini sudah pukul tujuh lewat sepuluh, nanti terlambat biar ibu yang melanjutkan” suara ibu terdengar cemas.

“Iya bu, ini juga sudah selesai.”

“Cepat mandi, nanti berangkat sama Bagas kan?"

Sepiring roti panggang ku letakkan di atas meja, teh hangat juga sudah tersedia, biasanya jam segini aku sudah mandi dan bersiap-siap berangkat, sementara saat ini baru mau mandi, wajar saja ibu terlihat cemas. Bagas keluar dari kamarnya membawa keranjang pakaian kotor, ia sudah nampak rapi, dengan baju kaos abu berkerah, ada list putih ditangan, ia memadukannya dengan celana jeans hitam, benar-benar gaya seorang mahasiswa.

“Tunggu Kakak ya”

“Oke bos, cepat bersiap, atau ditinggal.”

“Tujuh tiga lima kita berangkat.”

Aku segera menuju ke kamar untuk membersihkan badan, lalu bersiap-siap untuk berangkat kerja, waktu yang ku habiskan hanya sepuluh menit untuk menyelesaikan semuanya, setelah itu aku langsung menuju kebelakang untuk sarapan. Langkahku terhenti, terdengar suara ketukan, aku segera membukakan pintu, ternyata bu Siti, istri ketua RT di lingkungan kami.

“Kia…, ibunya ada”

“Ada bu, tunggu Kia panggilkan”

“Ibu mau ambil jahitan, katanya kemarin sudah selesai”

“Duduk dulu bu.”

Aku masuk ke kamar ibu, ia baru saja selesai melaksanakan shalat dhuha, aku menunggu sejenak duduk ditempat tidur, karena ibu masih sedang berdoa.

“Ada siapa  Kak,?”

“Bu Siti, katanya mau mengambil jahitan Bu”

“Oh iya, jahitannya sudah selesai, Kia cepatlah sarapan” ucap ibu, Ibu keluar kamar menemui bu Siti, aku segera ke belakang untuk sarapan, sesuai dengan target yang sudah ku buat, tepat pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit, aku dan Bagas keluar meninggalkan rumah.

Zakiah Dahlan nama lengkap ku, saat aku dan adikku Bagas masih sekolah dasar, Ayah pergi  meninggalkan kami. Ayah dulunya adalah seorang guru SMA yang sudah berstatus pegawai negeri sipil, uang pensiun ayah yang menjadi bekal kehidupan kami. Semenjak ayah meninggal ibu tidak berdiam diri, dirumah ia membuka usaha jahit pakaian, meskipun masih usaha kecil, tapi langganan ibu cukup banyak, ia dibantu dua orang dalam menjalankan usahanya, setiap hari ada saja jahitan yang harus ibu selesaikan, apalagi disaat momen-momen tertentu, seperti menjelang tahun ajaran baru.

Beberapa sekolah langganan ibu menjahitkan seragam untuk siswanya, begitu juga bila ada acara pernikahan di wilayah kami, atau ketika mendekati bulan suci Ramadhan, biasanya pesanan semakin meningkat. Kehidupan kami terbilang berkecukupan, meskipun begitu ibu selalu mengajarkan kami untuk hidup prihatin dan tidak berlebih-lebihan. Ia lebih mementingkan pendidikan untuk masa depan kami ketimbang kebutuhannya sendiri.

Ibu menanamkan cita-cita yang besar pada kami, ia berharap agar aku dan adikku bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi. Ibu agak sedikit lega, karena jarak umur kami selisih tiga tahun, menurut perhitungan ibu, ketika aku menyelesaikan kuliah program diploma, Bagas baru akan menjadi mahasiswa.

Ibu juga sangat berharap, agar setelah menyelesaikan pendidikan aku dapat langsung diterima bekerja. Doa seorang ibu mampu menyentuh langit, jalan pun terbuka. Saat aku telah menyelesaikan pendidikan, tante Mala,

adik perempuan ayah memberikan informasi lowongan pekerjaan di perguruan tinggi ditempat temannya mengajar, setelah dilihat kualifikasi ku memenuhi semua persyaratan untuk mengikuti tes, dengan bantuan dan rekomendasi dari temannya, aku diterima sebagai staf di salah satu program studi di perguruan tinggi tersebut.

Skenario yang ibu susun satu persatu mulai terwujud, dengan usaha dan doa yang tak pernah putus. Saat ini Bagas telah menyandang status sebagai mahasiswa, ia sudah memasuki semester dua, sementara aku sudah diterima sebagai karyawan di perguruan tinggi swasta, meskipun masih status sebagai karyawan masa percobaan.

Dunia kerja sangat membuat sibuk, menjadi staf di perguruan tinggi swasta yang besar dan sangat terkenal karena keunggulan lulusannya,  kebanggaan tersendiri bagiku bisa bergabung disini, apalagi ibuku, ini memang harapannya sejak lama, agar setelah kuliah aku langsung mendapatkan pekerjaan. Awal yang cukup sulit bagiku, karena ini benar-benar dunia baru, berkat bimbingan dan arahan yang tepat aku dapat dengan mudah mengikuti iramanya. Aku ditempatkan di program studi yang relatif baru, belum ada meluluskan mahasiswa, tahun ini program studi baru akan melaksanakan yudisium dan wisuda mahasiswa angkatan pertamanya.

Sebagian besar stafnya disini masih muda-muda, beberapa sudah menikah, dan banyak juga yang masih lajang, ada satu staf yang seusia dengan ku, kami berdua terbilang staf paling muda disini, beda sekitar tiga sampai empat tahun dengan beberapa staf yang masih lajang lainnya. Mahasiswa di kampus tempatku bekerja

memanggilku dengan sebutan “Mbak Kia.” Aku membantu menyiapkan administrasi kegiatan perkuliahan, bila sudah menyangkut absensi kehadiran dan surat menyurat, mahasiswa sering berurusan denganku.

Berhadapan dengan mahasiswa bukanlah hal yang mudah, karena usia yang tidak begitu terpaut jauh, mereka tidak segan melontarkan kata-kata candaan, walaupun begitu mereka tetap menjaga kesopanan antara mahasiswa dengan staf, ditengah kesibukanku menyiapkan administrasi kadang ada saja ulah mereka yang membuatku geli.

Terpopuler

Comments

Your name

Your name

Terkejut aku dengannya, yang ingin menikah tanpa melalui proses pacaran. Zaskia

Alasan yang bagus sih, tapi kan menganggu orang-orang yang ingin ketentraman hehe

2021-12-25

1

Miracle Tree

Miracle Tree

like

2021-10-09

0

riski iki

riski iki

Semangat kk author😊

2021-07-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!