Bab 6

Sebelum pulang kami melihat lingkungan sekeliling tempat tinggal mempelai perempuan, dibelakang rumah ada kolam ikan yang berukuran cukup besar. Isinya banyak sekali ikan gurami dengan ukuran yang besar, menurut kak Gunawan, sekitar dua minggu lagi ikan-ikan siap dipanen. Suara gemericik mulai terdengar, percikan air dari ikan-ikan yang sedang menikmati makanannya. Pemandangan yang menghanyutkan, andai di dekat rumah ada yang seperti ini, tapi itu tidak mungkin.

Bila ada halaman seluas mata memandang seperti ini, pastilah menjadi lahan yang sangat subur bagi bangunan-bangunan beton, entah itu dijadikan rumah untuk ditinggali sendiri oleh sang pemilik, atau untuk di buat kontrakan sebagai ladang bisnis bagi pemiliknya. Perjalanan hari ini tidak sesuai dengan yang direncanakan, seharusnya kami pulang meninggalkan lokasi resepsi tepat pukul satu lewat tiga puluh menit, dan diperkirakan kami sudah tiba di kota sebelum pukul enam sore, tapi ternyata pukul tiga kami baru beranjak keluar dari rumah mempelai.

Kesalahan arah jalan, akhirnya berujung pada kemunduran jadwal pulang, pak Asrul memperkirakan kami akan memasuki kota sekitar pukul tujuh malam. Sambil menikmati pemandangan diluar mobil, aku menelpon ibu, memberitahu bahwa pulang agak terlambat, sebelumnya aku sudah menceritakan jadwal berangkat dan kepulangan kami menghadiri acara resepsi ini, aku takut ibu khawatir dan cemas, melalui telpon ku ceritakan pada ibu apa yang kulihat disekitar pinggir jalan yang kami lalui.

“Bu banyak penduduk yang menjual hasil kebunnya, buah duku, rambutan dan manggis, buahnya terlihat sangat segar dan baru dipetik.”

“Ini memang sedang musimnya nak, kalau mampir beliin ibu buah duku, sekalian untuk tante juga, dia paling suka buah duku.”

“Tapi tak janji ya bu, takutnya pak Asrul nggak mau mampir, ngejar waktu cepat tiba di kota.”

“Iya nggak apa, kalau mampir saja.”

Baru selesai ku tutup pembicaraan dengan ibu ditelpon, pak Asrul menepikan mobilnya, ternyata teman-teman meminta pak Asrul berhenti sebentar tepat disekitar penjual buah-buahan. Mereka memang mengincar buah yang dijual tersebut. Aku tidak mau ketinggalan, buah duku adalah buah kesukaan ibu, aku akan membeli sekalian juga untuk tante, buah yang dijual disini beda dengan yang ada di pasar. Buah ini matangnya tidak terpaksa, dan rasa manisnya begitu sempurna, aku juga membeli buah manggis, buah ini mengingatkanku ketika masih kecil dulu dirumah nenek, kami sering mengumpulkan buah manggis yang masih kecil-kecil, lalu dijadikan bahan tebak-tebakan.

Setelah mampir membeli buah, mobil kami melaju tanpa hambatan, tak ada lagi kata mampir bagi pak Asrul, kali ini ia memang ingin mengejar waktu agar tiba tidak terlalu malam, tepat sekitar pukul tujuh kami sudah memasuki wilayah kota. Mobil yang dibawah pak Asrul melewati jalan yang searah menuju rumah, jadi aku tidak perlu dijemput Bagas di kantor, Mobil berhenti tepat di depan rumah, saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh malam.

Penat terasa di badan, waktu seharian ini banyak kami habiskan duduk di dalam mobil saja, sementara hadir dan duduk di rumah pengantin terbilang hanya sebentar. Sejenak aku jadi teringat dengan pak Asrul, ia seharian ini menjadi sopir, duduk mengendarai mobil selama berjam-jam, istirahat sebentar dirumah pengantin lalu kembali lagi mengendarai mobil, aku saja yang hanya duduk terasa penat, apalagi ia yang menjadi sopirnya.

 

 

***

 

 

Sudah pukul empat lewat dua puluh menit, Bagas belum juga muncul, hp dihubungi tidak aktif, aku semakin gelisah, apa mungkin Bagas lupa atau ketiduran. Kucoba menghubungi telepon rumah, dua kali dihubungi tapi tidak ada yang mengangkat. Ku hubungi satu kali lagi.

“Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

“Bu, Bagas mengapa belum jemput?”

“Jam dua tadi dia sudah keluar, mau main ke rumah temannya dulu katanya, mungkin sebentar lagi, coba hubungi hpnya nak.”

“Tidak aktif bu”

“Ibu coba hubungi teman Bagas, tutup dulu ya”

“Iya bu, semoga saja sebentar lagi, Kia tunggu saja dulu”

Ibu menutup telpon, dua puluh menit berlalu Bagas tak kunjung datang, kantor mulai sepi, para karyawan dan dosen yang tadinya menunggu jemputan sudah tidak ada lagi, aku tinggal sendiri. Pak Sobri bagian keamanan mendekatiku, ia menyarankan agar naik angkot saja, takut ke sore an di jalan, apalagi hp adikku tidak bisa dihubungi.

Hp Ku berdering, sebuah panggilan masuk, ini pasti dari ibu, benar saja, ternyata ibu yang menelpon. Ibu menyuruhku segera pulang dengan menumpang angkot, karena temannya Bagas juga tidak bisa dihubungi, dari nada bicaranya ibu sangat khawatir, takut terjadi apa-apa dengan Bagas, dengan langkah terburu-buru aku menelusuri jalan menuju tempat mangkal angkutan umum yang biasa kami sebut angkot, ada dua angkot yang mangkal, ku dekati angkot paling depan.

“Satu lagi Mbak, langsung berangkat”

Ini pilihan tepat, karena tidak perlu menunggu lama, angkotnya akan langsung berangkat. Sang kernet mengarahkan masuk ke bagian paling belakang, setelah aku naik, angkot pun melaju meninggalkan lokasi mangkalnya. Penumpang beragam, tapi didominasi oleh anak sekolahan, beberapa para pekerja, di kursi bagian tengah ada seorang ibu penjajah jamu gendong, duduk membelakangi arah mobil, wajahnya sangat jelas terlihat kelelahan, ia bisa dikenali dari barang-barang bawaannya.

Sebuah keranjang berisi botol-botol jamu yang kosong, disampingnya ember kecil berisi gelas-gelas. Keringat berpeluh, sesekali ia hapus dengan kain yang digunakan untuk menggendong keranjang jamu tersebut, sungguh ia adalah sosok pekerja keras. Satu persatu penumpang mulai turun, kualih kan pandangan keluar melihat jendela kaca, ada banyak pengendara mobil dan juga motor berlalu lalang, membuatku teringat dengan Bagas, semoga tidak terjadi hal yang buruk terhadapnya.

Angkot berhenti di lampu merah, secara tak sengaja ku menoleh ke samping kanan, terlihat seperti motor Bagas. Ku amati lebih lama lagi, motornya bergeser ke depan, hingga yang terlihat hanya jaket belakang pengendaranya, jaket yang sama persis dengan kepunyaan Bagas, warna biru dongker dengan gambar seekor harimau. Setiap harinya aku berangkat dan pulang selalu bersama Bagas, sangat  jarang sekali bepergian menggunakan angkot, ada rasa takut terlewat ketika angkot mulai melaju mendekati jalan depan rumah, aku bersiap sambil melihat keluar jendela.

Angkot berhenti tepat sesuai keinginan, aku bergegas menuju rumah, motor Bagas telah terparkir dihalaman. Pintu depan terbuka, sepertinya ada tamu yang datang, aku masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam, ibu yang menjawab, suaranya saja yang terdengar tapi ibu tidak terlihat. Kulihat ibu diruang jahit, ia sedang mengambil ukuran baju seseorang wanita yang sebaya dengannya, ku dekati dan kucium tangan ibu dan seseorang yang bersama ibu tersebut.

“Kia, Bagas sudah pulang, motornya habis bensin tadi katanya”

“Iya bu, dijalan tadi Kia melihat, sepertinya Bagas, motornya hampir bersebelahan dengan angkot yang Kia tumpangi”.

“Masih ingat tidak ini ibunya Harni, teman Kia waktu SMP dulu”

“Oh iya, Kia juga berpikir, rasanya pernah lihat.”

Aku menanyakan kabar Harni, menurut ibunya, Harni akan menikah bulan depan, beberapa kebaya seragam keluarga untuk acara pernikahan dijahitkan pada ibu, ia menanyakan kapan aku akan mengikuti jejak Harni, aku hanya diam dan tersenyum, lalu pamit untuk ke kamar, sambil berlalu aku masih mendengar obrolan ibu dan ibunya Harni.

“Belum bertemu yang pas bu, Mudah-mudahan secepatnya”

“Jangan lama Bu, namanya anak perempuan kalau sudah semakin berumur nanti susah ketemu jodohnya”

Hari sudah semakin sore, aku harus segera mandi agar tidak didahului oleh suara azan magrib. Kesejukan air cukup menghilangkan rasa penat dan gerah, mengikis habis sedikit rasa gundah yang sempat menghalau. Sinar matahari mulai meredup, sore akan segera berakhir, suara ibu masih asik mengobrol diruang jahit. Aku melangkah ke kamar Bagas, kamarnya terbuka lebar, suara musik mengalun tapi orangnya tidak ada, terdengar gemericik suara air, sepertinya Bagas sedang mandi.

Kutinggalkan kamar Bagas, lalu menuju ruang tengah, sebelum azan berkumandang masih ada waktu sekitar lima belas menit untuk melihat hp. Bagas mendekatiku, ia mengenakan baju koko berwarna kream dan kain sarung kotak-kotak kecil, perpaduan warna hijau muda dan hitam, aku suka penampilannya kali ini, seperti seorang ustad muda.

“Kak, tadi bagas jemput, tapi kata Pak Sobri kakak sudah pulang”

“Kakak lama menunggu Bagas, habis bensin ya kata ibu”

“Iya kak, pom bensi nya jauhi”

“Jadi didorong tadi” ucap ku.

“Iyalah, punggung Bagas terasa berat.”

“Hp jangan di matikan jadi bisa memberi kabar, ibu yang sangat khawatir tadi.”

“habis baterai Kak, Bagas ke masjid dulu ya sebentar lagi azan.”

Bagas mengambil kopiahnya yang tertinggal dikamar dan buru-buru menuju ke masjid. Tidak lama Ibu Harni pamit pulang, ibu mengantar sampai ke pintu depan, aku mengikut dari belakang. Ibunya Harni berharap kami sekeluarga menghadiri acara pernikahan Harni bulan depan, nanti ia akan menyusulkan surat undangan, menurutnya saat ini undangan tersebut masih proses penyelesaian di percetakan. Saat pulang ia mengulang kata-kata yang sama, berharap agar aku segera mengikuti jejak anaknya untuk segera menikah. Sekali lagi aku hanya tersenyum mendengar ucapan ibu Harni, batinku bergumam sendiri.

“Menikah, itu bisa terjadi kalau ada pasangan, kalau belum bertemu pasangan yang sesuai dengan keinginan hati bagaimana?” Saat ini umur ku baru masuk dua puluh satu tahun, rasanya kalau empat atau lima tahun lagi baru menikah juga belum terlambat, di kantor malah banyak yang umurnya hampir tiga puluhan, mereka juga belum menikah. Rasanya masih banyak sekali keinginan yang ingin ku gapai sebelum menikah.

Aku ingin memberikan ibu sesuatu yang sangat ibu inginkan, yaitu berangkat ke tanah suci Mekkah, melaksanakan ibadah Haji, aku juga masih ingin melanjutkan pendidikan ku ke tahap sarjana, aku tidak ingin selamanya bekerja hanya berkutat mengurusi administrasi di kantor. Profesi seorang dosen sangat menarik bagiku, semoga dengan peningkatan jenjang pendidikan, nantinya aku bisa melangkah menuju ke profesi satu ini.

Terpopuler

Comments

Your name

Your name

Bisa kebetulan gitu ya, bensin habis tempatnya jauh pula. Terus handphone ngak bisa di hubungi karena baterai habis.

Tapi kasian tuh Bagas sampai sakit punggung ya

2022-01-07

1

Restviani

Restviani

jodoh di tangan tuhan Kya..., tenang saja...

Mohon maaf Perjuangan CEO Muda baru bisa mampir lagi thor...

lanjut...

2021-07-09

1

Sis Fauzi

Sis Fauzi

jodoh ada yg ngatur Kia. wujud kan semua keinginan mu, nt jodohmu akan datang seiring waktu berjalan.😀❤️

2021-07-08

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!