Bab 4

Rekan kerja dan satu ruangan dengan ku adalah mbak Silvi, sama sepertiku ia juga masih lajang, kami bukan sekedar teman biasa, setelah hampir satu tahun kebersamaan, kini ia seperti kakak saja bagiku. Kami selalu saling menjaga satu sama lainnya, sering berbagi cerita tentang kehidupan pribadi, aku sangat percaya karena ia mempunyai kepribadian dan karakter yang sangat kuat, tak mudah baginya terpengaruh dengan lingkungan.

“Kak berangkat” ucapan Bagas membuyarkan lamunanku.

“Oh iya” ucapku. Setelah berpamitan dengan ibu, kami keluar meninggalkan rumah. Hembusan udara menerpa wajah, sesekali ku sapu kebelakang rambut sebahu ku yang menghalangi pandangan. Jalanan mulai ramai dengan kendaraan bermotor, lalu lalang para orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah di pagi hari. Bayang wajah ayah melintas, ini sudah beberapa tahun yang lalu, dimana ayah masih mengantarkan aku ke sekolah.

Saat itu aku masih bersekolah dasar, kenangan indah itu tidak akan pernah ku lupakan, ku peluk ayah dengan kedua tanganku, karena ketakutan saat di boceng sepeda motor ayah, aku juga sering memejamkan mata bila ayah memacu sepeda motornya agak kencang, kadang sambil berjalan, tangan ayah kebelakang memegangi badanku, ia takut aku terjatuh.

Hari ini pukul dua belas siang, waktunya istirahat, aku dan mbak Silvi keluar untuk makan siang di kantin sebelah, mahasiswa mulai ramai memenuhi tempat, karena merasa kurang nyaman, kami putuskan untuk mencari tempat makan lain disekitar kampus, kami pun keluar dari kantin. Suara klakson mobil mengagetkan, ternyata mobil kak Hilman, ia menghentikan mobil dan melambaikan tangannya pada kami, kaca jendela mobil terbuka, semua yang ada didalam terlihat, beberapa teman lainnya, Suci, Mbak Indah dan Kak Fajar.

“Kalian mau kemana” tanya kak Hilman.

“Mencari makan yang enak" jawab mbak Silvi.

“Ayo ikut sekalian, tempat biasa” ajak Kak Hilman.

“Kita ikut saja Mbak, bosan juga makan disekitar sini terus, kan rame-rame” kataku membujuk mbak Silvi. Mbak Silvi akhirnya setuju, kamipun ikut mobil Kak Hilman.

Mbak Silvi sudah mempunyai pacar, ia sering menolak bila diajak pergi makan bersama teman laki-laki di kantor. Kak Andi pacar mbak Silvi mempunyai temperamen tinggi, ia akan sangat marah bila melihat mbak Silvi bersama laki-laki lain, meskipun itu hanya sebatas rekan kerja. Mobil Kak Hilman melaju, menuju sebuah tempat makan, sebenarnya tidak begitu jauh dari kampus, tapi kalau dengan berjalan kaki bisa menghabiskan waktu cukup lama dan juga membuat kaki terasa lelah. Kami sudah sering datang ketempat makan ini, disaat jam makan siang pengunjungnya membludak.

Menu yang disajikan sangat beragam, mulai dari nasi dengan berbagai macam pilihan lauk pauknya, berbagai makanan lainnya juga tersedia, ada bakso, mie ayam dan gado-gado. Nasi dan menu lainnya bisa diambil sendiri, seperti makan prasmanan ketika acara hajatan keluarga, wajar saja pelanggannya banyak, karena menu yang disajikan sangat memanjakan lidah, harganya pun dipatok cukup terjangkau.

Kami memilih satu meja lesehan yang cukup besar, bisa untuk enam orang, beberapa teman lebih memilih makanan pengganti nasi, mbak Silvi memesan seporsi mie ayam, aku tetap dengan menu yang menjadi kebiasaan ku, nasi putih plus sayur dan lauk, menurutku kalau disaat siang makan dengan menu selain nasi, rasanya ada yang kurang.

Pernah mbak Silvi dijemput kak Andi untuk makan siang, mungkin karena merasa kasihan melihatku tinggal sendiri di ruangan, mereka mengajakku makan bakso yang paling terkenal di daerah ini. Rasanya memang luar biasa enak, setelah balik kekantor lagi, satu jam kemudian perut ku terasa lapar, efek makan siangnya hanya semangkok bakso. Akhirnya aku keluar menuju kantin sebelah, dan memesan setengah porsi nasi.

Mbak Silvi melihatku menuju kantin, ia menanyakan tujuanku tersebut, tanpa berpikir macam-macam aku langsung memberitahu kebiasaan ku, disaat siang hari aku harus makan nasi meskipun sedikit. Gara-gara kebiasaan ini, ia meledekku, “Bodi sih mobil sedan, tapi muatannya kayak mobil puso.”

Setelah selesai makan, kami langsung kembali kekantor lagi, sepanjang perjalanan pulang, aku dan Suci yang menjadi bahan ledakan, karena kami berdua sama-sama tidak memiliki pacar. Suci baru putus dengan pacarnya, kalau aku sendiri bukan tidak punya pacar, tetapi memang niat di dalam hati yang sangat mantap untuk tidak pacaran, entah kenapa rasanya aku benar-benar tertutup.

Hatiku benar-benar tidak ingin memulai sebuah hubungan, dan mengikrarkan dalam bentuk pacaran, padahal dilingkungan keluarga kami sendiri, pacaran merupakan hal yang biasa dilakukan anak-anak muda. Bukan mencari sensasi, tapi aku lebih menginginkan pernikahan tanpa dimulai dengan pacaran, sebuah ingatan yang begitu membekas menjadi benteng yang sangat kuat, kejadian yang membuatku benar-benar mengunci hati.

Pukul satu kurang beberapa menit kami sudah ada di kantor lagi, kami akan melanjutkan lagi aktifitas harian, membantu dan menyiapkan administrasi, serta pelayanan terhadap mahasiswa dengan berbagai kebutuhan administrasi akademiknya. Ketika masuk ruangan, kulihat ada coklat dua batang diikat pita merah terletak di atas meja ku, disertai tulisan yang menempel.

“Buat Zakiah yang manis” Kucoba mencari nama pengirim, tapi tidak ketemukan, aku menduga-duga tapi ragu juga, apa mungkin dari Imam, ia dari Fakultas lain. Sejak lama ia terlihat menyukaiku dan sering berkirim salam lewat temannya, tapi itu tidak mungkin, karena selama ini sepertinya ia tidak punya keberanian menyatakan perasaannya langsung padaku.

Melalui mbak Silvi, ia mengetahui bahwa aku tidak ingin memulai hubungan dengan pacaran, “bila serius langsung lamar saja” itulah kata-kata yang disampaikan mbak Silvi pada Imam waktu itu, sejak saat itu ia tidak lagi mengirim salam lewat temannya.

Bu Ranti masuk keruangan “Ki, dimana Silvi”

“Mbak Silvi sedang shalat bu.”

“Nanti tolong sampaikan, temui ibu di ruangan”

“Baik bu.”

Mbak Silvi sedang shalat dhuhur, kami selalu melaksanakan shalat di ruangan kerja, ada ruang kosong disekat dengan lemari arsip, kami jadikan tempat shalat, letaknya tepat dibelakang meja kerja kami. Sebenarnya musolah ada, tapi letaknya dilantai dasar, sementara  kami berada dilantai tiga, yang shalat di sana juga antrian, karena ruangannya tidak begitu luas dan harus berbaur dengan banyaknya mahasiswa.

“Kia, tidak shalat” tanya mbak Silvi sambil melepas mukena yang ia pakai, rambut sebahunya terlihat agak acakan, ia lalu mengambil sisir, bedak dan lipstik dari dalam tasnya.

“Halangan Mbak” aku masih memandangi coklat di atas mejaku.

“Penasaran coba buka siapa tahu nama pengirim terselip didalam”

“Tidak penasaran mbak”

Sebenarnya dalam hati ada rasa penasaran juga, kubuka ikatan pita merah coklat tersebut, dibalik tulisan “buat Zakiah” ada tulisan lagi “pengagum rahasia” lalu ku perlihatkan pada mbak Silvi.

“Jadi tambah penasaran.”

“Bukan Mbak, tapi ini halal tidak, nanti ada apa-apanya lagi”

“Buat mbak satu, seperti ini” Mbak Silvi mengambil sebatang coklat di atas meja, dengan gerak cepat coklat tersebut di keliling kan nya dibawah kaki yang diangkatnya satu.

“Untuk apa mbak seperti itu”

“Biar netral takut ada sihirnya”

Aku bingung sendiri dengan ucapan mbak Silvi, antara serius atau bercanda, karena ia melakukannya sambil tertawa kecil, meskipun ragu aku menurut saja melakukan seperti yang dilakukan mbak Silvi.

“Kiah, ada yang mencari Mbak tadi ya”

“Oh ya,mbak dicari bu Ranti, Mbak diminta keruangan bu Ranti sekarang.”

Pukul empat sore, waktunya pulang kerja, ritual mbak Silvi kalau pulang kerja, merapikan rambut, memakai bedak dan lipstik, ritual yang sama seperti ketika ia selesai shalat zuhur. Inilah rahasianya dandanan mbak Silvi seperti tidak berubah, sejak datang ke kantor di pagi hari dan pulang di sore harinya. Hal yang ia lakukan sangat berbeda dengan ku, karena aku hanya cukup dengan menyisir dan merapikan rambut saja, bedak dan olesan lipstick yang tipis hanya kulakukan ketika hendak berangkat kekantor.

Beberapa karyawan dan dosen sudah banyak yang berkumpul disekitar lokasi mesin pingger print, jam ditangan ku sudah menunjukkan pukul empat lewat lima menit, sementara di pingger print masih menunjukkan pukul tiga lewat empat puluh menit. Biasanya waktu di jam tanganku dengan pingger print sama, tapi kali ini beda sekitar dua puluh lima menit, pantas saja belum ada yang absen pulang, karena waktunya tidak tepat, kalau absen pulang, kurang dari waktu yang ditentukan, maka imbasnya akan ada pemotongan penghasilan di bulan berjalan.

“Jamnya sudah tidak sesuai” Mbak Silvi nampak cemas.

“Terus kita menunggu Mbak, dua puluh menit lagi”

“Mbak harus pulang sekarang, kak Andi sudah dari tadi menunggu, duluan ya Kia” Mbak Silvi meletakkan jarinya di pingger print, setelah itu terdengar suara dari mesin tersebut “terima kasih” Ia segera pergi sambil melambaikan tangannya padaku.

Para karyawan yang menunggu mulai resah, Suci diminta bu Dina menghubungi Ridwan bagian SDM, ia yang bertanggung jawab terhadap mesin absensi. Tidak lama Ridwan datang, dengan menggendong tas di punggungnya, kedatangan yang sangat dinanti-nantikan para karyawan, seperti seorang pejabat yang akan membuka suatu acara saja, mungkin acara tersebut akan batal dilaksanakan bila ia berhalangan hadir.

Ridwan mulai mengotak-atik mesin pingger print tersebut, menurutnya setingan waktu berubah karena mati lampu beberapa jam yang lalu. Nada ucapan terima kasih berulang kali terdengar, para karyawan yang menunggu antrian absen mulai berkurang, waktu di pingger print sudah normal kembali, sekarang waktu menunjukkan pukul empat lewat sepuluh menit, hanya selisih lima menit dari kepulangan mbak Silvi tadi, tapi ia tak bisa menunggu barang satu menit pun.

Beberapa teman dijemput pacarnya, Suci menawariku ikut bonceng di motor skutiknya yang berwarna merah, jalan menuju rumah Suci melewati rumah kami, Bagas datang tepat waktu, aku pun tidak jadi ikut pulang bersama Suci. Bagas segera memacu motornya, Jalan yang dilalui tak seperti biasanya, ini memutar dan justru menjauhi jalan.

“Gas mengapa lewat sini?”

“kak, Bagas takut, nanti dilihat Linda”

“Nah Linda, siapa lagi?”

“Teman kuliah kak”

“Tidak apa, sama kakak juga”

“Masalahnya Bagas baru mau pendekatan, nanti disangka kakak pacar Bagas, sebelum dekat nanti dia malah menjauh duluan.”

“Ajak ke rumah, kenalkan sama kakak”

“Baru mau PDKT”

“Bagusnya tidak usah pacaran Gas, nanti ketemu langsung nikah”

“Mantap”

Seharusnya dalam waktu lima belas menit kami sudah tiba dirumah, karena jalan memutar, akhirnya kami tiba dirumah dalam waktu dua puluh lima menit. Adikku Bagas, sudah sering kali mengenalkan teman wanitanya padaku, terakhir ketika awal masuk kuliah semester pertama dulu, dan kini di semester dua ternyata sudah ada yang baru lagi.

Aku tidak mengerti apa yang ia cari, begitu mudahnya gonta-ganti pacar. Ketika ditanya keseriusan dengan pacar yang baru ia kenalkan, Bagas menjawab, “kali ini serius kak.” Bukti yang kudapat benar-benar tidak sesuai dengan ucapannya kala itu, baru enam bulan terlewati ia sudah mulai melirik gadis lain lagi.

Terpopuler

Comments

Your name

Your name

Bisa pada tau gitu ya, hmm pasti ada yang ngegosip.

Menurut aku pilihan yang tepat sih menikah dulu sebelum berpacaran, Mala aku mendukung Zakiah yang ngk terpacu sama gengsi.

2021-12-27

1

Arsy-Khalid

Arsy-Khalid

semangat selalu

salam dari "memilih cinta yang sempurna"

2021-10-09

0

Mommy Gyo

Mommy Gyo

hadir lagi thor salam cantik tapi berbahaya

2021-07-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!