“Ba—by …” Suara lemah Bu rinda memecah kesunyian. Alisnya terlihat mengerut seperti menahan sakit akibat luka cukup parah di beberapa bagian tubuhnya yang kini terbalut perban.
Bunda Yasmin tersadar dari lamunan. Ia menyeka air mata yang membasahi wajahnya. Tangannya terulur meraih jemari wanita yang telah tiga dekade bersahabat dengannya itu.
“Rin …” bisik Bunda Yasmin di telinga Bu Rinda.
Bu Rinda membuka mata perlahan. Ada setitik air mata yang mengalir di ujung matanya kala pandangannya menangkap Bunda Yasmin tersenyum ke arahnya. “Yas-min … Ba—by di-ma-na?”
“Baby sedang istirahat di depan. Ada Damar yang menemani dia.”
Wanita itu tampak mengerang kesakitan, tangannya yang lemah menyentuh gips yang membalut lehernya. Dan perlahan, napasnya mulai terdengar berat, sehingga membuat Bunda Yasmin khawatir.
“Aku panggil dokter dulu, ya Rin …” Bunda Yasmin hendak melangkah untuk meminta pertolongan dokter, namun Bu Rinda mencegah. Ia menggenggam jemari Bunda Yasmin sambil menggelengkan kepalanya.
“Yas, aku ti—dak kuat la-gi. Sete—lah aku per—gi, Baby ti-dak punya siapa-siapa la-gi. Apa bo—leh aku ti-tip kan anakku kepa—damu?”
Bunda Yasmin menganggukkan kepalanya, dengan genggaman tangan yang semakin erat. “Jangan bicara begitu, Rin. Kamu harus kuat untuk bisa duduk di samping Baby di hari pernikahannya. Bukankah kita akan menikahkan Damar dan Baby secepatnya?”
Bu mengangguk. Dalam keadaan setengah sadar ia berbisik lemah. "Yas to-long sem-bunyikan ide-nti-tas Ba-by. Ja-ngan sa-mpai me-dia mengetahui dia anak sia-pa ..."
"Baiklah, Rin. Aku berjanji. Baby akan aman bersama Damar."
“Aku mi-nta maaf, Yas. Aku membebanimu dengan tanggung jawab anakku.”
Ucapan Bu Rinda akhirnya meruntuhkan pertahanan Bunda Yasmin. Seolah, Bu Rinda telah menyerah melawan sakit. Hanya dalam beberapa menit, semuanya mulai memudar dalam pandangannya. Ia terus menggumamkan nama anaknya dengan sisa kesadarannya.
"Rin ... Kasihan Baby, Rin! Jangan tinggalkan Baby," lirih Bunda Yasmin.
Napas Bu Rinda mulai tersengal. Genggaman tangannya perlahan mulai merenggang. Bola matanya terpejam menahan rasa sakit yang teramat.
Dengan menahan air matanya, Bunda Yasmin kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Bu Rinda dan berbisik, “Baiklah, Rin. Istirahatlah … Aku dan Damar yang akan menjaga Baby mulai sekarang. Tugasmu menjaga Baby cukup sampai di sini.” Lalu membisikkan doa di telinga sahabatnya itu, hingga beberapa saat kemudian….
Tiiiiiitttt!!!!
Alat pendeteksi detak jantung berbunyi lama yang menandakan jantung Bu Rinda telah berhenti berdetak. Bunda Yasmin kembali membisikkan doa, kali ini sambil menangis.
"Innalillahi wa Inna ilaihi rojiun."
🌼🌼🌼
Sementara itu di ruangan lain, Damar masih menemani Baby yang belum sadarkan diri. Ia memandangi Baby dengan raut wajah iba.
Walaupun kamu nyebelin, tapi kamu kasihan. Di usia remaja harus mengalami nasib seperti ini. Itu pasti sulit buat kamu. ucap Damar dalam hati.
Pandangan Damar berkeliling, melirik beberapa perawat yang bertugas. Karena Baby tak kunjung tersadar, ia akhirnya menghampiri seorang perawat.
"Sus, punya minyak angin?" tanya Damar pada seorang perawat.
"Ada, Mas," jawabnya sambil menyerahkan sebotol minyak angin kepada Damar.
"Terima kasih, Sus. Saya pinjam sebentar, ya."
Dengan ramah wanita itu menjawab, "Silakan, Mas."
Damar kembali duduk di sisi Baby, lalu mengoles minyak angin di pangkal hidung. Hingga beberapa saat kemudian, kelopak mata Baby mulai bergerak, pertanda ia akan segera tersadar saat ia mencium bau menyengat yang terasa menusuk ke hidung.
"Bambang?"
"Ibu ..." lirih Baby sesaat setelah membuka matanya. Gadis itu kemudian bangkit dengan tergesa-gesa ketika teringat sang ibu. Ia bahkan tidak peduli pada kepalanya yang masih terasa berdenyut dan langkahnya yang sempoyongan berjalan keluar dari ruangan itu.
"Bambang, tunggu! Sini aku bantu!"
“Lepasin! Aku bisa jalan sendiri.”
Baby menepis tangan Damar yang sejak tadi ingin membantunya berjalan menuju ruang dimana ibunya sedang dirawat. Langkahnya yang masih terlihat lemah, membuat Damar memilih berjalan di belakang punggungnya agar dapat menangkap jika saja Baby terjatuh.
“Yakin bisa?”
"Bisa," jawab Baby sambil mempercepat langkahnya yang tertatih.
Hingga tiba di depan ruang perawatan Bu Rinda, Baby berhenti sejenak. Dari jarak beberapa meter dari tempatnya berdiri, ia melihat Bunda Yasmin sedang duduk di depan ruangan itu sambil menangis. Baby pun sudah menebak dalam hati apa yang sedang terjadi. Pelan-pelan, ia melangkah mendekat.
"Bunda ... Ibu ...?" lirih Baby.
Bunda Yasmin semakin tak kuasa membendung air matanya kala mendapati wajah Baby yang memucat. Wanita itu bangkit, berjalan menghampiri Baby dan memeluknya.
"Bunda kenapa menangis?" tanya Damar ingin memastikan. Namun, sepertinya Bunda Yasmin belum sanggup menjawab. Tangisnya semakin pecah.
Tanpa melepas pelukan, Bunda Yasmin berkata, "Baby, dengar bunda, Nak ... kamu tidak sendirian. Kamu masih punya Bunda dan Damar. Bunda dan Damar yang akan menjaga kamu mulai sekarang."
Ucapan Bunda Yasmin seolah menegaskan bahwa sesuatu telah terjadi.
Hening!
Tidak ada suara dari Baby maupun Damar. Yang ada hanya suara isak tangis Bunda Yasmin yang memecah keheningan.
Baby melepas pelukan itu, lalu menatap Bunda Yasmin dengan raut wajah penuh tanya, walaupun sesungguhnya ia sudah mampu menebak dalam pikirannya.
"Ibu?"
Tidak ada yang dapat terucap dari bibir wanita itu selain menggelengkan kepala diiringi tangisan, kemudian mengusap puncak kepala Gadis di depannya dengan lembut. Baby masih diam. Perlahan ia melangkahkan kakinya mendekati ruangan itu, meninggalkan Bunda Yasmin yang kini sedang bersandar di bahu Damar.
Baby terlihat meragu untuk membuka pintu. Tangannya menggenggam gagang pintu erat. Beberapa kali ia menarik napas dalam, seolah mencari kekuatan untuk masuk ke dalam ruangan itu.
Sementara Bunda Yasmin memberi kode kepada Damar untuk menemani Baby masuk ke ruangan itu.
Derasnya hujan pun menjadi saksi bisu. Sekali lagi, Baby harus kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Sang ibu terbujur kaku dengan sehelai kain putih yang menutupi tubuhnya. Baby mematung di ambang pintu sebelum akhirnya melangkah masuk.
Ia melirik tubuh sang bunda dari ujung kepala hingga ujung kaki. Napasnya seakan tertahan.
Tangannya gemetar, terulur menyibak kain penutup itu sehingga tampaklah wajah teduh Bu Rinda yang telah tertidur. Begitu cantik dan damai. Gadis itu mengecup kening sang ibu dengan lembut. Bahkan tidak ada setetes pun air mata di sana.
"Bu, kenapa Ibu pergi? Ibu marah ya sama Baby karena jual biola pemberian ayah? Biolanya sudah balik, Bu ... Baby sudah ambil kembali. Ibu bisa dengar Baby kan ... Bangun, Bu. Lihat, Baby bawa biola nya kemari." Sambil menunjuk biolanya yang berada di sudut ruangan. "Bangun, Bu!"
Damar yang berdiri di belakang Baby membeku. Tiba-tiba rasa bersalah yang teramat besar menghantam nya. Karena dirinya lah Baby sampai menjual biola peninggalan ayahnya demi menghapus video yang menjadi bahan ancaman Damar agar perjodohan mereka dibatalkan dan membuat Bu Rinda harus keluar rumah untuk menebus biola tersebut.
"Ibuuuuu!!!"
🌼🌼🌼🌼🌼🌼
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Inaherlinasofia
😭😭
2024-12-08
0
Keisha Alindya
kenapa ada banyk bawang disini /Sob//Sob//Sob/
2024-11-16
1
Julia Juliawati
mulai jualan bawang lg ini si othor😭😭😭😭😭
2024-06-27
1