NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:625
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 10 - Hari Pertemuan Bersejarah

Vee

“Untuk seseorang yang akan bertemu idolanya dalam beberapa jam lagi, kamu terlihat kacau,” ujar Chloe, menatapku yang baru saja pulang dari perpustakaan dengan laptop dan tas besar berisi catatan serta potongan adegan.

“Aku hanya perlu mandi dan sedikit make up, tenang saja, Chlo,” sahutku sambil mengibaskan tangan.

“Salah. Kamu butuh tidur.” Ia mengangkat alisnya, lalu menyerahkan segelas ice americano. “Tapi karena itu tidak mungkin, sedikit caffeine boost tidak ada salahnya.”

“Terima kasih, Chloe. Kau benar-benar penyelamatku,” ujarku sambil memeluknya terlalu erat.

Aku berjalan ke kamar sambil meneguk kopi dingin itu. Begitu melihat cermin, aku menahan tawa—ya, aku memang terlihat sangat kacau. Rambut kusut, wajah lelah, mata seperti panda yang kurang tidur.

Segera aku mandi, menata rambut, dan mengaplikasikan make up tipis hanya untuk menyamarkan lingkar hitam di bawah mata. Saat melihat pantulan diriku di kaca, setidaknya aku sudah kembali terlihat seperti manusia.

Aku membereskan catatan, mengambil laptop, lalu berjalan menuju kampus. Studio tempat kelas akan berlangsung masih dipakai oleh kelas lain, jadi aku menunggu di depan pintu sambil menatap layar ponsel. Ada beberapa pesan dan missed call dari Eddie. Maaf, buddy, aku akan telepon balik setelah ini. Janji.

Tak lama kemudian, mahasiswa dari kelas sebelumnya keluar beramai-ramai. Salah satunya berhenti di depanku. Adrian.

“Oh, hai Adrian,” sapaku.

“Aku dengar setelah ini ada kunjungan Professor Hunt pertama semester ini. Kamu pasti menantikannya.”

“Jujur saja, aku sangat bersemangat.” Aku tersenyum lebar; tak ada gunanya berpura-pura tenang. “Dan terima kasih untuk naskahnya, ya. Aku sudah masukkan namamu di kredit akhir. Naskah itu benar-benar menyelamatkan kami.”

Adrian menatapku sedikit terlalu lama. “Terima kasih kembali,” ujarnya akhirnya, lalu mengulurkan tangan. “Semoga kita bisa berkolaborasi lagi nanti, Vee. Akan menyenangkan bekerja denganmu.”

“Kau akan menyesal mengatakan itu. Aku sangat perfeksionis,” kataku sambil terkekeh. “Tapi, deal.”

Kami berjabat tangan singkat sebelum ia berlalu.

Aku masuk ke studio, duduk di baris depan kali ini. Jantungku berdetak cepat. Tanganku sibuk membuka catatan, mencoba fokus, namun pikiranku sudah berlari jauh ke depan.

Beberapa menit kemudian, Liam muncul tergesa-gesa, rambutnya berantakan, lalu duduk di sebelahku. “Maaf aku hampir terlambat,” gumamnya sambil menarik napas panjang. Aku hanya tersenyum, tapi detak jantungku tak mau tenang.

Dan kemudian

Dia datang.

Thomas Hunt.

Sutradara yang karyanya mengubah hidupku. Pria yang film-filmnya membuatku jatuh cinta pada dunia sinema. Orang yang tanpa sadar menolongku bertahan di masa paling gelap hidupku.

Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya tenang dan terukur. Meski tubuhnya tampak lebih lemah, wibawanya sama sekali tidak pudar. Justru semakin kuat, semakin nyata. Begitu ia masuk, udara di ruangan berubah. Semua orang menegakkan punggung tanpa diminta.

Matanya menelusuri ruangan—dan berhenti padaku.

Aku membeku. Senyum yang sudah terpasang di wajah terasa kaku, tapi aku tak bisa menahannya. Dadaku sesak, jari-jariku bergetar.

Satu tatapan singkat. Itu saja sudah cukup.

Cukup untuk mengingatkan bahwa idolaku nyata. Bahwa dia bukan sekadar nama di layar. Bahwa aku sekarang hidup dalam dunia yang dulu hanya berani kucita-citakan.

Aku ingin bicara—ingin mengucapkan terima kasih karena filmnya menyelamatkanku—tapi lidahku kaku. Yang bisa kulakukan hanyalah menatap balik, menahan napas, hingga ia berpaling.

Namun rasanya tatapan itu masih tertinggal.

Di belakangnya, Tyler masuk, tenang, rapi, dan dingin seperti biasa. Tapi aku nyaris tak bisa memandangnya.

Karena pikiranku hanya berulang satu kalimat:

Thomas Hunt melihatku.

\~\~\~

Thomas

Begitu aku melangkah masuk, aku bisa merasakannya, perubahan udara yang selalu mengikuti kehadiranku di ruangan seperti ini. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain.

Sepasang mata di barisan depan.

Hazel eyes, berkilat, dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan meski ia mencobanya.

Aku menatapnya sepersekian detik lebih lama dari yang seharusnya.

Dan di belakangku, aku tahu Tyler melihatnya juga.

Anak itu tak pernah pandai menyembunyikan perasaannya.

Menarik.

Sangat menarik.

\~\~\~

Tyler

Aku berjalan satu langkah di belakang Thomas, seperti biasa.

Meskipun kesehatannya menurun, auranya masih tak tertandingi. Ruangan yang sebelumnya berisik kini hening seketika.

Lalu mataku menemukannya.

Vee.

Duduk di barisan depan.

Matanya menyala, dan senyum itu—tulus, polos, dan jujur.

Aku sudah sering melihat mahasiswa mengagumi Thomas seperti itu, tapi kali ini berbeda.

Dia tidak sekadar mengagumi. Dia benar-benar memujanya.

Dan Thomas memperhatikannya.

Cukup lama untuk membuatnya bersinar.

Sesak itu datang begitu saja.

Aku tahu aku seharusnya bangga, bahwa Thomas masih bisa memberikan efek yang luar biasa bahkan saat tubuhnya tidak sekuat dahulu. Tapi yang muncul malah sesuatu yang lebih gelap—cemburu.

Karena aku tak ingin ia menatap Thomas seperti itu.

Aku ingin ia menatapku.

Kelas hari ini terasa berbeda. Biasanya, beban mengajar ada sepenuhnya di pundakku.

Tapi dengan Thomas di depan ruangan, aku merasa lebih ringan dan lebih berat secara bersamaan.

Lebih ringan, karena kehadirannya menarik perhatian semua orang.

Lebih berat, karena kini aku di bawah bayangannya.

Kelas dimulai dengan beberapa kelompok menampilkan karyanya.

Aku memperhatikan dengan seksama dari depan, mencatat hal-hal kecil yang sering dilewatkan oleh mahasiswa tingkat akhir—ritme dialog, perpindahan kamera, keseimbangan antara musik dan emosi.

Sebagian besar dari mereka tampil baik. Bahkan beberapa melampaui ekspektasiku. Untuk sesaat, aku merasa bangga. Mungkin, tidak sia-sia aku menghabiskan waktu berminggu-minggu menuntun mereka melewati teori dan praktik.

Hampir semuanya berjalan lancar.

Hampir.

Lalu giliran kelompok Wyatt.

Dari awal aku sudah memberi catatan pada naskah mereka—terlalu banyak dialog, tidak ada nyawanya. Tapi sepertinya tak ada yang berubah. Adegan pertama saja sudah berantakan. Aktornya kaku, seperti membaca naskah di depan kamera. Framing-nya miring, pencahayaan tak konsisten. Dan ketika satu kabel kamera ikut terekam dalam frame, aku tahu apa yang akan terjadi.

Thomas mencondongkan tubuh ke depan. Suaranya rendah, tapi cukup untuk membelah ruangan.

“Kau sutradaranya, kan?”

Wyatt menegakkan punggungnya, wajahnya tegang. “Iya, Professor.”

Thomas menunjuk ke layar. “Kalau begitu, kenapa kau bahkan tidak bisa membedakan mana aktor yang sedang bermain peran dan mana yang sedang membaca teks? Dan lihat itu—” ia mengangkat tongkat kecilnya, menunjuk tajam ke layar, “—kabel kamera. Masuk ke dalam frame. Apa kau pikir penonton tidak akan melihatnya?”

Ruangan mendadak senyap. Tak seorang pun berani bernafas terlalu keras.

Wyatt hanya menunduk, bibirnya bergetar, mencoba mencari kata-kata pembelaan yang tidak akan berguna. Thomas melanjutkan, nada suaranya tidak meninggi, tapi dingin, tajam, dan menelanjangi setiap kelemahan.

“Kesalahan teknis bisa dimaafkan. Tapi tidak peduli seberapa bagus naskahmu, jika tidak ada perhatian pada detail, semuanya akan hancur. Detail adalah jiwa sinema. Tanpa itu, kau hanya merekam orang-orang yang berbicara.”

Aku memperhatikan Thomas diam-diam.

Masih sama seperti dulu—keras, tak kenal kompromi, tapi justru karena itulah murid-muridnya belajar lebih cepat.

Wyatt akhirnya berbisik lirih, “Maaf, Professor. Saya akan memperbaikinya.”

Thomas bersandar di kursinya. “Pastikan kau tidak hanya memperbaiki—tapi memahami kenapa itu salah.”

Lalu ia memberi isyarat kecil dengan tangannya. “Lanjutkan.”

Aku melirik mahasiswa lain di ruangan. Mereka tampak tegang, sebagian menelan ludah pelan, seolah takut menjadi korban berikutnya. Tapi di mataku, ada sesuatu yang lain—rasa hormat.

Karena begitulah Thomas Hunt bekerja.

Ia mungkin membuatmu gemetar, tapi setelah itu, kau akan keluar dari kelasnya sebagai seseorang yang berbeda.

“Sinclair”

Vee dan ketiga rekannya maju ke depan. Penelope menyiapkan proyektor, menekan tombol play, dan ruangan langsung tenggelam dalam gelap.

Judul muncul perlahan di layar—Fallout. Huruf-hurufnya bergerak lembut, sebelum memudar dan membuka pada adegan pertama.

Dua sahabat. Liam Carter dan Derek Vaughn. Sebuah percakapan ringan di sore hari yang berubah menjadi awal kehancuran.

Lalu semuanya beralih dengan mulus—warna, pencahayaan, nada. Pengkhianatan datang perlahan, tanpa dramatisasi berlebihan. Saat Derek menatap Liam dengan amarah yang tertahan, ruangan terasa ikut menahan napas. Emosi itu terasa mentah, jujur, dan sangat dekat.

Benarkah ini hanya film tugas kampus?

Semuanya terasa begitu profesional mulai dari komposisi gambar, tempo, bahkan cara kamera bergerak mengikuti emosi, bukan sekadar adegan.

Aku melirik Thomas di sebelahku. Ia tidak berkedip. Matanya tajam, fokus penuh, seperti sedang membaca naskah hidup yang belum selesai. Dan itu pertanda baik.

Jika Thomas Hunt menonton tanpa bergerak, berarti ia benar-benar terpikat.

Film berakhir dengan sunyi.

Satu detik… dua detik… lalu kredit muncul di layar: Directed by Victoria Sinclair.

Dan ruangan meledak.

Tepuk tangan bergema, beberapa mahasiswa berdiri, disusul yang lain. Studio kecil itu terasa penuh, hangat, dan hidup.

Aku menatap Thomas, dan untuk pertama kalinya hari itu, aku melihat sesuatu yang jarang muncul di wajahnya—senyum kecil. Ia bertepuk tangan pelan, lalu menoleh ke arah Vee.

“Sinclair,” katanya, suaranya berat tapi lembut. “Apakah kau pernah bekerja di industri film sebelumnya? Karyamu… luar biasa.”

Vee menegang sesaat. Wajahnya memerah, tapi matanya menyala.

“Saya… saya pernah membuat beberapa film pendek di ekskul waktu SMA,” katanya gugup. “Dan… sebagian besar saya belajar dari gaya penyutradaraan Anda, Professor. Saya penggemar berat.”

Thomas mengangguk, bibirnya melengkung samar. “Begitu rupanya.”

Aku memandangi mereka, guru dan murid yang tak pernah saling kenal, tapi dipertemukan oleh cinta yang sama terhadap film. Wajah Vee bersinar—terkejut, bahagia, gugup—semua emosi bercampur jadi satu.

Kelas selesai dengan euforia. Thomas sempat berbisik padaku sebelum keluar:

“Gadis Sinclair itu. Aku ingin menemuinya. Bawa dia ke rumah akhir pekan ini, ku rasa Elara juga akan menyukainya.”

Aku mengangguk. “Baik, akan kusampaikan.”

Lalu ketika kelas selesai, aku memanggilnya. “Sinclair.”

Dia menoleh, matanya masih berkilat. “Ya?”

“Thomas Hunt ingin bertemu denganmu. Akhir pekan ini. Di rumahnya.”

Matanya membesar, hampir tidak percaya. “Dia… benar-benar ingin bertemu denganku?”

“Ya.” jawabku singkat

Senyumnya pecah seketika. Ia menggigit bibir bawahnya, matanya berair, antara ingin tertawa atau menangis.

“Elara juga akan ada di sana,” tambahku datar. “Dia bilang kamu akan senang bertemu dengannya.”

“Astaga…” suaranya hampir berbisik.

Aku mengangguk singkat. “Nanti ku beri tahu detailnya.”

Aku berbalik sebelum ia sempat menambahkan apa pun.

Karena melihat wajahnya bersinar seperti itu—dan tahu bahwa cahaya itu bukan untukku—

rasanya lebih menyakitkan daripada yang ingin kuakui.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!