Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.
Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.
Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pendekar Tirta Amarta
Jika ada yang bertanya apa bagian tersulit menjadi "Pewaris Sistem Kuno", aku punya jawabannya: diajak jalan-jalan pagi-pagi buta oleh seorang sesepuh. Kabut masih tebal menyelimuti Sukoharjo ketika Mbah Ledhek membangunkanku. Hari itu, kami akan menuju tempat yang disebutnya "Padepokan Tirta Amarta" untuk ritual Tapa Kungkum. Kedengarannya keren, tapi yang kupikirkan hanyalah betapa dinginnya air sungai nanti.
"Konsentrasi, Le," ucap Mbah Ledhek tiba-tiba, seperti guru yang tahu pikiranku sedang melayang ke mimpi tentang bubur ayam. "Energi sungai ini sudah mulai kau rasakan, bukan?"
Aku mengangguk. Sejak puasa mutih tiga hari yang menyiksa itu, indraku memang semakin aneh. Aku bisa merasakan getaran cincin di jariku yang seirama dengan gemericik air. "Iya, Mbah. Seperti... ada radio kuno yang menyala di dalam air."
Mbah Ledhek tersenyum. "Itu suara leluhurmu. Mereka berbicara melalui elemen yang paling dekat dengan takdirmu." Aku mencoba tidak bertanya elemen apa saja pilihan lainnya. Air saja sudah cukup membuatku basah kuyup.
Setelah berjalan cukup lama sampai kakiku mulai protes, kami sampai di sebuah tebing curam. Mbah Ledhek lalu melakukan hal yang aneh: dia mengetuk batu besar tiga kali. Aku hampir bertanya apakah dia sudah pikun, ketika tiba-tiba kabut tebal menyapu kami, dan saat sirna, sebuah jalan setapak yang sebelumnya tak terlihat muncul di sisi tebing.
"Whoa," kataku, terkesima. "Itu ilusi?"
"Perlindungan," koreksi Mbah Ledhek. "Hanya mereka yang niatnya... cukup bersih yang bisa menemukan jalan ini." Aku memilih untuk tidak memikirkan kata "cukup" yang dia gunakan.
Kami turun dan pemandangan luar biasa terbuka. Sebuah kompleks padepokan tersembunyi di balik tirai air terjun kecil. Bangunan kayu tradisional Jawa berdiri kokoh, dan beberapa orang berpakaian seragam putih-biru sedang berlatih gerakan lambat seperti tai chi.
"Selamat datang di Padepokan Tirta Amarta," ucap Mbah Ledhek, terdengar bangga.
Seorang wanita tua yang tegap dengan rambut putih dikonde rapi menyambut kami. Matanya tajam seperti elang, dan aura wibawanya membuatku ingin membungkuk.
"Ledhek," sambutnya hangat. "Sudah lama kau tidak membawa 'proyek'-mu kesini." Aku merasa seperti barang yang ditawarkan.
"Eyang Retno," Mbah Ledhek membungkuk hormat. "Ini dia, Jaka."
Eyang Retno memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Jadi inilah anak yang ditemukan di Brantas? Yang membuat Jin Pengintai begitu aktif belakangan ini?"
"Aku... saya Jaka, Eyang," kataku, berusaha sopan.
"Dan kau ingin melakukan Tapa Kungkum di tempat suci kami?" tanyanya, nada suaranya datar.
"Ya, Eyang. Untuk... menyelaraskan energi dengan elemen air," jawabku, mencoba terdengar meyakinkan seperti yang diajarkan Mbah Ledhek.
Dari balik Eyang Retno, seorang gadis seusia aku muncul. Rambutnya diikat rapi, matanya penuh penilaian yang membuatku merasa seperti sedang diukur untuk pakaian yang tidak cukup besar. "Eyang, apa tidak terlalu berisiko memberi kesempatan pada orang luar?" katanya dengan tegas. "Lihat caranya berdiri. Tidak ada kuda-kuda dasar sama sekali."
Aku merasa pipiku memanas. "Saya bisa belajar," kataku, mencoba membela diri.
"Belajar?" gadis itu menyeringai. "Ujian kami bukan tempat bermain untuk pemula."
Mbah Ledhek menaruh tangan di bahuku. "Dia memiliki potensi yang berbeda, Sekar. Bukan hanya soal fisik."
"Kita lihat saja," jawab Sekar singkat sebelum berbalik pergi. Aku sudah membayangkan nilai "F" besar di atas kepalaku.
Ujian pertama adalah Uji Tapak Ari. Aku harus bertahan berdiri di atas batu besar di tengah jeram sungai. Batu itu licin dan hanya cukup untuk satu kaki. Seorang pemuda gagah bernama Galih dengan mudah melompat dari batu ke batu seperti kangguru. Saat giliranku, aku melompat dan langsung tergelincir. Dengan susah payah, aku berhasil menjaga keseimbangan, berterima kasih pada semua tahun membantu Pak Karto di sawah yang melatih kestabilanku.
"Konsentrasi, Le!" teriak Mbah Ledhek.
Aku mencoba fokus pada aliran energi dalam diriku. Perlahan, tubuhku mulai stabil. Lalu, tiba-tiba, seekor burung bangau terbang rendah, menyambar tepat di depan wajahku. Aku terkejut dan terjatuh ke dalam air yang deras. "Tolong!" teriakku, menelan air sungai yang tidak seenak air minum Bu Parmi.
Dengan gerakan gesit, Sekar melompat dan menarikku ke tepi. "Dasar tidak hati-hati!" hardiknya, tapi tangannya kuat dan pasti.
"Itu bukan kesalahannya," sahut Eyang Retno, membuat semua orang terkejut. "Burung bangau tadi bukan burung biasa. Itu jelmaan Jin Pengintai."
Aku menggigil. "Mereka... mengikutiku sampai sini?"
"Tampaknya kau sangat spesial bagi mereka," jawab Eyang Retno, yang tidak membuatku merasa lebih baik. Tapi setidaknya Sekar memandangku dengan ekspresi yang sedikit kurang menjengkelkan.
Ujian kedua adalah Uji Waskita Air. Aku harus merasakan keberadaan lima kerang yang disembunyikan di dasar sungai dengan mata tertutup. Sekar, tentu saja, dengan sempurna menemukan semua kerang dalam hitungan menit seperti manusia sonar.
Saat giliranku, aku kesulitan membedakan energi kerang dan batu biasa. Aku hampir menyerah ketika suara Mar terdengar.
"Fokus pada getaran yang berdenyut lembut. Itu energi kehidupan dalam kerang."
Aku mengikuti petunjuknya. Aku berhasil menemukan empat kerang, tapi yang kelima hilang. "Dia gagal," bisik seseorang. Tiba-tiba, aku merasakan tarikan aneh dari arah jeram. Dengan insting, aku menyelam dan menemukan kerang terakhir tersangkut di akar pohon. Tapi yang lebih penting, aku melihat seorang calon pendekar lain, Galih, yang kakinya terjebak dan hampir tenggelam!
Dengan usaha keras, aku membebaskannya dan menariknya ke permukaan. Tepuk tangan riuh terdengar. Sekar membantu menarik kami ke tepi. "Kau mengambil risiko bodoh," katanya, tetapi nadanya tidak lagi menghakimi. Aku akan menerimanya sebagai pujian.
Ujian terakhir adalah Uji Nyali Bayu Branta. Aku harus bertahan duduk di bawah curahan air terjun yang deras. Tekanannya seperti dicambuk dengan ribuan jarum air dingin. Satu per satu calon pendekar menyerah. Galih bertahan sepuluh menit. Sekar, sang juara, lima belas menit.
Saat giliranku, aku merasakan ketakutan. Sulit bernapas. Aku ingat nasihat Mbah Ledhek "Seperti air, mengalirlah. Jangan melawan." Aku berhenti melawan dan membiarkan tubuhku mengikuti aliran air. Ajaib, rasanya tidak terlalu menyakitkan. Aku mulai merasakan energi air terjun menyatu dengan energiku.
"Tapa Brata meningkat ke 45/100. Ketahanan fisik dan mentalmu berkembang."
Setelah dua puluh menit, lima menit lebih lama dari Sekar, Eyang Retno memberi tanda berhenti. Semua terkesima, termasuk Sekar yang matanya membelalak.
"Kau lulus, Jaka," ucap Eyang Retno. "Kau menunjukkan ketekunan dan keberanian yang pantas dihormati."
Sekar menghampiri. "Maafkan sikapku sebelumnya. Aku salah menilaimu."
Jaka tersenyum lelah. "Tidak apa-apa. Aku memang masih harus banyak belajar darimu." Dan aku benar-benar memikirkannya.
Malamnya, di bawah sinar bulan purnama, aku bersiap untuk Tapa Kungkum. Eyang Retno memimpinku ke kolam kecil yang airnya jernih kebiruan. "Air di sini mengandung energi murni leluhur kami," jelasnya. Aku mengangguk, berusaha terkesan sambil menggigit-gigit gigiku yang mulai gemetar kedinginan.
Aku masuk ke air. Dinginnya membuatku ingin berteriak. Aku duduk bersila, air sampai ke leherku, dan mulai meditasi. Lalu, vision-nya datang. Kali ini lebih jelas.
Aku melihat wanita dari mimpiku sebelumnya, wanita yang kuyakini adalah ibuku. Kali ini, aku bisa melihat kalung di lehernya, dengan ukiran nama "Sri". Dia dan pria gagah itu, ayahku, bersembunyi di balik batu besar.
"Kita tidak bisa terus begini, Sri. Mereka akan menemukan kita," bisik ayahku.
"Tapi kita harus menyelamatkan Jaka," jawab ibuku, suara bergetar. "Dia satu-satunya yang bisa mengendalikan sistem sepenuhnya."
Ayahku mengangguk, wajahnya berlinang air mata. "Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kau... kau harus menghanyutkannya. Sungai ini akan membawanya kepada yang tepat."
Vision berubah. Aku melihat ayahku melepas cincin dari jarinya cincin yang sama persis dengan milikku sekarang dan meletakkannya dalam keranjang bersamaku, bayi yang sedang menangis.
"Sistem, lindungi anakku," bisiknya sebelum mencium keningku untuk terakhir kali.
Vision terakhir: Bayangan Berjubah Hitam yang kutakutii muncul, diikuti orang-orang berbaju hitam. Tapi yang lebih mengejutkan, ada seseorang yang bersembunyi di balik pohon, seorang pengkhianat yang wajahnya tidak bisa kulihat.
"Serahkan sistemnya!" teriak Bayangan Berjubah Hitam.
Ayahku mengangkat tombak. "Aku akan mati untuk melindunginya!"
Aku terbangun terisak, air mataku bercampur air sungai yang dingin. Sekarang aku mengerti. Cincin dan kalungku bukan sekadar aksesori. Itu adalah warisan. Perlindungan terakhir orang tuaku yang mati untuk menyelamatkanku.
"Waskita meningkat ke 50/100. Pemahamanmu tentang masa lalu semakin jelas."
Dari balik pepohonan, sepasang mata merah mengamati. Bayangan Berjubah Hitam itu tersenyum puas.
"Sempurna," bisiknya. "Teruslah berkembang, Pewaris. Semakin kau mengerti, semakin kau mendekati takdirmu yang sebenarnya."
Aku tidak menyadari bahwa setiap petunjuk, setiap vision, adalah bagian dari rencana besar. Takdirku bukan hanya tentang menjadi kuat, tapi juga tentang memahami pengorbanan yang harus dibayar. Dan saat itu, yang bisa kupikirkan hanyalah satu hal: aku berhutang nyawa pada dua orang pemberani yang bahkan tidak sempat kukenal. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan mereka.
Bahkan jika itu berarti harus berendam di air dingin lagi.
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
bantu akun gua bro