Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Pelabuhan Batam sore itu dipenuhi riuh orang-orang yang baru turun dari kapal. Aroma laut bercampur dengan terik matahari yang mulai condong ke barat.
Dari balik kerumunan, Nindya menggenggam tangan kecil Yudith erat-erat. Hatinya berdebar ketika matanya menangkap sosok Andrew yang baru saja menjejakkan kaki di dermaga.
Andrew melangkah mantap, menenteng koper di satu tangan, dan senyum yang seolah menyemburatkan kerinduan. Begitu melihat Yudith, ia seakan lupa pada lelah perjalanan. Dengan sigap ia meraih putrinya, mengangkatnya tinggi-tinggi hingga gadis kecil itu meledak dalam tawa riang.
“Papa!” seru Yudith, memeluk lehernya erat.
Andrew menoleh ke arah Nindya. Tatapan itu lembut, penuh rindu yang nyaris membuat Nindya kehilangan kata.
Tanpa banyak pikir, ia merengkuh Nindya ke dalam pelukan hangat. Aroma tubuh Andrew yang khas membuat Nindya merasa rumahnya kembali utuh.
“Aku rindu sekali…” bisik Andrew lirih di telinganya, suaranya bergetar meyakinkan.
Nindya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan haru.
“Kami juga rindu,” jawabnya pelan, matanya terasa panas.
Yang tak seorang pun tahu, di balik tatapan penuh cinta itu, Andrew masih menyimpan berat di hatinya.
Hatinya tertinggal di negara yang mendapat julukan " The Land of Blue Dragon." beberapa jam sebelumnya, saat Michelle dan kedua anaknya melepas kepergiannya dengan pelukan.
Namun kini, di hadapan Nindya dan Yudith, ia harus memainkan perannya dengan sempurna—menjadi suami dan ayah yang penuh kasih.
Kini, berdiri di pelabuhan bersama Nindya, ia kembali mengenakan topengnya. Ia tahu persis bagaimana bersikap, bagaimana memainkan kerinduan, dan bagaimana membuat Nindya merasa dirinya adalah pusat dunia Andrew.
Dan Nindya, dengan hatinya yang penuh cinta, tak pernah menduga bahwa pelukan itu hanyalah bagian dari permainan besar yang sedang Andrew jalankan.
Di perjalanan pulang, suasana mobil terasa hangat. Yudith duduk di kursi belakang dengan bonekanya, sesekali ikut menyahut percakapan orang tuanya. Andrew yang memegang kemudi tampak begitu bersemangat bercerita.
“Di sana aku sempat menghadiri beberapa rapat penting,” ujarnya, seolah-olah benar-benar sibuk.
“Kami membicarakan tentnag rencana ekspansi di negara itu ,aku harus banyak menjelaskan tentang keunggulan perusahaan kita mereka cukup antusias.”
Nindya menoleh, menyimak dengan wajah penuh perhatian.
“Oh begitu ya… pasti melelahkan sekali.”
Andrew tersenyum, menahan getaran dalam dirinya.
“Iya, tapi semua sepadan karena peluangnya sangat menjanjikan sayang."
Ia bercerita panjang lebar, seakan-akan setiap detail itu nyata. Nindya sesekali mengangguk, meski hatinya menyimpan secercah keraguan.
Intuisinya berbisik ada sesuatu yang tak seluruhnya benar dari rangkaian cerita Andrew. Tapi ia memilih diam, mencoba percaya—mengingat betapa meyakinkannya cara Andrew menyampaikan semuanya.
Sementara itu, Andrew menatap sekilas ke kaca spion, melihat Nindya yang menatap lurus ke depan. Ia menarik napas dalam. Permainan ini harus terus berjalan dengan mulus.
Setibanya di rumah, Andrew menurunkan koper dari bagasi. Nindya dan Yudith masuk lebih dulu. Begitu pintu tertutup, Andrew langsung meraih Nindya dan memeluknya erat.
“Aku benar-benar merindukanmu…” bisiknya, seolah ingin menegaskan betapa beratnya ia menahan rindu.
Nindya terdiam sejenak, merasakan hangat tubuh suaminya. Ia membalas pelukan itu, meski masih ada sedikit sisa keganjilan di hatinya.
Andrew lalu menunduk, mengecup kening Nindya.
“Kamu tahu tidak?, dua minggu terasa seperti dua tahun bagiku saat jauh darimu.”
Ucapan itu membuat Nindya sedikit luluh. Ia ingin percaya, meski ada bagian dirinya yang belum sepenuhnya yakin.
Di ruang tamu, Yudith ikut bersuara.
“Papa, jangan pergi lagi ya.” katanya polos sambil memeluk kaki Andrew.
Andrew tersenyum, membungkuk, lalu mengangkat Yudith ke pangkuannya.
“ Iya sayang Papa janji,.”
Malam itu rumah kembali terasa hangat. Andrew tampak penuh kasih sayang, memainkan perannya dengan sangat meyakinkan.
Nindya mencoba mengubur rasa curiga dan menenangkan dirinya bahwa mungkin ia hanya berpikir terlalu jauh.
Namun, di balik senyum hangat itu, Andrew tahu dirinya sedang memupuk kebohongan yang suatu saat bisa meledak.
Malam semakin larut. Yudith sudah terlelap di kamarnya. Nindya baru saja selesai membereskan meja makan ketika Andrew menghampirinya dari belakang. Tangannya melingkar di pinggang Nindya, membuat wanita itu sedikit terkejut.
“Andrew…” bisik Nindya, setengah tersipu.
“Hm?” Andrew menundukkan kepala, mencium aroma rambut Nindya.
“Aku kangen dengan momen seperti ini sayang."
Nindya diam. Ada rindu yang sama di hatinya, tapi ada pula luka kecil yang diam-diam ia tahan. Ia tak ingin merusak suasana.
Andrew menarik tangannya, menggiring Nindya ke sofa. Ia menatap dalam, seolah ingin menelan segala resah yang tersisa.
Nindya menunduk. Kata-kata itu manis, begitu meyakinkan. Ia ingin percaya, walau intuisinya masih berbisik sebaliknya. Tapi di hadapan Andrew yang begitu lembut malam itu, ia memilih bungkam.
Nindya…” panggil Andrew pelan.
Nindya menoleh.
“Ya?”
Andrew menggenggam tangan istrinya, hangat dan mantap.
“Aku bersyukur bisa bertemu dengan kamu di kehidupan ini.”
Tatapan Nindya melembut. Ada getar di dadanya, rasa haru yang membuat matanya sedikit berkaca.
“Aku juga merasakan hal yang sama sayang…” jawabnya lirih.
Andrew mengecup punggung tangan Nindya, seolah ingin meneguhkan ucapannya. Malam itu, ia benar-benar memainkan peran seorang suami yang penuh kasih.
Nindya luluh, memilih percaya bahwa lelaki di hadapannya memang tempat ia bersandar
Andrew lalu meraih wajahnya, jemarinya menyentuh pipi Nindya.
“Aku ingin menebus rinduku malam ini.” Ujarnya lirih, namun penuh intensitas.
Nindya tak menjawab dengan kata, hanya menatapnya dengan mata yang penuh kerinduan Itu sudah cukup bagi Andrew. Ia menunduk, menyatukan bibir mereka dalam ciuman yang dalam, seolah menegaskan kembali bahwa ia milik Nindya—setidaknya di hadapan wanita itu.
Malam itu menjadi milik mereka berdua, penuh kelembutan, penuh kerinduan yang dilepaskan. Nindya terbuai, sementara Andrew semakin lihai memainkan peran suami yang sempurna, menutupi rahasia gelap yang masih ia simpan rapat-rapat.
Beberapa hari setelah kepulangannya, rumah tangga Andrew dan Nindya tampak begitu harmonis. Andrew lebih sering pulang tepat waktu.
Di hadapan rekan-rekan kerja, Andrew tampil sebagai suami yang penuh perhatian menentengkan tas Nindya, membukakan pintu mobil, bahkan sesekali mengantar kopi ke meja kerja istrinya.
Bagi Nindya, semua itu adalah momen manis yang seolah meneguhkan hatinya bahwa Andrew memang serius menjalani rumah tangga mereka. Ia kembali bisa tersenyum tulus, walau sesekali masih ada bayangan-bayangan kecil yang mengusik pikirannya.
Yudith pun semakin dekat dengan Andrew. Suatu sore, gadis kecil itu berlari menyambut Andrew yang baru pulang kerja dengan menggenggam buku gambar.
“Papa, lihat… Yudith gambar rumah kita. Ini Mama, ini Yudith, ini Papa.”
Andrew menatap gambar sederhana itu, lalu tersenyum lebar.
“Bagus sekali, sayang. Papa bangga.” Ia mengangkat Yudith tinggi-tinggi, membuat tawa renyah bocah itu memenuhi ruang tamu
“
mana nindya jd cewek terlalu lemot banget, di sakitin dikit nangis, coba jd cwek tu yg tegas, berpendirian, gedeg banget gw !