Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca
•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI
Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 SEKTE SESAT Part 7
Sariwati yang nekat berjalan malam itu juga menuju pos polisi merasa sangat kelelahan. Setiap bayangan pohon di samping jalan seolah-olah berubah menjadi sosok mengerikan yang menguntitnya. Hawa dingin menusuk tulang, namun keringat dingin terus mengucur di dahinya. Pikirannya dipenuhi gambaran Andi yang kesurupan, wajah Jaka yang polos dan sudah menjadi mayat, dan senyum mengerikan milik Ratu Bayang. Setiap langkahnya yang menjauh dari desa Bawakaraeng adalah pertaruhan nyawa.
Sekitar pukul empat pagi, saat langit mulai memudar dari hitam pekat menjadi abu-abu keunguan, Sariwati akhirnya tiba di sebuah bangunan kecil yang berkarat di pinggir jalan utama. Sebuah plang kayu usang bertuliskan "POS POLISI Bawakaraeng" tampak tergantung miring. Jantungnya berdebar kencang, antara lega dan cemas.
Sariwati lantas mengetuk pintu beberapa kali, tapi tak ada jawaban dari dalam.
Sariwati mencoba mendorong gagang pintu, dan ternyata pintu pos polisi itu tak terkunci. Dia melangkah masuk ke dalam pos yang gelap dan hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari luar. Di dalam, sebuah meja dan dua kursi besi tua menjadi satu-satunya perabotan yang ada di sana. Di dinding pos polisi itu, terpampang beberapa poster pencarian orang hilang dan kalender tahun lalu yang sudah lusuh.
"Halo? Apakah ada orang?" panggil Sariwati, suaranya terdengar parau karena kelelahan.
Dari balik meja, sebuah kepala terlihat menyembul. Seorang pria paruh baya, dengan seragam polisi yang terlihat kebesaran dan rambut acak-acakan sedang mendengkur di balik meja. Dialah Kompol Budi.
Sariwati bergegas mendekat. "Pak Kompol Budi? Bangun, Pak! Saya butuh bantuan Anda!"
Pria itu tersentak kaget, mengusap matanya yang sembap. "Siapa!? Ada apa pagi-pagi buta sudah ribut? Saya lagi... patroli, eh... mimpi." Kompol Budi tampak kaget melihat seorang wanita dengan wajah panik berdiri di depannya.
"Saya Sariwati, guru baru di desa Bawakaraeng. Ada sekte sesat di desa itu, Pak! Mereka melakukan ritual mengerikan, tumbal anak, dan adik saya... adik saya kesurupan!" Sariwati bicara dengan napas terengah-engah, mencoba menjelaskan semuanya dalam satu tarikan napas.
Kompol Budi menatapnya dengan pandangan kosong. "Sekte? Tumbal anak? Kesurupan? Mbak, ini udah tahun berapa? Kamu pasti capek dan kelelahan. Istirahatlah dulu. Cerita soal hantu-hantuan itu nanti saja!" ucap Kompol Budi sambil menguap lebar, sama sekali tak menganggap serius ucapan Sariwati.
"Ini bukan hantu-hantuan, Pak! Saya melihatnya sendiri! Jaka, anak Ibu Siti, dia dikubur di hutan sebagai persembahan untuk ritual! Dan Pak Rahman, dia pemimpin sekte itu! Dia sudah memanipulasi semua warga dengan janji 'tiket ke surga' seharga tujuh juta!" terang Sariwati.
Sigap, Sariwati mengambil ponselnya, mencoba menunjukkan foto-foto yang sempat dia ambil saat mengendap-endap di rumah Pak Rahman, namun sayang layar ponselnya masih gelap, mati.
Mendengar kata "tujuh juta," mata Kompol Budi sedikit terbuka. "Tujuh juta, katamu? Untuk apa?"
"Untuk 'tiket ke surga', agar jiwa mereka bisa langsung ke sana, katanya!" jawab Sariwati. "Ini penipuan, Pak! Ini kejahatan! Dan sudah terjadi pembunuhan!" jawab Sariwati terengah-engah.
Kompol Budi menggaruk-garuk kepalanya. "Tujuh juta... Itu angka yang lumayan. Tapi tumbal anak? Itu tuduhan serius, Nona. Kamu punya buktinya?"
"Saya... saya melihat gundukan tanah di hutan. Ada boneka Jaka dan jejak kaki anak kecil seperti diseret. Dan ada tulisan Ibu Siti yang menyebut Jaka sebagai persembahan!" Sariwati menjelaskan, tapi dia tahu ceritanya terdengar tidak masuk akal tanpa bukti fisik.
Tiba-tiba, pintu pos polisi terbuka. Seorang pria tua dengan caping di kepalanya masuk, wajahnya tampak murung. "Kompol Budi, anak saya... Dia jual sawah kami. Untuk tiket ke surga."
Sariwati menoleh. Itu Bapak Tua yang semalam dia lihat menyerahkan bungkusan uang di gua saat ritual berlangsung.
"Pak Tua, sabar dulu. Ini masih pagi. Memangnya berapa anakmu menjual sawahnya, hem?" tanya Kompol Budi, kini mulai sedikit tertarik.
"Lima belas juta, Pak. Dia bilang itu untuk menebus jiwa kami berdua, agar bisa langsung ke surga. Pak Rahman yang bilang begitu," jawab Bapak Tua itu dengan mata berkaca-kaca.
Sariwati menatap Kompol Budi. "Lihat, Pak! Ini bukan hanya kasus mistis, tapi juga penipuan! Pak Rahman itu memeras warga desa Bawakaraeng yang tak punya apa-apa!"
Kompol Budi menghela nafas panjang. "Baiklah, Nona. Kalau memang ada penipuan, itu urusan saya. Tapi soal kesurupan dan Ratu Bayang... itu di luar tanggung jawab saya."
Kpmpol Budi lalu bangkit dari kursi, dan meraih topi polisinya. "Saya akan ke desa, tapi saya tidak akan percaya perkataan kalian sampai saya lihat sendiri. Dan kamu harus tetap di sini, Nona. Kamu saksi penting."
Sariwati mengangguk lega. Setidaknya ada harapan. "Saya ikut ya, Pak! Saya bisa tunjukkan letak gundukan itu!" pinta Sariwati.
"Tidak perlu! Kamu tunggu di sini. Desa itu bukan tempat yang aman untuk kamu, terutama setelah kejadian tadi malam," kata Kompol Budi, pandangannya beralih ke Sariwati. Dia bisa melihat ketakutan dan kecemasan di mata wanita itu.
"Saya akan panggil bantuan dari kota. Dan saya akan laporkan kasus ini ke pihak otoritas yang lebih berwenang. Tapi mereka butuh bukti yang kuat." ucap Kompol Budi lagi.
Kompol Budi keluar dari pos polisi, diikuti oleh Bapak Tua itu. Sariwati melihatnya mengendarai motor patroli bututnya, melaju menuju arah desa Bawakaraeng. Dia ditinggalkan sendiri di pos polisi yang sepi.
Sariwati mencoba menyalakan ponselnya lagi. Masih tidak ada sinyal. Dia mencoba radio komunikasi di meja Kompol Budi, tapi hanya ada suara kresek-kresek dan tuuuuuung yang panjang. Sariwati terperangah, Desa Bawakaraeng benar-benar terputus dari dunia luar.
Sariwati akhirnya duduk di kursi sambil memijat keningnya. Apa yang harus dia lakukan? Dia harus melindungi Andi, tapi dia tak bisa kembali ke desa itu sendirian. Pikiran tentang Ratu Bayang dan bisikannya masih menghantuinya. Sariwati melihat poster-poster orang hilang di dinding. Sebagian besar adalah warga desa Bawakaraeng dari tahun-tahun sebelumnya. Apakah mereka semua juga menjadi tumbal "tiket ke surga" yang sama?
Suara ketukan pelan dari pintu belakang pos polisi membuat Sariwati tersentak kaget. Dia meraih sebuah tongkat besi yang tergeletak di sudut ruangan, sikap tubuhnya bersiap untuk membela diri.
Ketukan itu berulang dengan ritme yang sama, tapi kali ini sedikit lebih keras. "Sariwati... kami tahu kau di sini..." Suara itu terdengar mendesis, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Itu bukan suara manusia. Itu suara yang dia dengar di gua. Suara Ratu Bayang!
Sariwati tak berani bergerak. Dari celah pintu belakang, dia melihatnya, bayangan hitam panjang yang merayap masuk ke dalam pos. Bayangan itu seperti asap, tapi perlahan-lahan membentuk siluet wanita dengan rambut panjang dan gaun berkibar.
"Kami sudah membayar mahal untuk tiketmu... darahmu... akan jadi persembahan yang sempurna..." bisik suara itu dan kini terdengar tepat di belakangnya.
Sariwati berbalik, tongkatnya terangkat tinggi. Tapi di depannya, tak ada siapa pun. Hanya bayangan hitam yang menari-nari di dinding, seolah-olah mengejeknya. Dia sendirian di pos polisi ini, dikejar oleh sesuatu yang tak terlihat. Dia sadar, Kompol Budi mungkin bisa mengurus masalah penipuan, tapi untuk urusan ini, dia harus melawannya sendiri!
*
buat othor ganteng ni kukasi kue dah xixixi 🥧🍰🧁🍮🍧🥮🥠
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰