Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Galih pulang ke Wonosobo
Galih pulang ke Wonosobo mengunakan mobil mewah milik bos di perusahaan tempatnya bekerja, Galih belum bisa mengumpulkan uang untuk membeli mobil sendiri, karena uangnya sudah habis untuk membeli rumah dan membiayai istri barunya yang tengah hamil besar.
Mobil Galih melaju membelah keramaian kota, ia tak sabar ingin mengajak Arumni kembali ke Jakarta. Entah apa yang terlintas dipikiran pria itu, sampai hati melukai perasaan istri yang sangat ia cintai.
Dulunya Galih selalu antar jemput saat Arumni masih duduk di bangku sekolah SMA, Arumni merupakan gadis tercantik di sekolah dan di kampungnya, Arumni juga cinta pertamanya, meskipun sempat sulit mendapat restu dari orang tua Arumni karena Galih hanya seorang mahasiswa yang belum diketahui masa depannya.
**
Galih sampai di rumah saat bapaknya sudah berangkat mengajar, sementara Arumni dan ibunya tengah asyik menikmati teh hangat yang dipadukan dengan lemon segar, mereka duduk di depan televisi.
" sepertinya ada suara mobil di depan rumah kita ya, Arumni?" kata bu Susi.
"Iya, bu. Apa mungkin itu mas Galih?"
Ibu dan Arumni bergerak ke luar rumah, dan benar saja itu Galih. Tak ingin membuat ibu merasa cemas, Arumni bersikap seperti biasa, mencium tangan Galih dan membawakan barang bawaan Galih. Galih mencium tangan ibunya dan saling menanyakan kabar.
"Mau dibuatkan minum apa mas?" tanya Arumni.
"Tidak usah Arumni, ini teh punya mu kan?" Galih menunjuk teh yang ada di meja, "biar aku minum ini saja." Belum sempat Arumni menjawab Galih sudah menyesapnya.
Ibu tersenyum lega saat melihat mereka bersikap seperti biasa, itu tandanya tidak ada masalah diantara mereka.
"Jam berapa kamu dari sana Galih?" Tanya ibu.
"Masih sore bu, sedikit ada kemacetan makanya baru sampai. Oh ya Arumni, tolong siapkan air panas ya, perjalanan malam tadi rasanya melelahkan."
"Baik mas." Arumni berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas dan juga sarapan untuk sang suami.
Ibu melirik ke belakang untuk memastikan Arumni tidak mendengar percakapan mereka.
"Galih, ibu rasa sebaiknya kamu membujuk Arumni agar tinggal bersama mu di Jakarta. Kalian ini suami istri, tidak baik jika hidup terpisah terus, memangnya mau sampai kapan?" Lirih bu Susi.
"Iya, bu. Aku pikir juga begitu."
" Baiklah kalau begitu nanti ibu ke pasar kamu bujuk Arumni, ya? pastikan dia benar-benar mau mempertimbangkan hal ini, akan lebih bagus jika kalian terus hidup berdampingan."
Galih menganguk.
"Air panasnya sudah siap, mas!" kata Arumni. "Aku lanjut masak dulu ya, mas?"
"Iya, Arumni, makasih ya?" Galih pun bergegas ke kamar mandi.
"Galih!" panggil ibu. "Kamu mau bawa apa kalau pulang ke Jakarta? Biar sekalian ibu bawakan dari pasar."
"Tetangga ku minta bawain karika yang sudah jadi minuman, bu. Tolong ibu belikan yang itu aja ya, bu?"
"ya sudah, ibu berangkat dulu ya? Soalnya ada yang mau ambil pesanan pagi ini. Ibu berangkat dulu ya, Arumni?"
"iya, bu!" jawab Arumni.
Setelah Bu Susi berangkat ke pasar, Arumni menunduk saat di depan Galih, ia tak mau menatapnya sedikit pun. Hati Galih bagai tersayat sembilu, perihnya melebihi caci maki dari Arumni.
Galih menghalangi jalan Arumni, "tolong katakan sesuatu!"
"Airnya nanti keburu dingin."
"Aku tidak peduli dengan air, Arumni. Tolong katakan sesuatu, apa kamu tidak ingin memarahi aku? Kamu bisa memukul ku dengan kayu ini sekuat tenaga!" Galih mengambil kayu bakar yang cukup besar. "Pukulah! Aku tidak akan melawan, Arumni. Tapi kamu jangan mendiamkan aku seperti ini."
Arumni menghunus tatapan tajam dengan mata kemerahan dan sedikit berair. "Memangnya kamu pikir dengan aku memukul semua akan kembali seperti semula?!" ucapnya sambil mendorong dada Galih dengan sekuat tenaga, amarahnya berapi-api. "kamu jahat, kenapa kamu setega ini padaku." Tangisnya pun pecah.
Galih hanya berdiri tercengang menatap sang istri dengan amarah meledak-ledak.
Arumni menangis terisak-isak, ia terduduk di lantai. Hal itu membuat hati Galih bagai teriris, Galih memeluk Arumni dengan sangat erat, ia semakin mengunci ketat pelukannya meskipun Arumni terus memberontak.
"Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku!" ucapnya dengan penuh penyesalan sambil menciumi pipi Arumni. Galih terus memeluknya sampai Arumni dapat merasa sedikit lebih tenang.
"Apa yang sudah kamu lakukan, mas? Kenapa kamu menyakiti aku?"
"Aku tahu Arumni! Aku hanya berusaha hidup sebaik mungkin, tapi aku terjebak dalam situasi ini. Andai saja aku tidak menolong Mita waktu itu, mungkin warga tidak akan salah paham dan menikahkan kita!"
"Tapi Mita hamil anak mu, mas!"
"Aku tahu aku salah, Arumni. Tapi aku mohon jangan berteriak di sini, tetangga akan tahu."
Arumni pergi ke kamar, ia menangis sekuat tenaga sambil menutup wajahnya dengan bantal. Galih jadi merasa bingung, ingin membujuk Arumni dalam keadaan seperti itu sudah pasti hanya akan membuatnya semakin sedih dan marah. Tak ingin membuang waktu, Galih segera ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh yang lelah akibat perjalanan jauh.
Sedikit merasa lebih tenang, Arumni membasuh wajahnya di wastafel. Ia berkali-kali membasuh wajahnya demi mengurangi amarahnya, hingga ia menatap pantulan wajah Galih dari cermin saat Galih keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggangnya.
Arumni mengulas senyum, dan Galih menatapnya di cermin. "Maafkan aku yang tidak bisa mengendalikan diri ya, mas?"
Galih menelan savila, ia memeluk Arumni dari belakang. "Bukan kamu yang salah, Arumni. Bahkan jika kamu menusukkan pedang ke dadaku pun, tidak akan sebanding dengan luka yang sudah aku beri."
keduanya jadi menangis karena terjebak dalam situasi sulit di pernikahan mereka.
"Semua sudah terjadi, mas. Menyesali pun akan percuma." Napasnya tercekat saat mengatakan. "Aku hanya akan memperkuat diriku untuk menghadapi semua ini, aku akan menganggap ini sebagai ujian. Aku akan mencoba bertahan, sampai aku tidak sanggup lagi." Tangisnya kembali pecah.
Galih memindah posisi Arumni menjadi berhadapan dengannya, ia menyilakan rambut Arumni secara perlahan. "Aku pulang bukan untuk membuat mu menangis." Galih pun mengecup kening Arumni, kelopak mata kanan dan kiri dengan lembut.
Arumni mengulas senyum. "Boleh aku minta sesuatu, mas?"
"Katakan!"
"Bawa aku ke tempat dimana kamu sering menyuruh ku untuk meninggalkan jam pelajaran, sampai orang tua ku di panggil ke sekolah." ucapnya sambil tertawa kecil.
Galih jadi ikut tertawa. "Iya, aku ganti baju dulu, ya?"
"Mas Galih!”
"Iya, yang!" jawaban itu tiba-tiba terucap dari bibir Galih. Keduanya jadi terbawa suasana tiga tahun silam, sebelum mereka terikat pernikahan.
Arumni jadi tersenyum malu kala ia mengingat tentang masa itu. "Aku cuma mau bilang, jangan lupa bawa uang ya! Aku tidak mau saat kita jajan ternyata dompet mu tertinggal, kan jadi terpaksa aku yang bayar."
Arumni seolah mengingatkan Galih ke masa itu. Bahkan Arumni menangis sambil tertawa saat mengatakannya. Membuat Galih ingin memeluknya lebih erat.
...*****...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi