Ini kisah nyata tapi kutambahin dikit ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taurus girls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Kiki yang memang tidak diperbolehkan bekerja oleh suami serta kedua anaknya. Kini sedang tiduran sambil bermain ponsel dikamarnya. Saat Kiki sedang tertawa karena video lucu diaplikasi, telinganya menangkap suara gaduh dari luar rumah dengan jelas.
Kiki buru-buru keluar dari kamar dan keluar dari rumah. Begitu sudah diluar rumah Kiki melihat tetangga dekatnya sudah ada pada diteras mereka masing-masing. Mereka semua menatap kearah Kiki.
"Itu bapak sama adekmu rusuh kenapa lagi, Ki?" tanya tetangga yang bernama Manik. Pertanyaan yang sudah jelas mewakili dari tetangga yang lainnya juga.
Karena malu. Kiki tidak menjawab pertanyaan dari Manik sama sekali. Kiki bergegas menuju rumah bapak karena ingin menghentikan keributan disore hari ini. Sungguh sangat memalukan padahal sudah berulang kali bapak serta adiknya itu ia tegur supaya tidak buat ribut, tapi apa? Masih aja.
Bikin malu!
Namun betapa terkejutnya saat Kiki melihat Bapak sedang memegang pa-rang dan akan mengayunkannya pada Sendi.
"BAPAAAAKKK....!!"
"Bapak jangan Pak!" Kiki menarik Sendi agar menjauh dari bapak. Bertepatan pa-rang yang bapak pegang memba-cok pintu kayu kamar Sendi.
Untungnya Kiki cepat menarik Sendi, jika tidak, pasti Sendi sudah kena parang milik bapak itu. Astaghfirullah... Kiki sungguh tidak bisa membayangkannya.
"Pergi dari rumah ini kamu Sendi! Anak kurang ajar!" Roni masuk ke dalam kamar Sendi, dia mengambil semua pakaian Sendi membawanya keluar kamar dan memotong semua pakaian itu dengan parang di depan Sendi dan juga Kiki.
"Astaghfirullah, PAK!" Kiki mengusap dada.
"Sendi curi uang bapak satu juta, Ki! Kurang ajar dia!" Roni menatap Sendi bengis.
"Kamu pergi dari sini cepetan! Cepet pergi!" Kiki teriak meminta Sendi supaya cepat pergi dari sini. Takutnya bapak akan lebih murka lagi dan benar-benar melakukan hal keji itu.
Sendi tidak bergerak sedikitpun. Matanya sudah berkilat amarah dan pasrah. Sudah tidak takut mati lagi. "BIARIN..! BIARIN AKU MATI..!"
"Keras kepala kamu!"
Kiki jengkel karena Sendi tidak menuruti omongannya. Kiki menelfon anaknya yang untungnya sedang kerja tidak jauh dari area rumah. Dan meminta anaknya itu untuk segera pulang.
Dan tidak butuh waktu sampai lima belas menit anak bujangnya itu sudah pulang. Awan menatap bingung pada mama serta om nya itu. "Kenapa Ma?"
"Bawa Om Sendi pergi kerumah Tante Haya. Cepet!" jawab Kiki mendorong Sendi dengan kasar supaya adiknya itu segera naik keatas motor dan segera pergi dari desa ini.
Dengan mental yang sering dihancurkan. Sendi mengambil satu stel pakaian yang ada dijemuran, membawanya pergi.
Setelah Sendi dan Awan pergi Kiki pun menangis. Dia meratapi nasib adiknya yang terlalu buruk dari kisah hidupnya selama ini. Dan jangan lupakan tatapan para tetangga dekat rumahnya yang sungguh menyakitkan.
Karena tak tahan Kiki pun masuk kedalam rumah. Kiki menangis didalam kamar sana sambil menghubungi nomor adik keduanya yang ikut suaminya dibeda kabupaten yang tidak lain adalah Haya.
"Hallo, Ha. Hiks..."
"Hallo, mbak. Kamu kenapa mbak?" suara Haya terdengar sedikit khawatir karena mendengar suara mbak Kiki yang menangis.
"Awan lagi ke situ sama Sendi. Biarin Sendi nginep disitu dulu ya Ha. Sampai beberapa hari. Kasihan Sendi Ha, huhuhu..." Kiki berusaha menahan tangisnya tapi tidak bisa.
"Memangnya ada apa mbak? Kedengarannya serius banget,"
"Bapak mau bu-nuh Sendi Ha,"
"HAH APA..?! B-BU-BUH?! Kenapa begitu mbak?" suara Haya sudah tidak bisa dikondisikan lagi Haya benar-benar cemas panik khawatir serta penasaran.
Kiki pun menceritakan apa yang di lihatnya tadi pada Haya, membuat Haya diseberang sana juga ikut nelangsa. Betapa malangnya nasib adik laki-lakinya itu.
Roni melempar pa-rangnya ke sembarang arah. Dia menatap kedua tangannya yang hampir saja membuat Sendi terluka. Ada perasaan menyesal tapi emosinya juga tak kalah menguasainya.
Roni sudah kehilangan uang yang entah keberapa kalinya tapi Sendi tidak mau mengaku. Roni masuk ke dalam kamarnya kedua matanya memerah menahan tangisnya.
"Aku sudah kelewatan! Aku tahu aku ini berdosa berbuat seperti itu pada Anak ku. Tapi Sendi lancang telah mengambil uang ku! Selama ini aku tidak pernah mengajarinya untuk mencuri. Atau itu memang didikan Teta sewaktu hidup?" monolog Roni seperti itu.
Roni menggeleng marah. "Didikan mu begitu buruk Teta. Dan memang sudah benar aku selama ini untuk meragukan Sendi. Kalau dia itu mungkin benar bukan anak kandung ku." Roni mendecih, rasa benci dan tak suka itu justru semakin bertambah.
...----------------...
"Mbak!"
"Mbak Haya!"
Sendi dan Awan baru saja sampai. Dan Sendi Segera mengetuk pintu dapur rumah mbak Haya itu. Pintu itu pun terbuka menampilkan sosok wanita muda dengan anak kecil di gendongannya. Dia adalah Haya dan anaknya.
"Lho Sen? Ke sini kok nggak ngabarin dulu," Haya sudah di beritahu oleh mbak Kiki tapi Haya punya cara sendiri untuk menggali informasi yang lebih jelas lagi.
"Iya mbak, aku mau nginep di sini ya mbak? Boleh kan?" tanya Sendi dengan kedua mata yang memerah rambut berantakan serta baju dan celana yang menurutnya sudah lusuh.
Haya menatap Sendi dan Awan bergantian. Ada rasa nelangsa melihat Sendi dengan penampilan awut-awutan seperti itu. Oh, batin Haya menjerit, ingin menangis kencang tapi hanya bisa Haya tahan saja. Selama ini Haya merasakan hidupnya buruk setelah menikah, tapi ternyata Adik satu-satunya ini kehidupannya jauh lebih buruk darinya.
Haya mengangguk. "Ya boleh lah, ya udah ayo masuk aja. Awan, kamu mau kopi atau teh?" tanya Haya pada keponakan laki-lakinya itu.
"Kopi aja Tante," jawab Awan sambil pakirkan motornya di garasi rumah tante Haya yang masih sangat sederhana itu.
...----------------...
Hari sudah gelap dan Awan sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Menyisakan Sendi, Haya, dan juga anaknya Haya yang masih kecil-kecil.
"Sebenarnya ada apa? Tumben banget ke sini nggak bilang-bilang dulu," Haya masih dalam mode pura-puranya karena belum dapat informasi apa-apa bahkan dari tadi Sendi hanya diam saja. Sibuk main ponsel tapi pandangannya kosong.
"Aku udah seringkali di usir sama Ayah mbak. Aku bahkan mau di bunuh juga tadi." Bibir Sendi gemetar suaranya pun ikut gemetar. Dan Haya juga tahu kalau adiknya itu sedang menahan diri supaya tidak menangis.
"Apa alasan Ayah melakukan itu sama kamu?"
Sendi mengusap hidung. "Aku di tuduh nyuri uang Ayah satu juta. Dan itu udah sering mbak. Ayah tega banget sama aku. Sehina itukah aku dimata Ayah?" Air mata Sendi lolos, jatuh membasahi pipi.