Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab_32 Desahan di kamar Xiao Mei
Hanina terlelap dalam mimpi, tiba-tiba matanya mengerjap saat mendengar suara-suara yang mirip jeritan kecil di ikuti suara daging yang beradu, cukup keras hingga membuat tidur gadis itu terganggu.
Hanina mengusap matanya, menyingkap selimut dan bangkit dari ranjang. Kesadarannya masih belum mampu untuk menebak suara apa yang terus bergema keras hingga ke kamarnya.
Gadis itu pun membuka pintu setelah mengenakan pashmina dengan asal di kepalanya. Kakinya menuruni anak tangga dengan hati-hati dan suara-suara itu semakin keras menusuk ke telinga hingga hatinya.
Langkahnya mendadak berat, saat baru menyadari suara itu adalah suara desahan seorang wanita dan pria yang berasal dari kamar Xiao Mei.
"Ahh... Wang Lei... lebih dalam, aku hampir ahh!"
"Ahh... jangan berhenti sayang, ahh Wang Lei..ahh!"
Tubuh Hanina mematung, matanya nanar menatap pintu kamar Xiao Mei, dadanya bergemuruh hebat. Wang Lei sudah pulang dan dia berhubungan int*im di sini bersama Xiao Mei tanpa memperdulikan keberadaanya?
Hanina menutup mulut, matanya berlinang hingga akhirnya meneteskan air mata. Meski dia bukanlah siapa-siapa pria itu, tapi kenapa hatinya terasa sakit sekali?
Dia menoleh ke arah sofa, di sana ada tas yang diletakan di atas meja kaca dan jaket kulit Wang Lei yang tersampir di sandaran sofa. Dengan langkah lunglai dia mendekati.
Tangannya meraih jaket kulit itu, menciumnya untuk memastikan. Dan hatinya semakin nyeri saat mengenali harum parfum milik Wang Lei disana. Hanina terisak dalam diam, suaranya teredam suara-suara erotis yang terus menggema seolah sengaja dibuat untuk menghancurkan hatinya.
Hanina berdiri kaku, menggenggam erat jaket kulit itu di dadanya seolah menahan perih yang menusuk sampai ke tulang. Suara-suara di balik pintu Xiao Mei semakin nyaring, membuat jantungnya seakan diremas.
"Ya Allah…" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
"Kenapa harus aku yang menyaksikan ini…?" isaknya, air matanya jatuh bertubi-tubi, dadanya naik turun, sulit bernapas.
Dia menaruh jaket itu ke tempat semula, lalu pandanganya yang buram beralih ke tas Wang Lei. Penasaran, dia membuka resletingnya dengan hati-hati.
Di dalamnya, ada selendang sutra biru lembut dengan motif bunga yang sederhana bukan sesuatu yang mewah, tapi jelas dipilih dengan hati-hati. Beberapa buku novel dan banyak lagi selendang dengan warna dan motif yang berbeda. Hanina tahu ini semua jelas untuknya.
Tapi, jika Wang Lei memang datang membawa semua ini untuknya… lalu kenapa di balik pintu itu dia mendengar sesuatu yang begitu menghancurkan kepercayaannya? Apakah benar bahwa dirinya hanya akan di manfaatkan, apakah benar dia hanya akan dijadikan boneka permainan nafsunya? Dan suara erotis itu seolah menegaskan, memperingati Hanina bahwa sebentar lagi adalah gilirannya.
Hanina menggeleng, frustasi.
"Kamu jahat, lebih baik kamu bunuh aku daripada harus diperlakukan seperti ini!" pikirnya getir, menggigit bibirnya sendiri.
Suara dari kamar Xiao Mei semakin liar, semakin menusuk. Hanina buru-buru menutup resleting itu, mendorongnya dengan tangan gemetar.
Dengan sisa tenaga, dia melangkah mundur, berusaha kembali ke kamarnya tanpa menimbulkan suara, dia menunduk menutupi telinganya saat menaiki tangga.
Gadis itu meringkuk di kasurnya, menangis sejadi-jadinya.
Air matanya membasahi bantal, bahunya bergetar menahan isakan. Hanina menarik selimut hingga menutupi kepalanya, seolah ingin mengubur semua suara yang masih terngiang di telinganya, tapi semakin dia mencoba melupakan, semakin jelas suara itu menghantui benaknya.
"Aku benci kamu, Wang Lei... Kalau ini cuma permainanmu, betapa bodohnya aku... Kenapa kamu begitu jahat? kamu brengsek!"
...•<•<•Pearlysea•<•<•...
...Zhengzhou Erqi District People’s Hospital...
Wang Lei dan Chen Jie berjalan ke lorong arah parkiran. Malam itu pukul 03:20 dini hari.
Semalam setelah ribut kecil dengan Xiao Mei, Wang Lei memutuskan untuk mengantar Chen Jie ke rumah sakit dengan mobil antiknya yang disimpan di markas macan hitam, markas anak buah bos Liang.
Wanita Itu awalnya tak terima, tapi siapa dia yang bisa menghentikan Wang Lei?
Mereka berdua langsung bergegas menaiki motor masing-masing. menuju markas, mengambil mobil dan segera ke rumah Chen Jie, membawa ibunya ke rumah sakit terdekat.
Semuanya berjalan lancar dan sesuai harapan. Ibu Chen Jie cepat tertolong meski kondisinya masih kritis. Chen Jie bersyukur, kehadiran Wang Lei tepat saat dirinya membutuhkan.
Kini setelah Wang Lei membayar administrasi rumah sakit, Chen Jie mengantar sahabatnya ke parkiran mobil, sementara sang ibu di jaga adiknya.
"Aku benar-benar sangat berterima kasih, kalau tidak ada kau ibuku mungkin..." Chen Jie tak mampu melanjutkan, dia menunduk.
"Hey!" Wang Lei cepat menepuk bahunya.
"Yang penting ibumu selamat, tidak ada yang lebih berharga dari itu. Aku sudah kehilangan ibuku dan itu rasanya sakit sekali,"
Chen Jie mengangguk, sejenak mereka saling pandang sebelum akhirnya taangis Chen Jie pecah karena terharu. Dia memeluk Wang Lei, Wang Lei pun membalas dengan melingkarkan tanganya ke punggung Chen Jie, menepuk-nepuk pelan sambil membayangkan wajah ibunya yang sudah di surga. Pelukan itu seolah meluruhkan sedikit kerinduan pada wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
"Sudah... Jaga ibumu disini, aku harus cepat pulang sebelum pagi." Wang Lei melerai pelukan itu.
Chen Jie mengusap sudut matanya. Wang Lei menatapnya dengan senyum licik sambil merogoh dompet di saku celananya.
"Cengeng! sudah jangan nangis, nih aku kasih duit!" Dia mengeluarkan uang cukup banyak, menyodorkannya ke Chen Jie.
Chen Jie menatap temanya itu dengan wajah kaget sekaligus jengkel, air matanya masih membekas di pipi.
"Sialan kau, masih saja melawak. Emangnya lagi ngelucu?"
"Ehh.. Siapa yang ngelucu? Seriusan ini bayaranmu karena sudah menjaga Hanina."
Chen Jie menepis uang itu pelan. "Kau sudah bayar administrasi ibuku, itu saja lebih dari cukup, malah aku harusnya punya hutang padamu, Lei."
Wang Lei mendecak, tak berkenan dengan penolakan itu.
"Kau tahu aku orang yang tidak bisa menerima penolakan!" bentaknya seraya menyelipkan paksa uang itu saku jaket Chen Jie. Kemudian berjalan memasuki mobilnya.
Chen Jie yang tidak bisa menolak akhirnya pasrah. Saat pria itu mulai menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya keluar parkiran, Lelaki itu berteriak.
"Woy anjing rabies, sialan! Terimakasih!'
Mobil Wang Lei melaju keluar dari pelataran parkiran dengan suara knalpot antiknya yang khas, menggema di sepi malam kota Zhengzhou. Bibirnya tersenyum samar, perasaannya entah mengapa selalu tenang setiap kali membantu orang yang membutuhkan.
20 menit kemudian.
Wang Lei, tiba di markas. Mengganti mobil dengan motornya. Menuntun kendaraan itu memasuki gang hingga akhirnya sampai di depan rumah.
Dia meregangkan ototnya. Kemudian saat akan mengeluarkan kunci di saku celananya, dia mengerutkan kening. Kosong, ternyata kuncinya malah tertinggal di Chen Jie.
"Sialan, ada saja petaka malam hari," umpatnya.
Dia lalu beranjak mengetuk jendela kaca kamar Xiao Mei.
"Xiao Mei... carikan kunci cadangan di nakas ruang tamu."
Di dalam kamar Xiao Mei yang berantakan, wanita itu tengah berbaring telanjang, kaget begitu mendengar suara Wang Lei.
Dia buru buru bangkit mengenakan piyama biasa.
"Sabar sayang..." katanya, sambil merapikan rambutnya lalu menutupi lehernya yang penuh tanda merah dengan syal rajut.
"Akan segera kucarikan," jawabnya.
Sambil menunggu, Wang Lei menunduk, pandanganya tiba-tiba teralihkan pada kaca jendela Xiao Mei yang ternganga sedikit, tidak terkunci. Membuatnya menaruh curiga, seperti bekas orang yang memaksa masuk ke dalamnya.