Lucianna Forger adalah seorang pelacur di sebuah klub malam. Walaupun hidup sebagai pelacur, Luci tetap memiliki impian untuk mempunyai suami dan anak.
Malam itu ia bertemu dengan Daniel Radcliffe, orang yang dia target menjadi pelanggan selanjutnya. Setelah melalui malam yang panas di rumah Daniel. Ia malah bertemu dengan tiga anak kembar.
Luci baru saja berpikir kalau dia bermalam dengan suami orang lain. Namun nyatanya Daniel adalah seorang duda. Ini memberikan kesempatan Luci untuk mendekati Daniel.
Sulit untuk mendekati Daniel, Luci pun memilih untuk mendekati anak-anaknya terlebih dahulu.
Apakah Daniel bisa menerima Luci dengan latar belakang seorang pelacur?
__________________________________________
Yang penasaran sama ceritanya silahkan baca🙌
[Warning!! konten dewasa]
[Karya ini hanya fantasi authornya, tidak membawa hal apapun yang berkaitan agama dalam novel ini🙌]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NiSeeRINA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[PIAIT] Bab 31 : Kecurigaan dan kebohongan
Hari masih menunjukkan pukul tengah hari ketika Daniel tiba di rumah. Ia pulang lebih awal dari biasanya karena masih merasa pusing dan frustrasi dengan kegagalannya mendapatkan kerja sama dengan perusahaan besar milik Andrew. Saking kalutnya, Daniel bahkan tidak menyadari bahwa mobil Lucianna tidak ada di garasi.
"Seharusnya aku tidak perlu berangkat bekerja. Ini hanya mengotori pakaianku saja," gumam Daniel, kesal sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Para pembantu tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, seolah tidak menyadari kedatangannya.
Tanpa mengganti pakaian kerjanya, Daniel langsung merebahkan diri di atas ranjang. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan rasa pusing yang semakin menjadi-jadi. Namun, ketenangannya terganggu oleh bunyi notifikasi pesan yang masuk ke ponselnya. Dengan malas, ia meraih ponsel itu dan melihat pesan yang baru saja masuk.
Seketika, tubuh Daniel terduduk tegak. Matanya membulat melihat isi pesan tersebut. Pesan itu berbunyi: "Tuan Radcliffe, aku sudah memikirkannya. Mungkin aku bisa memberikanmu kesempatan kedua. Buatkan aku proposal baru, jika kali ini lebih baik, mungkin aku akan menerimanya."
Pesan itu singkat, namun jelas dan penuh harapan. Senyum Daniel langsung merekah melihatnya. Ia merasa seperti mendapatkan angin segar setelah dilanda kegagalan. Dengan semangat baru, ia segera berdiri dan merapikan pakaiannya. Ia bersiap untuk kembali ke kantor dan menyusun proposal yang lebih baik.
Namun, saat ia hendak melangkah menuju pintu utama, ia tiba-tiba menyadari sesuatu. "Di mana Luci?" gumam Daniel, bingung.
Biasanya, Lucianna akan menyambutnya dengan hangat setiap kali ia pulang lebih awal. Mendengar suara mobilnya terparkir saja, wanita itu pasti sudah berlari menghampirinya dengan senyuman manis. Namun, kali ini rumah terasa begitu sepi dan sunyi.
Daniel pergi ke kamar Lucianna, namun tidak menemukan keberadaannya di sana. Ia lalu menghampiri Diah, salah satu pembantu yang sedang menyapu di lantai tiga.
"Bu Diah, di mana Luci?" tanya Daniel, penasaran.
"Tadi saya lihat dia pergi keluar pagi sekitar pukul setengah sepuluh," jawab Diah sambil menghentikan kegiatan menyapunya.
"Ke mana dia pergi?" tanya Daniel, mengernyitkan dahinya.
"Tidak tahu, Tuan. Tadi pakaiannya rapi, pakai baju cokelat sama celana hitam. Mungkin ingin bertemu teman," jawab Diah berbicara seadanya.
Daniel kembali turun ke lantai satu, mengurungkan niatnya untuk kembali ke kantor. Rasa penasaran dan kekhawatiran tentang keberadaan Lucianna mengalahkan semangatnya untuk bekerja. Ia duduk di ruang tamu, memainkan ponselnya dengan gelisah. Tidak ada pesan yang ditinggalkan oleh Lucianna.
Biasanya, Lucianna selalu mengiriminya pesan, apapun itu. Bahkan hal-hal kecil dan tidak penting sekalipun. Ia akan memberitahunya jika ingin pergi keluar, meskipun hanya sebentar. Bahkan saat ia pergi berbelanja dari tukang sayur yang berjualan di depan rumah, ia akan mengiriminya foto.
Jari-jarinya gatal ingin mengetik pesan, bertanya di mana Lucianna berada. Akan tetapi, selama ini ia tidak pernah mengirim pesan duluan kepada Lucianna. Ia hanya akan mengirim pesan jika itu berkaitan dengan anak-anak.
Seharusnya, Daniel bisa langsung pergi ke kantornya saja dan fokus pada proposal baru yang harus ia buat. Namun, entah mengapa kepergian Lucianna tanpa kabar ini membuatnya merasa tidak tenang. Kakinya terasa terpaku, tidak bisa beranjak dari duduknya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak beres.
......................
Satu jam berlalu, namun Daniel masih terpaku di tempatnya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, kakinya menyilang, dan mengetuk-ngetukkan sepatu pantofelnya setiap detik. Kegelisahan dan kekhawatiran masih menyelimuti hatinya.
Tiba-tiba, suara mobil terparkir di garasi memecah keheningan. Daniel tahu itu adalah mobil Lucianna, namun ia tetap diam, tidak beranjak dari tempat duduknya. Alisnya semakin menajam ke bawah, menandakan kemarahannya yang tertahan. Namun, di balik kemarahan itu, hatinya merasa sedikit tenang karena Lucianna akhirnya pulang.
Suara sepatu hak terdengar berlari memasuki rumah. Lucianna menyadari kepulangan Daniel saat melihat mobilnya sudah terparkir di garasi. Ia ingin segera berlari ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian, namun ia terkejut melihat Daniel sedang duduk di ruang tamu. Suasana ruang tamu itu terasa berbeda dari ruangan lainnya, seperti ada aura dingin yang terpancar dari Daniel.
Dengan langkah pelan dan hati-hati, Lucianna berjalan mendekati Daniel sambil menampilkan senyum cerianya seperti biasa. Ia tidak ingin Daniel tahu kalau dia pergi bertemu Andrew, untuk membantu pekerjaannya.
Daniel ikut berdiri dari duduknya. Dengan langkah pelan namun pasti, ia berjalan mendekati Lucianna. Setiap ketukan sepatunya di lantai terasa begitu mengintimidasi, membuat jantung Lucianna berdebar semakin kencang.
Lucianna meneguk salivanya, merasakan firasat buruk yang semakin kuat. "Kau sudah pulang?" sapanya berusaha ceria, berharap dapat mencairkan suasana yang tegang.
Daniel tidak menjawab sapaan Lucianna. "Dari mana kau?" tanyanya balik, nadanya dingin dan menusuk.
"Aku hanya pergi bertemu teman," jawab Lucianna sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai melandanya.
Daniel menatapnya dengan tatapan menyelidik, seolah berusaha membaca pikiran Lucianna. "Bu Diah bilang kau pergi dengan baju cokelat dan celana hitam, kenapa sekarang memakai gaun berwarna merah muda? Apakah kau harus bergganti pakaian saat bertemu teman biasa?" tanyanya, curiga.
Lucianna sedikit membelalakkan matanya, merasa panik karena Bu Diah menjelaskan penampilannya secara mendetail kepada Daniel. "T-tadi aku makan siang bersama, bajuku ketumpahan minuman jadi aku ganti pakaian milik temanku," elak Lucianna, semakin gugup.
Sebenarnya, pakaian Lucianna terpaksa diganti karena celananya sobek akibat ulah Andrew yang tidak sabaran. Untungnya, masih ada gaun Lucianna yang tertinggal di rumah Andrew. Namun, ia tidak menyangka bahwa hal itu justru akan membuat Daniel curiga padanya. Daniel memang sangat teliti dan memperhatikan hal-hal kecil, membuatnya semakin ragu untuk berbohong.
"Eee, kau sudah makan siang? Aku sangat lapar. Ayo kita makan!" Lucianna berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menarik tangan Daniel, mengajaknya menuju ruang makan.
"Bukannya tadi kau bilang, kau sudah makan bersama temanmu?" sindir Daniel, membuat Lucianna semakin terpojok.
'Astaga, Lucianna Forger! Mulutmu ceroboh sekali,' batin Lucianna sambil menepuk mulutnya pelan, menyesali kebodohannya.
"Aku belum kenyang. Tadi gara-gara ketumpahan minuman, aku jadi gak begitu nafsu makan. Sudahlah, aku mau ganti baju dulu," Lucianna mencoba melepaskan diri dari situasi yang tidak mengenakkan ini dengan berbalik, berniat meninggalkan Daniel.
Namun, Daniel dengan cepat menarik tangan Lucianna, membuat wajah mereka begitu dekat hingga hampir membuat bibir mereka bertabrakan. Lucianna dapat merasakan hembusan napas Daniel yang hangat menerpa wajahnya, membuatnya semakin gugup dan salah tingkah.
"Kau tidak pergi ke bar itu lagi kan?!" tanya Daniel, nadanya mengancam.
"Tidak mungkin, bar hanya buka saat malam," jawab Lucianna, sedikit membela diri.
"Bagaimana dengan pelangganmu? Walaupun kau sudah tidak bekerja di Bar itu, kau masih menyimpan kontak-kontak pelangganmu, kan?!" tanya Daniel lagi, mencengkeram tangan Lucianna semakin erat. Cengkeramannya terasa seperti borgol yang membakar lengan Lucianna, membuatnya merasa takut dan terancam.
Lucianna, yang sudah merasa kesal dengan intimidasi Daniel dan lelah berbohong, menghempaskan tangannya dengan kasar, melepaskan cengkeraman Daniel dari lengannya. "Memangnya kenapa kalau aku bertemu pelangganku?!" tantangnya, suaranya meninggi.
"Jadi kau benar-benar bertemu dengan pelangganmu!" seru Daniel, terkejut dan tidak percaya. Ia tidak menyangka bahwa dugaannya benar.
"Ini semua karena kau, tidak ingin tidur denganku!" kini giliran Lucianna yang tampak kesal dan menyalahkan Daniel atas tindakannya.
"Hanya karena keinginanmu untuk tidur?!" tanya Daniel, tidak percaya.
"Iya!" jawab Lucianna tegas. Ia tidak ingin memberitahu Daniel tentang niat aslinya. Ia tidak ingin membuat Daniel merasa dikasihani, jadi ia memilih untuk menyembunyikan kebenaran yang sebenarnya.
Daniel mengusap wajahnya kasar, merasa frustrasi dan tidak berdaya. "Luci, aku sudah bilang hentikan sifat melacurmu itu! Apa gajimu tidak cukup sebagai pengasuh?! Kau bisa berfoya-foya dengan uang itu daripada meniduri pria-pria itu lagi!" geramnya, putus asa.
"Aku butuh lebih dari nafkah uang, aku juga butuh nafkah batin," jawab Lucianna, sinis. Ia merasa jijik dengan ucapannya sendiri, seolah-olah ia adalah orang yang gila akan seks.
"Luci..." Daniel tidak mampu mengatakan apa pun lagi. Ia merasa bahwa teguran apa pun yang ia berikan tidak akan bisa menyadarkan Lucianna.
Lucianna berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Daniel yang terpaku di tempatnya. Ia tidak ingin Daniel mengajaknya berbicara lebih jauh, karena ia takut akan kebohongannya akan terbongkar. Sementara Daniel hanya bisa melihat tubuh Lucianna yang semakin menjauh darinya, merasa kecewa sekaligus kesal.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Bersambung...