Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memilih Jalannya Sendiri
Indra tetap keberatan dengan keputusan Jihan yang menurutnya sepihak. Dia yakin kalau Yuna akan baik-baik saja.
“Bu, saya hargai perhatian Ibu… tapi Yuna anak saya. Keputusan pergi atau tidak, tetap ada di tangan saya.” Suara Indra terdengar kaku, mencoba menahan emosi.
Eyang Jihan berdiri tegak, menatap menantunya dengan sorot mata tajam yang penuh wibawa.
“Indra, jangan egois. Yuna butuh penanganan lebih dari sekadar rumah sakit ini. Di Singapura ada fasilitas yang jauh lebih baik. Lagipula apa kamu bisa menjamin bahwa anak perempuan itu tidak akan berulah lagi pada Yuna...”
Rizal yang sedari tadi duduk di sisi ranjang, langsung menimpali.
“Saya setuju dengan Eyang.” Yang paling penting bagi Rizal, Yuna bisa keluar dari keluarga toxicnya, sebelum akhirnya Rizal menikah dengan Yuna.
“Kamu nggak usah ikut campur, Rizal. Kamu hanya tunangan Yuna.” Indra mendengus, tatapannya beralih tajam ke Rizal.
“Saya memang hanya tunangannya! Tapi saya punya hak untuk tahu dan menentukan apa yang terbaik untuk Yuna!”
Suasana memanas, hampir kembali pecah. Jihan melangkah maju, mencoba menengahi.
“Cukup. Jangan bertengkar di sini. Kalian sendiri lihat tadi, Yuna bisa mendengar. Mau kalian bikin dia semakin tertekan?”
Namun Indra tak bergeming, suaranya bergetar menahan emosi.
“Indra, kamu boleh jadi ayahnya, tapi aku juga neneknya. Yuna cucuku. Dan aku tidak akan tinggal diam melihat dia terbaring tanpa kepastian. Kalau kamu menolak, aku sendiri yang akan membawanya pergi.”
“Jangan coba-coba, Bu!” Indra melangkah maju, wajahnya memerah.
“Kalau Anda berani membawa Yuna tanpa izin saya, jangan salahkan kalau hubungan kita akan benar-benar putus!”
Tiba-tiba, bulir bening kembali mengalir dari mata Yuna. Semua orang menoleh, terdiam, melihat air mata itu jatuh di pipinya.
Eyang Jihan langsung memegang tangan cucunya erat.
“Lihatlah… bahkan tanpa kata pun, Yuna sudah bicara. Dia mendengar kita. Dan dia pasti terluka karena sikap kita.”
Rizal menunduk, matanya ikut berkaca-kaca. Raden menghela napas berat, lalu menepuk bahu ayah Yuna.
“Cukup! Yuna butuh ketenangan, bukan pertengkaran.” Sentak Raden.
Indra terdiam, rahangnya mengeras. Sementara Jihan tetap menatapnya dingin, tidak ada tanda menyerah.
*****
Yuna ingin perdebatan itu tidak berlangsung lama. Tapi sebelum membuka mata, Yuna diam, ia memilih untuk merasakan keadaan di sekelilingnya.
Aroma mawar yang pekat, ia tahu itu Jihan. Wangi citrus yang menenangkan, itu Rizal. Bau tembakau samar, milik Indra. Dan ada wangi gaharu halus, milik Raden.
Mereka nggak akan berhenti berdebat soal aku. Batinnya getir.
Kepalanya sedikit bergerak, cukup untuk membuat Rizal yang duduk paling dekat langsung sigap. Lelaki itu mendekat, menunduk dengan mata penuh harap.
“Yuna… kamu dengar mas kan? Kamu sudah sadar, kan?” Suaranya lirih, seperti takut kalau Yuna akan kembali tenggelam.
Pelan-pelan, Yuna membuka matanya. Kegelapan membuatnya terpaku, tapi ia memaksa menatap Rizal. Sebuah senyum tipis muncul di wajah pucatnya.
“Mas kamu disini?” Bisiknya pelan.
Rizal menghela napas lega, lalu menggenggam tangannya erat.
“Syukurlah… syukurlah, kamu udah sadar.”
Indra yang melihat itu segera ikut melangkah maju. Wajahnya diliputi rasa bersalah bercampur rindu.
“Yuna, Papi di sini. Kamu nggak perlu khawatir lagi.. ”
Namun, sebelum Indra sempat meraih tangannya, Yuna lebih dulu memanggil neneknya. Dia tahu bahwa Jihan ada di sebelah kirinya, jadi dia menoleh padanya.
“Eyang?”
"Hmmm... Eyang disini, kamu butuh apa?"
"Apa aku boleh ikut Eyang pulang?"
Pertanyaan Yuna menghentikan langkah Indra. Rizal terperanjat, sementara Jihan spontan menatap cucunya dengan mata berkaca-kaca.
“Tentu sayang...” Jihan mendekat, menggenggam tangan cucunya.
“Benarkah itu yang kau mau?”
Yuna menoleh sedikit, seolah menatap sang nenek dengan sorot penuh keyakinan.
“Aku ingin bersama Eyang.”
Indra terdiam, wajahnya memucat. Kata-kata putrinya terasa seperti cambuk yang menyayat hatinya. Yuna mungkin kecewa, lantaran selama ini dia adalah ayah yang abai dari setiap keluhan yang dia bicarakan.
"Papi bisa merawat kamu sayang. Papi yakin semua akan baik-baik aja." Bujuk Indra.
Yuna hanya menggeleng kecil.
Raden yang berdiri di sudut ruangan memperhatikan semuanya dengan tatapan dalam, nyaris seperti bisa membaca lapisan lain dari apa yang Yuna rasakan.
Hening menekan ruangan, hanya suara detak monitor yang terdengar. Untuk pertama kalinya, semua orang menyadari, Yuna sudah memilih jalannya sendiri.
Indra masih terdiam, wajahnya menegang. Napasnya berat, seakan kata-kata Yuna tadi memukul dadanya hingga sulit bernapas.
Di sisi ranjang, Rizal yang masih menggenggam tangan Yuna menatap lekat ke arah gadis itu. Lalu, tanpa ragu, ia berkata dengan suara tenang tapi penuh ketegasan.
“Kalau itu pilihanmu… mas mendukung sepenuhnya.”
Semua mata langsung beralih padanya. Indra menoleh tajam, seakan tak percaya dengan keberanian Rizal.
Namun Rizal tidak gentar. Tatapannya tetap pada Yuna, lalu beralih sebentar pada Jihan.
“Yang terpenting sekarang adalah apa yang Yuna inginkan."
Jihan menatap Rizal dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Senyum tipis terukir di bibirnya, seolah menemukan sekutu yang selama ini ia harapkan.
Sementara itu, Yuna hanya diam, genggamannya pada tangan Rizal sedikit menguat. Senyum samar muncul, meski air matanya kembali mengalir. Itu cukup menjadi jawaban bagi semua orang.
Raden, yang sejak tadi hanya mengamati, akhirnya angkat bicara. Suaranya datar tapi sarat makna.
“Aku rasa… untuk sekali ini, kita harus mendengar Yuna. Kalau tidak, semua perdebatan ini hanya akan melukai dia lebih dalam.”
Indra mengepalkan tangan. Amarahnya jelas, tapi ada juga rasa kalah yang perlahan merambat. Tatapannya beralih pada putrinya, lalu pada mantan mertuanya. Helaan napas berat keluar, namun ia tak mampu berkata apa-apa lagi.
Tiba-tiba pintu ruang perawatan VVIP itu terbuka tiba-tiba. Suara langkah tergesa, disusul nada tinggi yang sudah sangat dikenali Indra.
“Aku cari kamu ke mana-mana, Mas! Ternyata nongkrong di sini!” Suara Sania langsung memenuhi ruangan.
Semua kepala menoleh, termasuk Jihan yang berdiri di sisi ranjang, Rizal yang masih menggenggam tangan Yuna, juga Raden yang bersandar di dinding.
Indra menegakkan tubuhnya, wajahnya seketika menegang.
“Sania… jangan ribut di sini. Yuna baru saja sadar.”
Tapi Sania justru mendengus, menaruh tasnya keras-keras di kursi.
“Baru sadar? Terus, Nadine gimana? Dia sekarang ada di ruang CT scan, kepalanya katanya sakit! Mas malah enak-enakan di sini sama dia!”
Nada suaranya sengaja ditekan, jelas ingin melukai. Rizal mendengus pelan, berusaha menahan diri, sementara Jihan langsung melipat tangan di depan dada, menatap Sania tajam.
“Kalau anakmu benar-benar sakit, apa kamu pikir dokter akan membiarkannya sendirian? Jangan lebay.” Suara Jihan datar tapi penuh wibawa.
Sania melotot.
“Lebay?! Ibu jangan seenaknya menilai! Nadine itu terluka karena Yuna. Kalau bukan karena dia...”
“Cukup!” Indra menepuk meja kecil di samping ranjang, membuat semua orang terdiam sejenak. Suaranya berat, jelas sedang menahan amarah.
“Sania, jangan bawa-bawa cerita yang tidak benar. Aku sudah dengar laporan dokter, Nadine cuma lecet ringan dan tangannya pun hanya terkilir. CT scan itu karena dia sendiri yang mengeluh, bukan karena ada indikasi parah. Jadi, jangan buat seolah-olah Yuna yang bersalah.”
Sania membelalakkan mata, tak menyangka suaminya membela Yuna terang-terangan. Ini pertama kalinya. Bibirnya bergetar, ingin membalas, tapi tatapan Indra yang tegas membuat kata-katanya tertahan.
Rizal, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara pelan tapi penuh ketegasan.
“Kalau boleh saya tambahkan, tante… Yuna hampir kehilangan nyawanya. Jadi kalau tante datang ke sini hanya untuk mengomel, lebih baik keluar. Yuna butuh ketenangan, bukan keributan.”
Suasana mendadak hening. Sania menoleh tajam ke Rizal, tapi ia tak sanggup membalas, apalagi tatapan Jihan dan Raden kini ikut menekannya.
Sania mendengus keras, meraih tasnya kembali. Ia berbalik cepat, meninggalkan ruangan dengan suara hak sepatunya yang memantul keras di lantai koridor.