Luka Dari Suami, Cinta Dari Mafia

Holdes menatap wajah istrinya yang memerah diterangi cahaya lampu redup. Senyumnya hangat, namun di matanya ada kilau hasrat yang tak bisa lagi ia sembunyikan. Dengan lembut ia menunduk, bibirnya menyapu bibir Janetta, perlahan tapi dalam, membuat istrinya larut dalam ciuman yang penuh kasih.

Janetta merasakan debar jantungnya semakin kencang. Tangannya refleks melingkar di leher suaminya, menariknya lebih dekat. Ia membalas ciuman itu dengan pasrah, membiarkan dirinya terbawa arus perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Setiap sentuhan Holdes begitu lembut, seolah ia takut melukai wanita yang kini sah menjadi miliknya. Jari-jarinya menelusuri wajah dan rambut Janetta, lalu turun ke bahu, melepaskan satu demi satu lapisan pakaian dengan penuh kesabaran. Ia berhenti sejenak, menatap mata istrinya, seakan meminta izin.

Janetta mengangguk pelan, wajahnya memerah, namun matanya menunjukkan kepercayaan. “Aku milikmu, Holdes… dan aku ingin kau menjadi milikku juga," bisiknya lirih.

Ucapan itu membuat hati Holdes bergetar. Ia mencium kening Janetta," Aku hanya milikmu."

lalu kembali melumat bibirnya dengan penuh gairah. Malam itu, tubuh mereka saling merapat, saling mencari kehangatan, saling melengkapi dalam sebuah irama yang hanya mereka berdua yang tahu.

Malam itu, mereka berdua benar-benar menyatu. Bukan hanya sebagai suami dan istri, tetapi juga sebagai dua jiwa yang menemukan rumahnya masing-masing.

Dan di balik tirai malam, dengan saksi hanya bulan dan bintang, Holdes dan Janetta menghabiskan malam pengantin mereka dalam cinta yang pertama, suci, dan tak terlupakan.

Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam.

Holdes duduk di ruang kerjanya dengan jubah tidur, bagian depannya terbuka, menampakkan tubuhnya yang berotot. Wajahnya serius saat berbicara melalui sambungan telepon dengan seseorang di seberang sana.

“Tidak peduli dia masih hidup atau sudah mati, tetap harus kau temukan,” perintah Holdes dengan suara dingin. “Kalau dia mati, temukan juga mayatnya. Cari tahu semua orang yang pernah berhubungan dengannya!”

“Baik, Bos. Menurut informasi dari tetangganya, Jones Lin telah mengusir anak dan istrinya bertahun-tahun lalu. Setelah itu, tidak ada seorang pun yang pernah melihat mereka lagi. Sementara itu, dia sendiri tetap fokus pada bisnis ilegalnya. Dia sering membawa wanita lain ke rumah. Namun, dua tahun terakhir dia seakan menghilang. Hingga sekarang, kami belum bisa menemukan jejaknya maupun anak buahnya,” lapor pria di seberang.

“Apakah dia terlibat perseteruan dengan kelompok lain?” tanya Holdes.

“Ya, Bos. Beberapa tahun lalu dia terlibat baku tembak dengan kelompok Elang Hitam. Banyak korban jatuh dari kedua belah pihak. Namun, Jones Lin sendiri masih selamat. Anak buah kami juga sedang berusaha melacak wanita-wanita yang pernah berhubungan dengannya.”

Holdes mengernyit. “Lalu bagaimana dengan istri dan anaknya? Apakah ada yang tahu lokasi mereka sekarang?”

“Tidak ada, Bos. Dua puluh tahun lalu mereka diusir. Saat itu anak laki-lakinya baru berusia empat tahun. Sejak itu mereka menghilang tanpa jejak. Kasihan juga, mereka tidak pernah terdengar lagi.”

Holdes mengetukkan jarinya ke meja, wajahnya kelam. “Seorang Jones Lin, hidup tanpa hati dan perasaan. Memiliki seorang anak laki-laki adalah kebanggaan semua mafia. Tapi dia malah mengusir darah dagingnya sendiri.”

Ia menarik napas panjang, lalu kembali memberi perintah, “Teruskan pencarian Jones Lin. Aku ingin dia ditemukan, hidup atau mati.”

“Baik, Bos,” jawab pria itu, lalu sambungan telepon terputus.

Keesokan harinya.

Bowie masuk ke ruang kerja dengan membawa sebuah map tebal. Holdes yang sedang duduk santai di sofa menyilangkan kaki, menatap sekilas ke arah bawahannya.

“Bos, data mengenai kedua orang tua Nyonya sudah ditemukan,” ucap Bowie sambil menyerahkan map tersebut.

Holdes membuka map itu perlahan, matanya menyisir setiap baris informasi dengan seksama.

“Bos, kenapa tiba-tiba Anda ingin menyelidiki latar belakang mereka?” tanya Bowie ragu. “Apakah sejak awal mereka mencurigakan?”

Holdes menutup map itu dengan tenang, lalu menatap Bowie.

“Bukan mereka yang kucurigai… tapi Janetta.”

Bowie mengerutkan kening. “Menurut laporan, kedua orang tuanya adalah orang biasa. Ayahnya seorang pensiunan dosen, sedangkan ibunya guru di sekolah dasar. Tidak ada yang mencurigakan dari mereka.”

Holdes mengetukkan jarinya di atas map. “Apakah mereka punya riwayat di rumah sakit?”

Bowie terdiam sejenak, lalu menjawab, “Saya belum menemukan datanya, Bos. Tapi saya akan melanjutkan penyelidikan sampai ke rekam medis mereka.”

Holdes hanya mengangguk tipis, tatapannya penuh perhitungan.

“Lakukan. Aku ingin tahu semua detail, sekecil apa pun, bahkan jika itu terlihat sepele.”

“Baik, Bos,” jawab Bowie, membungkuk hormat sebelum bergegas keluar ruangan.

"Janetta, maafkan aku karena diam-diam menyelidiki tentangmu," batin Holdes.