Karena merasa iba melihat para lansia yang ia jaga dan rawat di Panti Jompo yang dikelolanya, Mariyati ingin menghukum semua keturunan para orang tua itu. Para lansia itu hidup seorang diri hingga tiada, tanpa ada sanak keluarga yang menemani sampai mereka semua dijemput ajal.
Demi membalaskan rasa kecewa para orang tua yang dulu ia rawat di Panti Jompo itu, Mariyati rela bersekutu dengan para iblis dari alam kegelapan. Ia membuat beberapa keturunan para lansia itu, untuk membayar semua perlakuan orang tua mereka, pada Nenek atau Kakek mereka. Dengan cara menumbalkan nyawa para cucu atau cicit dari lansia itu. Akankah Mariyati berhasil menumbalkan nyawa keturunan para lansia yang dulu ia rawat. Karena dengan menumbalkan nyawa keturunan para lansia itu, Nenek atau Kakek mereka dapat kembali hidup. Apakah Mariyati berhasil menjalankan niatnya itu? Baca kelanjutan ceritanya yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novi putri ang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 MENCARI INFORMASI.
Mariyati hanya diam di tempatnya berdiri, ia fokus menatap pada pak Kirun yang duduk di atas delman. Namun saat Sintia mengedipkan mata, nampak Mariyati sudah tak ada disana. Sintia mengucek kedua mata untuk memastikan penglihatannya baik-baik saja.
"Lu kenapa Sin, kok kayak habis lihat setan gitu?"
"Ta tadi gue lihat bu Mariyati di depan sana Wid. Emangnya lu gak lihat tadi?" Sintia bicara gagap dengan menunjukan jari ke depan delman.
"Ngarang aja lu Sin, gak ada siapa-siapa di depan. Udah yuk pak, kita jalan ke pasar sekarang. Ayam hitam udah dapat tinggi beli bahan buat makanan pokok, sayuran dan lauk-pauk. Eh iya belanja buat bahan sesajen yang diminta bu Mariyati juga." Celetuk Widia seraya membaca daftar belanjaan.
Pak Kirun hanya menganggukkan kepala tanpa kata. Sintia mengaitkan kedua alis mata, ia merasa yakin jika melihat Mariyati ada di depan delman. Akhirnya Sintia kembali membahas hal yang sama, dan pak Kirun hanya diam. Hanya terdengar suara kecilnya. Di dalam hati pak Kirun bertanya-tanya, sebenarnya bagaimana Sintia bisa melihat jiwa Mariyati. Padahal setahunya Sintia tak bisa melihat makhluk gaib. Karena itulah pak Kirun berpura-pura tak melihat Mariyati.
"Dek Sintia ini bagaimana, jelas-jelas tak ada siapa-siapa tadi. Lagipula bu Mariyati kan di Panti, bagaimana mungkin bisa nyusul kesini." Jawab pak Kirun tak mengatakan yang sebenarnya.
"Iya nih Sintia, jangan nakutin deh. Gue jadi inget sepasang mata yang melototin gue di bangunan kosong tadi!" Widia bergidik terbayang sosok yang membuatnya merinding.
"Masak sih pak saya salah lihat? Kirain saya, pak Kirun juga lihat. Soalnya tadi berhenti lama banget disana." Sintia menggaruk kepala yang tak gatal, merasa bingung dengan keadaan.
"Tadi saya nunggu mobil yang mau belok dek, makanya gak jalan dulu."
Pak Kirun merasakan aura berbeda yang dimiliki Sintia. Namun ia kurang peka, dan tak mengasah bakat, sehingga ia tak bisa memiliki bakat khusus melihat hal gaib. Saat pak Kirun membalikkan badan, ia dapat membaca pesan dari nek Siti, yang tersirat dari kedua mata Sintia. Meskipun pak Kirun mau membantu, nyatanya ia tak berdaya dengan sumpahnya. Ia berkali-kali menghela nafas, merasa sia-sia sudah belajar ilmu tapi tak bisa menggunakannya untuk membantu orang lain. Sebenarnya pak Kirun berguru di tempat yang sama dengan Mariyati dan Mbah Gito. Namun ia memilih mengamalkan ilmunya untuk hal-hal yang positif. Meski ia sempat kehilangan anaknya, karena terdampak ilmu hitam yang dimiliki orang terdekatnya. Nyatanya pak Kirun masih berusaha bersikap baik, dan membalas dendam.
"Dek sudah sampai pasar, nanti saya tunggu di tempat biasanya."
"Tempat biasanya itu dimana pak?" Tanya Widia menoleh ke berbagai arah.
"Udah gue tau kok, yuk masuk ke dalam." Jawab Sintia seraya menarik tangan Widia.
Di dalam pasar yang ramai pembeli, ia mendengar selentingan dari orang-orang. Jika beberapa hari yang lalu, ada polisi yang sedang mengantarkan seorang pengusaha kaya mencari anaknya yang hilang. Dan mereka heran kenapa anak sebesar itu bisa hilang.
"Katanya udah kuliah di Jakarta, tapi tiba-tiba hilang gak pulang ke rumah udah satu bulan. Waktu dilacak gps hape nya, lokasi terakhir katanya di sekitar daerah ini. Makanya saya wanti-wanti ke anak saya yang kuliah di Kota, supaya lebih hati-hati. Takut kejadian yang sama ke anak saya." Celetuk seorang penjual ke pembelinya.
Sintia dan Widia mendengar percakapan kedia ibu-ibu itu. Keduanya saling bertatapan, dan merasa apa yang sedang dibicarakan mereka mirip dengan jalan hidup yang mereka alami.
"Tapi kan keluarga kita tau dimana kita Sin, jadi ya gak mirip sepenuhnya. Tapi siapa ya mahasiswa yang hilang itu. Emang ada ya yang kerja lapangan di daerah terpencil ini selain kita?"
"Bentar deh Wid, gue tanya ke ibu penjualnya. Gue juga keppo setelah denger ceritanya."
Sintia memberanikan diri untuk bertanya, namun si ibu penjual mengaku tak tau wajah orang yang hilang itu.
"Emang gak dikasih selebaran bu? Atau mungkin ibu sempat lihat foto orangnya?"
Si ibu menjelaskan jika tak menerima selebaran, ataupun melihat foto orang yang hilang tersebut. Karena ia mendengar kabar itu juga dari tetangganya yang ada di rumah.
"Lu ngapain nunjukkin foto Beni?" Ucap Sintia terkejut membuka mulutnya lebar.
"Ssst diem dulu deh Wid!"
"Jadi gini bu, ini teman kuliah saya. Namanya Beni, udah ada seminggu dia balik ke Jakarta. Kali aja mahasiswa hilang yang ibu ceritain tadi adalah teman saya. Karena saya gak pegang ponsel, jadi ibu simpan aja pas foto nya. Kalau ada kabar, atau ibu tau sesuatu tolong kasih tau saya." Imbuh Sintia seraya menyerahkan selembar pas foto Beni.
"Kalau gak pegang ponsel, gimana saya kasih tau ke adek?"
"Hmm gini aja bu, saya minta nomor ponselnya. Biar saya aja yang telepon ibu, atau kalau gak pas saya kebetulan belanja ke pasar, nanti saya mampir ke toko ibu."
Sintia sudah sepakat dengan ibu penjual tadi. Lalu ia kembali melanjutkan kegiatannya untuk berbelanja. Widia masih membahas, kenapa Sintia sampai berpikiran jika orang yang hilang itu adalah Beni. Karena mereka semua tau, jika Beni sudah pergi dari Panti Jompo Muara Hati.
"Pergi dari Panti, bukan berarti Beni udah sampai dengan selamat di Jakarta kan Wid? Emang siapa yang bisa ngejamin kalau orang hilang itu bukan Beni teman kita. Makanya gue kasih pas foto Beni, supaya kita bisa dapat info dari luar Panti."
Widia manggut-manggut dengan mengaitkan kedua alis mata.
"Kok lu bisa mikir sampai sana sih Sin? Mana lu bawa pas foto Beni segala lagi. Lu diem-diem suka ya sama Beni?" Widia menyipitkan mata di depan Sintia.
"Ngawur aja lu kalau ngomong! Kebetulan gue simpen pas foto kita berenam, terakhir sebelum kita ke Panti kan ada tugas kelompok. Nah kalian kan pada ngumpulin pas foto ke gue, nah tadi gue baru inget kalau ada foto Beni di dalam tas ransel gue. Makanya jangan fitnah kalau ngomong, biar gak ada salah paham tauk!" Jelas Sintia seraya menoyor lengan Widia.
"Oke oke sorry gue lupa Sin." Widia cengengesan seraya menghitung sisa uang belanja.
Mereka menuju ke kios penjual bunga, dan dupa. Lagi-lagi si penjual heran, melihat anak muda seperti mereka membeli barang-barang klenik macam itu.
"Sebenarnya saya seneng ada pembeli yang ngelarisin dagangan. Tapi kok ya penasaran, adek-adek ini masih muda kok beli beginian buat acara apa?"
"Kurang paham bu, ini titipan ibu pengelola Panti soalnya." Kata Widia seraya menyerahkan beberapa lembar uang.
"Panti yang mana dek? Saya asli orang sini, perasaan disini gak ada Panti Asuhan deh."
"Bukan Panti Asuhan bu, tapi Panti Jompo Muara Hati. Itu loh yang bangunannya khas peninggalan jaman Belanda." Pungkas Sintia ikut menjelaskan.
Nampak raut wajah si penjual bunga terkejut, ia buru-buru mengembalikan sisa uang pada Widia. Dan menyerahkan bungkusan belanjaan tanpa berkata apa-apa. Sintia masih berdiri di tempatnya, ia mengaitkan kedua alis mata melihat reaksi aneh si penjual bunga.
"Kenapa reaksi ibu ini begitu ya, apa yang salah dengan Panti Jompo Muara Hati. Apa lebih baik aku bertanya padanya ya?" Batin Sintia di dalam hatinya.
padahal cuma baca tapi panas dingin nya beneran cok