Operator Hati Barata

"Semuanya sudah siap?"

"Siap Pak!"

"Baiklah, Tata ikut dengan Pak Bara. Biar eksavator mu Bang Rahmat yang bawa."

Agatha hanya mengangguk patuh, jujur hari ini dia sedang malas membawa mesin penggaruk itu. Bersyukurlah Ikhsan menyuruh dia untuk ikut bersama Barata, setidaknya dia bisa mengistirahatkan hati ,pikiran dan raganya.

"Ayo semuanya kekendaraan masing masing, kita akan berangkat mumpung masih siang!"

Ada sekitar 10 orang yang ikut ke lokasi yang akan mereka garap besok pagi itu. Untung saja Rahmat membawa istrinya karena istrinya itu akan menjadi tukang masak beberapa waktu kedepan, jadi Agatha bukan wanita satu satunya yang ada disana.

Perjalanan menuju area baru itu cukup memakan waktu, perjalanan mereka bisa menghabiskan waktu hampir 2 jam perjalanan. Bukan karena lokasi lumayan jauh namun jalan menuju area itu masih terkesal terisolir dari jalan aspal.

"Kalau kamu ngantuk tidur saja."

Agatha yang baru saja memasang sabuk pengamannya hanya menghela nafasnya pelan, gadis itu pun terlihat menganggukkan kepalanya.

Dua buah mobil Strada hitam yang ada didepan mobil Strada yang tengah dikendarai oleh Bara perlahan meninggalkan lokasi camp dan kantor pertambangan.

Alunan lagu pop dari Indonesia dan manca negara menemani perjalan mereka berdua. Bahkan sesekali Bara bergumam ikut menyanyikan beberapa lagu asing yang sering dia dengar.

"Kamu yakin mau ikut menginap disana?"

Agatha yang sedari terdiam dan mengarahkan pandangannya keluar jendela mobil menoleh sekilas pada Bara yang tengah mengendarai mobilnya dengan santai. Bahkan pria itu malah tengah mengetuk ngetukan jari jari panjang dan putih mulusnya itu pada stir mobil.

Lihatlah jari jari panjang mulus serta putih itu, bahkan Agatha sedikit insecure pada saat mereka berdekatan seperti ini. Bisakah pria itu sedikit saja membagi warna putih kulit miliknya untuk Agatha.

"Saya sudah terbiasa menginap di hutan, justru pertanyaan yang Pak Bara tanyakan harusnya Pak Bara yang menjawabnya. Pak Bara yakin mau ikut menginap disana?"

Barata tersenyum tipis pada Agatha yang tengah menatap ragu pada keberaniannya. Ayolah walaupun Bara tidak seberani Agatha pada hewan liar, dia juga tidak sepengecut itu.

"Yakin dong, kamu gak lihat wajah saya sudah seyakin ini."

Sudut bibir Agatha berkedut geli melihat wajah Bara yang sangat jauh dari kata yakin.

"Disana susah air loh Pak, jangankan untuk mandi untuk minum saja kita harus meminta pada warga sekitar. Kita mandi juga tidak akan sesering seperti biasanya, bahkan kita akan mandi di sungai bukan seperti dikamar mandi yang ada di rumah mewah milik Pak Bara."

Kedua mata hitam Bara mengerejap mendengar ucapan gadis yang ada disebelahnya. 'Mandi di sungai?' dua kata itu sangat membuat mendoktrin otak tampan bara.

Perlahan sudut bibirnya terangkat, entah apa yang tengah dibayangkan oleh pria bermanik mata hitam legam itu.

"Kulit Pak Bara yang putih mulus itu juga bisa kusam dan gosong seketika karena tidak perawatan saat kita sampai disan..,"

"Serius kita mandi di sungai? kamu sama aku, kita mandi bareng?"

Wajah Agatha berubah dingin mendengar ucapan Barata, apa lagi saat melihat senyuman penuh misteri yang sedang ditunjukannya. Agatha menggeserkan tubuhnya agar semakin merapat kearah pintu mobil melihat seringai kecil Barata.

"Kenapa gak dijawab? serius kita bakal mandi bareng di sungai nanti. Kalau begitu aku gak masalah kalau harus mandi sehari 7 kali asalkan mandinya sama kamu."

Kedua mata Agatha melotot, pria yang ada disebelahnya memang sudah tidak waras. Sedangkan Barata pria itu malah tertawa melihat wajah tidak bersahabat yang ditunjukan oleh Agatha padanya. Sepertinya menggoda gadisnya adalah hobi terbarunya saat ini.