Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran Arjuna
Cahaya matahari pagi yang menerobos masuk melalui celah tirai jendela terasa seperti jarum yang menusuk-nusuk kelopak mata Arjuna. Pria itu mengerang pelan. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ada ribuan palu yang sedang menghantam tengkoraknya dari dalam. Efek alkohol dan entah obat apa yang tercampur di minumannya semalam kini menagih bayarannya. Rasa pening itu begitu menyiksa hingga membuat perutnya mual.
Arjuna mencoba bergerak, berniat memijat pelipisnya, namun dia merasakan beban berat menindih lengan kirinya. Dia membuka mata dengan susah payah, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan pandangan yang masih kabur.
Saat penglihatannya mulai fokus, jantung Arjuna serasa berhenti berdetak selama sedetik.
Di sana, meringkuk di dalam dekapannya, adalah Naya.
Istrinya itu tertidur pulas dengan napas yang teratur. Wajah Naya terbenam di dada bidang Arjuna, sementara satu kakinya memeluk kaki Arjuna di bawah selimut yang berantakan. Namun, yang membuat Arjuna seketika menahan napas bukanlah posisi tidur mereka, melainkan fakta bahwa kulit mereka bersentuhan langsung tanpa sehelai benang pun yang menghalangi.
Sensasi hangat dan halus dari kulit Naya yang menempel pada tubuhnya mengirimkan sinyal bahaya ke otak Arjuna yang masih setengah sadar. Dia menunduk, melihat bahu polos Naya yang dipenuhi bercak-bercak kemerahan—tanda kepemilikan yang ia buat semalam.
Ingatan-ingatan samar mulai bermunculan di kepalanya seperti potongan film yang rusak. Ciuman yang menuntut, desahan Naya, tangisannya yang memohon, hingga bagaimana Arjuna hilang kendali dan menggempur wanita itu tanpa ampun.
"Sialan..." desis Arjuna pelan, sangat pelan agar tidak membangunkan sosok rapuh di pelukannya.
Dia berdecak kesal, bukan pada Naya, tapi pada dirinya sendiri. Dia ingat betapa liarnya dia semalam. Obat sialan itu benar-benar mengubahnya menjadi binatang. Dia ingat bagaimana dia memaksa Naya melayaninya lagi dan lagi, bahkan saat wanita itu sudah kelelahan dan memohon untuk istirahat. Dia baru membiarkan Naya tidur saat jam digital di nakas menunjukkan pukul tiga pagi.
Dan sekarang, melihat wajah Naya yang tampak lelah dalam tidurnya, ada rasa bersalah yang menyelinap di hati Arjuna. Rasa yang seharusnya tidak boleh ada. Bukankah pernikahan ini hanya permainan? Bukankah Naya hanya alat untuk memenangkan egonya?
Arjuna menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran sentimentil itu. Dia harus bangun.
Dengan gerakan sangat hati-hati, Arjuna mengangkat lengan Naya dari tubuhnya, lalu menggeser tubuhnya sendiri menjauh. Setiap gerakan dia lakukan dengan presisi lambat, takut sedikit guncangan akan membuat Naya terbangun. Dia tidak siap menghadapi tatapan Naya pagi ini. Dia tidak siap melihat ketakutan atau mungkin kebencian di mata istrinya setelah apa yang dia lakukan semalam.
Setelah berhasil melepaskan diri, Arjuna turun dari ranjang. Dia memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dengan wajah masam, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Di bawah guyuran air dingin, Arjuna menyandarkan keningnya ke dinding keramik yang basah. Dia membiarkan air dingin itu membilas keringat sisa percintaan semalam sekaligus berharap bisa membekukan kepalanya yang masih berdenyut.
“Apa yang kau lakukan, Juna?” batinnya memaki diri sendiri. “Kau seharusnya tidak menyentuhnya sejauh itu. Kau seharusnya bisa menahan diri.”
Tapi bayangan Naya yang pasrah di bawah kuasanya, desahan namanya yang keluar dari bibir wanita itu, masih terpatri jelas di ingatannya. Sialnya, bahkan dalam kondisi pusing seperti ini, tubuhnya masih merespons ingatan itu. Arjuna mematikan keran dengan kasar, menyambar handuk, dan segera berpakaian rapi. Kemeja kerja yang sudah disiapkannya semalam kini melekat pas di tubuhnya, menyembunyikan jejak cakaran kuku Naya di punggungnya.
Arjuna keluar dari kamar mandi dan mendapati Naya masih belum bergerak sedikit pun. Wanita itu pasti sangat kelelahan. Arjuna melirik jam dinding. Pukul 06.30. Masih ada waktu sebelum dia harus berangkat ke kantor.
Tanpa suara, dia keluar dari kamar dan menuju dapur. Rutinitas pagi yang aneh ini sudah berjalan beberapa minggu. Arjuna, si pewaris perusahaan besar yang terbiasa dilayani, kini justru berdiri di depan kompor, memecahkan telur dan memanggang roti untuk istrinya.
Tangannya bergerak lincah memotong buah dan menyiapkan segelas susu hangat. Dia melakukan semua ini secara otomatis, seolah tubuhnya sudah terprogram untuk memastikan Naya tidak kelaparan.
"Ini hanya agar dia tidak sakit dan menyusahkanku," gumam Arjuna pada dirinya sendiri saat meletakkan piring berisi roti panggang dan telur orak-arik di meja makan. "Kalau dia sakit, Ibu pasti akan curiga dan menyalahkanku. Ini demi kelancaran rencanaku. Tidak lebih."
Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri dengan kalimat itu berulang kali. Namun, tangannya tetap bergerak mengambil secarik kertas sticky note dan sebuah pena. Arjuna terdiam sejenak, ujung pena mengambang di atas kertas kuning itu. Apa yang harus dia tulis? Maaf soal semalam? Tidak, itu akan membuatnya terlihat lemah. Terima kasih? Terlalu manis.
Akhirnya, dia menulis kalimat singkat dengan tulisan tangan tegak bersambung yang rapi.
‘Makan sarapanmu. Jangan lupa minum vitamin. Aku berangkat dulu.’
Arjuna menempelkan kertas itu di gelas susu Naya. Dia menatap sarapan yang dia buat dengan tatapan kosong sejenak, lalu menghela napas panjang. Tanpa menyentuh sarapannya sendiri—karena perutnya terlalu mual untuk diisi—Arjuna menyambar kunci mobil dan tas kerjanya, lalu melangkah keluar rumah. Meninggalkan Naya dan segala kekacauan yang terjadi di antara mereka semalam.
Suasana di kantor Arjuna hari ini terasa lebih dingin dari biasanya. Atau mungkin itu hanya perasaan Arjuna saja karena sejak tadi keringat dingin terus mengucur di tengkuknya.
Arjuna duduk di kursi kebesarannya di lantai teratas gedung pencakar langit itu. Di hadapannya menumpuk berkas-berkas persetujuan proyek yang harus dia tanda tangani, tapi tak satu pun huruf di sana yang bisa dia cerna.
Pikirannya melayang, kembali ke momen panas di kamar tidurnya.
Dia memijat pangkal hidungnya yang terasa nyeri. Masalahnya bukan hanya tentang dia meniduri Naya. Mereka suami istri, itu wajar. Masalah utamanya adalah satu detail kecil yang baru dia sadari saat menyetir menuju kantor tadi.
Dia tidak memakai pengaman.
Sama sekali.
"Bangsat," umpat Arjuna keras, membuat sekretarisnya yang baru saja masuk membawakan kopi terlonjak kaget.
"Pak Arjuna? Ada yang salah?" tanya sekretarisnya dengan wajah takut.
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin