Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Ardhan perlahan melepas pelukannya, menatap wajah Yura lekat-lekat, seolah tak ingin melewatkan satu inci pun ekspresi yang terpahat di sana.
"Maaf..." ucap Ardhan lagi, lirih. Ia menghapus sisa-sisa air mata di pipi Yura dengan lembut.
Yura tak menjawab. Ia hanya diam, membiarkan Ardhan berada di sisinya, meski hatinya masih penuh luka.
"Kalau kamu sudah tenang... saya mau jujur," ucap Ardhan, pandangannya tak lepas dari kedua mata Yura.
Yura sedikit tersentak, tapi tetap bungkam.
"Saya masih lajang. Bahkan belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun..." Ardhan terdiam sesaat, menarik napas panjang. "Perempuan itu... dia sepupu saya dari pihak ayah. Pacarnya kabur, tidak mau bertanggung jawab. Ayah memohon agar saya yang menggantikan tanggung jawab itu, untuk menjaga nama baik keluarga. Tapi saya tidak setuju, dan saya tidak akan pernah mau."
Ardhan menunduk, seolah menahan beban dari semua yang telah ia simpan terlalu lama.
"Maaf... saya tidak jujur dari awal. Saya takut kehilangan kamu, takut kamu pergi kalau tahu hal ini."
Yura menatapnya. Matanya sendu, namun tetap menyala oleh luka yang belum sembuh.
"Kalau lo udah punya janji, kenapa ngajak gue makan malam?" tanya Yura, suaranya ketus namun pelan.
"Itu mendadak... dia tiba-tiba mengeluh sakit perut. Ayah memaksa saya menemaninya malam itu. Itu yang pertama dan terakhir kalinya."
Yura menghela napas. "Gue turut prihatin... Tapi gue mau pulang."
Ia membuka pintu kemudi.
"Biar saya yang nyetir," ucap Ardhan cepat.
"Gue kecewa... kecewa karena naruh hati sama lo," lirih Yura, tapi cukup jelas terdengar oleh Ardhan.
Ardhan terdiam. Kata-kata itu menamparnya lebih keras dari amarah mana pun. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri.
Yura kembali duduk di kursinya tanpa berkata apa-apa. Hatinya remuk, meski sebagian dirinya berusaha memahami.
Sepanjang perjalanan, Yura hanya menatap kosong keluar jendela. Tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya.
"Mau mampir supermarket?" tanya Ardhan pelan saat sudah dekat dengan supermarket dekat perumahan mereka.
"Tidak," jawab Yura datar.
"Biar saya yang belanjakan," tawar Ardhan.
Tak ada respons. Yura tetap diam. Ardhan tetap melaju tanpa berkata apa-apa lagi.
Setibanya di depan rumah Yura, Ardhan memarkirkan mobil, turun, dan membuka pagar. Lalu memasukkan mobil perlahan ke garasi.
Ia kembali ke sisi Yura, membukakan pintu. Tapi Yura masih duduk di tempatnya, tak bergeming.
"Yura..." panggil Ardhan lembut. Ia kembali memeluk Yura, berusaha menghangatkan hati yang telah dingin.
Namun kali ini, Yura segera tersadar. Ia melepaskan pelukannya.
"Maaf... saya terlalu kekanak-kanakan," katanya pelan. "Saya tidak seharusnya bersikap begini."
Yura turun dari mobil dan menutup pintunya perlahan.
"Silakan pulang," ucapnya tenang, tapi terdengar seperti pisau dingin yang menusuk hati Ardhan.
"Kenapa kamu tiba-tiba bicara formal?" tanya Ardhan, bingung. "Ada yang salah?"
"Silakan," ulang Yura. Ia mendorong Ardhan keluar dari halaman rumah.
"Yura..." panggil Ardhan lirih, mencoba menahan langkahnya.
Yura menatap Ardhan dari balik pagar. "Saya harap... kita tidak bertemu lagi," ucapnya mantap.
Ia kemudian berbalik, meninggalkan Ardhan yang hanya bisa terpaku, berdiri sendiri di antara senja yang mulai tenggelam dan harapan yang perlahan memudar.
Ardhan melangkah gontai kembali menuju rumahnya. Langit sudah gelap, tapi pikirannya lebih gelap lagi. Sesampainya di depan rumah, ia tak langsung masuk. Ia berdiri lama di depan pagar, matanya terus terpaku ke arah rumah Yura yang sudah tertutup rapat.
Dalam hatinya, suara Yura masih terngiang, Saya harap kita tidak bertemu lagi.
Ardhan menghela napas panjang, menahan sesak di dada yang sejak tadi tak kunjung reda.
"Setelah bertahun-tahun gue cari lo... setelah segala usaha gue buat deket lagi sama lo... sekarang lo bilang gak mau ketemu gue lagi?"
Ia mengerutkan alis, menatap rumah Yura penuh tekad.
"Jangan harap... kali ini, gue gak akan pergi. Gue akan selalu ada di sisi lo, apapun yang terjadi."
Matanya masih tertuju ke rumah Yura.
...****************...
Saat Yura membuka pintu rumah, lampu ruang tengah masih redup. Ia menyalakannya pelan, dan mendapati Febi dan Hana masih tertidur lelap di sofa. Keduanya tampak kelelahan. Yura sempat ingin membangunkan mereka, tapi diurungkan saat melihat wajah damai keduanya dalam tidur.
Dengan pelan, ia mengambil ponselnya dari tas dan membuka layar. Jarinya langsung mengetik pesan singkat ke Aldin.
“Tolong beliin makan malam ya. Sekalian cemilan. Gue belum sempat belanja.”
Tak butuh waktu lama, balasan dari Aldin muncul, emoticon jempol.
Yura menarik napas panjang, lalu berjalan menuju kamarnya. Ia butuh mandi. Bukan hanya untuk menyegarkan tubuh, tapi juga untuk menenangkan pikirannya yang masih kalut.
“Gue gak mau masalah ini bikin suasana rumah jadi gak enak...” gumamnya lirih.
Air hangat mengalir di tubuhnya, perlahan menghapus jejak kelelahan dan air mata yang sempat tertahan. Di sana, di balik guyuran air, Yura berdamai sejenak dengan dirinya sendiri. Ia tidak ingin terjebak terlalu lama dalam luka yang belum selesai.
Selesai bersiap, Yura keluar dari kamar dengan pakaian bersih dan wajah sedikit lebih segar. Ia berjalan ke arah sofa dan membungkuk, menggoyang pelan bahu dua sahabatnya.
“Bangun, kawan-kawan,” ucapnya lembut.
“Jam berapa?” gumam Febi dengan suara serak dan mata setengah terbuka. "Masih ngantuk."
“Belum jam tujuh,” jawab Yura sambil tersenyum tipis. “Tidur aja lagi, nanti gue bangunin kalau Aldin sama Rizki udah sampai.”
“Mereka belum selesai futsal?”
“Udah di jalan balik, tadi gue chat Aldin.”
Febi mengangguk pelan lalu kembali memejamkan mata. Hana hanya bergumam kecil, menggeliat, lalu tertidur lagi dengan posisi lebih nyaman.
Yura mengambil remote dan duduk bersila di lantai depan TV. Ia menyalakannya dan memilih channel secara acak, berusaha mengalihkan pikirannya dari sosok yang terus menghantui benaknya sejak tadi.
Cukup untuk hari ini, Ardhan... batinnya.
Karena acara di TV tak benar-benar menarik perhatiannya, Yura akhirnya memutuskan untuk mematikannya. Suasana ruangan pun langsung hening.
Tepat saat itu, suara deru mesin mobil terdengar dari arah luar. Yura tersentak kecil, lalu senyum merekah di wajahnya.
"Oh, mereka udah datang," gumamnya senang, segera bangkit dan berjalan ke arah pintu.
Ia membuka pintu rumah dan berdiri di ambang, menunggu Rizki dan Aldin turun dari mobil.
Tanpa sadar, mata Yura refleks melirik ke arah rumah Ardhan. Sudah menjadi kebiasaan. Namun yang terlihat hanya gelap dan jendela tertutup.
Kosong, pikir Yura sambil menarik napas pelan. Tapi ia cepat mengalihkan pikiran dan fokus pada dua sosok yang kini turun dari mobil sambil membawa kantong plastik.
Yang Yura tak tahu, dari kejauhan, sepasang mata mengamati dari balik kaca gelap sebuah mobil yang terparkir beberapa rumah dari sana.
Ardhan duduk di dalam mobilnya, tanpa suara, hanya menatap ke arah rumah Yura. Ia melihat semuanya, cara Yura berdiri, senyum yang muncul saat melihat temannya datang, bahkan lirikan singkat Yura ke arah rumahnya.
Ardhan tersenyum kecil, penuh rasa rindu dan sesal.
"Masih bisa lihat senyum lo dari jauh aja udah cukup buat malam ini," ucapnya pada diri sendiri, sebelum perlahan menghidupkan mesin mobilnya. "Gue bakalan deketin lo secara ugal-ugalan kali ini, Yura."