Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. CURIGA
Ruby menatap layar laptopnya dengan napas yang masih tersengal. Jari-jarinya baru saja menyelesaikan serangkaian enkripsi darurat, sebuah countertrace otomatis untuk melindungi jaringan pribadinya.
Seseorang barusan mencoba menerobos firewall utama sistem miliknya.
Bukan jaringan umum, tapi server pribadi yang ia gunakan di balik identitasnya sebagai Cipher, hacker bayangan milik seseorang yang bahkan Elias sendiri tak tahu identitas aslinya.
Ia menutup laptopnya cepat, menghapus bekas data log, lalu melemparkan diri ke tempat tidur. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
Sial. Kenapa harus sekarang? batin Ruby.
Ketika suara Elias terdengar dari balik pintu, Ruby sempat hampir menjatuhkan laptopnya.
Ia buru-buru menjawab dengan nada setenang mungkin, tapi jelas suaranya bergetar.
Sekarang, setelah Elias menjauh, ia baru bisa mengatur napas pelan.
"Kau harus lebih hati-hati, Ruby," bisiknya pada dirinya sendiri. "Kalau sampai Elias tahu, habis sudah kau."
Elias memerhatikan dari jauh.
Ruby keluar dari kamar setengah jam kemudian, berpura-pura santai dengan rambut yang sedikit berantakan. Ia membawa secangkir teh ke ruang tamu, dan begitu melihat Elias di sana, gadis itu tampak kaku sepersekian detik, sesuatu yang tidak luput dari pandangan pria itu.
"Morning, Sweetheart," sapa Elias sambil menatapnya penuh selidik di balik senyum indah itu.
Ruby menunduk sedikit, pura-pura sibuk menuang teh. "Pagi juga, Elias."
"Alarm rusak lagi semalam, ya?" tanya Elias lagi, nada suaranya ringan, tapi matanya menelusuri wajah Ruby dengan ketelitian seorang predator yang mencium sesuatu di udara.
"Y-ya. Alarmku tiba-tiba bunyi sendiri. Kupikir mungkin karena arus listrik," jawab Ruby cepat, mencoba tersenyum.
"Oh begitu," Elias melangkah mendekat, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. "Aku mendengar kau sedikit ... hmm ... umpatan, kalau tidak salah."
Ruby membeku. "Ah itu ... aku hanya tersandung ujung kasur!"
Elias mengangkat sebelah alis. "Bunny tersandung kasur. Apakah kakimu terlalu pendek sampai bisa tersandung di kamar sendiri?"
Ruby menatapnya dengan tatapan tajam, pipinya memerah karena malu dan kesal. "Elias! Kenapa kau suka sekali mengejekku?!"
Senyum kecil terbentuk di bibir pria itu. "Karena aku penasaran, Sweetheart. Biasanya kau tidak mengunci pintu. Tapi akhir-akhir ini kau sering melakukannya."
Ruby berusaha menatap balik tanpa gentar, tapi pandangan Elias selalu membuat jantungnya berdebar dengan cara yang aneh, antara gugup dan kesal.
Ia memalingkan wajah, meneguk tehnya cepat-cepat.
"Aku hanya butuh privasi. Apa itu salah?" jawab Ruby.
"Tidak, tentu saja tidak," balas Elias tenang. "Tapi jika kau menutup rapat kamarmu, aku jadi tidak bisa tahu keadaanmu di dalam," sambungnya.
Ruby tahu pria itu sengaja membuatnya kesal seperti biasa. Ia mendengus pelan. "Kau menyebalkan."
"Begitukah?" Elias tersenyum puas. "Tapi lucu melihatmu marah. Kau seperti anak kecil yang kehilangan permen. Ah, salah kelinci yang kehilangan wortel," ejeknya.
Ruby hampir tersedak teh. "Sudah kukatakan berhenti memanggilku kelinci."
"Sepertinya. Tapi setiap kali kau marah, pipimu memerah seperti ini. Menggemaskan seperti kelinci kecil yang siap dimangsa serigala," kata Elias.
Ruby tersentak kecil ketika Elias menyentuh ujung pipinya pelan dengan jari telunjuk, membuat Ruby mundur spontan dengan wajah merah padam.
"Elias?!" pekiknya dengan nada kesal bercampur malu. "Kau tidak sopan!"
"Tidak sopan?" katanya dengan ekspresi polos yang sama sekali tidak bisa dipercaya. "Aku hanya ... memperhatikan detail dirimu, Bunny."
Ruby meletakkan cangkirnya agak keras di meja, lalu bergegas pergi ke dapur. Elias tertawa pelan di belakangnya, suara tawa rendah yang terdengar berbahaya dan menawan sekaligus.
Elias tahu Ruby menyembunyikan sesuatu. Tapi Elias juga tahu, jika ia terlalu menekan, gadis itu akan menutup diri sepenuhnya.
Jadi ia memilih cara yang lebih halus: mengganggu dan menggoda perlahan, hingga Ruby kehilangan keseimbangan emosionalnya. Dari sana, kebenaran biasanya akan keluar dengan sendirinya.
Beberapa hari berikutnya, suasana di rumah terasa aneh tapi hangat. Elias memerhatikan Ruby lebih sering dari biasanya, setiap gerak-gerik, setiap ekspresi gugup kecil yang muncul tanpa sadar. Ia selalu menyapanya di dapur pagi-pagi, menyelipkan komentar tajam tapi manis di antara rutinitas harian.
"Jangan pakai terlalu banyak gula," kata Elias suatu pagi sambil menatap Ruby yang sedang membuat kopi.
"Kenapa memangnya?" tanya Ruby heran.
"Manis berlebih bisa membuatmu tidak fokus," jawab Elias santai.
Ruby mendengus. "Atau mungkin karena kau takut aku terlalu manis untukmu."
Elias menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. "Kau memang tidak pernah mau kalah."
Mereka seperti dua kutub yang terus bersentuhan, kadang bertolak belakang, tapi juga saling tertarik tanpa bisa dihindari.
Namun di balik semua kehangatan itu, Elias tetap waspada. Ia mulai memperhatikan pola tertentu: Ruby sering membawa laptopnya ke taman belakang setiap sore, dan selalu menonaktifkan Wi-Fi rumah. Elias juga beberapa kali melihat Ruby terbangun tengah malam, berjalan ke dapur lalu duduk menatap layar laptop dalam kegelapan.
Elias tidak bodoh. Ia tahu sesuatu sedang disembunyikan.
Tapi ia menunggu. Ia ingin tahu sejauh apa gadis itu akan memertahankan rahasianya.
Pagi itu, Ruby duduk di ruang tamu, menatap jendela besar dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang ke jaringan yang hampir terbobol beberapa hari lalu. Siapa pun yang mencoba menembus sistemnya memiliki kemampuan tingkat tinggi, dan Ruby tahu itu bukan hacker sembarangan.
Ruby memegang cangkir kopinya erat-erat, jantungnya masih belum benar-benar tenang.
Langkah kaki terdengar mendekat dari arah koridor. Elias muncul dengan kemeja hitam dan jas yang separuh terpasang. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru menambah aura tajam dan berwibawa yang selalu menemaninya.
Elias menatap Ruby sebentar sebelum tersenyum. "Kau tidak tidur nyenyak semalam?"
Ruby tersadar, buru-buru menegakkan duduknya. "Bagaimana kau tahu?" tanyanya.
"Kantung matamu tebal dan menghitam. Kau juga terlihat lelah. Juga kopi di tanganmu, padahal tidak biasanya kau minum kopi hitam pagi-pagi," jawab Elias detail.
"Apa kau detektif?" Ruby terkejut Elias memerhatikan sampai sedetail itu.
Elias menghela napas pelan dan mengambil tempat duduk di seberangnya. Ia membuka laptop di meja, memeriksa beberapa laporan keuangan, lalu tanpa menatap Ruby, berkata santai, "Jangan suka begadang. Kulihat akhir-akhir ini kau bahkan sampai turun ke dapur untuk mencari makan di tengah malam. Apa kau mengalami insomnia?"
"Kurasa begitu," jawab Ruby seraya mengalihkan pandangan, berbohong.
"Jangan bohong, Bunny," Elias menatapnya dengan senyum licik.
Ruby membeku. "B-bohong? Aku tidak-"
"Ruby," potong Elias lembut. "Kau mungkin lupa, tapi aku punya insting yang cukup baik untuk membedakan seseorang yang gugup karena takut dan seseorang yang gugup karena menyembunyikan sesuatu."
Tatapan Ruby menajam. "Kau menuduhku sesuatu?"
"Aku tidak menuduh," jawab Elias ringan. "Hanya memperhatikan, kau tidak seperti biasanya akhir-akhir ini. Suka terlihat panik, gugup, kadang sibuk dengan laptopmu sampai tidak sadar sekeliling, terlebih kau suka mengurung diri di kamarmu. Aku hanya khawatir."
Suasana di antara mereka tiba-tiba berubah.
Sunyi beberapa detik, sebelum Ruby berdiri dengan wajah kesal. "Kau selalu merasa tahu segalanya, Elias. Tapi kau bahkan tidak tahu rasanya hidup dengan banyak hal yang tidak bisa kau ceritakan."
Elias mengangkat kepalanya, menatap tajam. "Lalu kenapa tidak kau ceritakan padaku?"
Ruby menatapnya balik, mata mereka saling menantang, tapi sebelum ia sempat menjawab, suara telepon berdering memecah ketegangan.
Nama Raven muncul di layar ponsel Elias.
Ia menatap Ruby sejenak, lalu menjawab panggilan itu. "Ya, Raven?"
Suara di seberang terdengar cepat dan serius. "Kita punya masalah. Dewan pemegang saham ingin rapat darurat siang ini."
Elias berdiri perlahan. "Tentang apa?"
"Edward Adams mengajukan laporan resmi ke media dan pihak hukum. Tuduhan pencemaran nama baik. Sekarang berita itu sudah mulai naik di beberapa situs besar," kata Raven.
Ruby menatap Elias, wajahnya berubah pucat.
Elias mengerutkan kening. "Dia belum menyerah ternyata."
"Lebih dari itu," lanjut Raven. "Beberapa pemegang saham mulai khawatir. Mereka ingin penjelasan langsung darimu, Elias. Sekarang."
Suasana berubah. Aura Elias yang tadi santai kini bergeser dingin.
"Aku berangkat sekarang," kata Elias.
Raven di seberang terdengar menghela napas lega. "Baik. Aku tunggu di kantor."
Panggilan terputus. Elias mematikan ponsel, lalu memalingkan pandangan pada Ruby yang kini menatapnya cemas.
"Elias, apa yang terjadi?" tanya Ruby.
"Ayahmu sepertinya belum menyerah untuk menjatuhkanku," kata Elias geram.
Ruby menelan ludah. "Apa yang akan kau lakukan?"
Elias mengenakan jasnya, gerakannya tenang tapi penuh ketegasan. "Menghadapi mereka, tentu saja."
Ruby berdiri, berusaha membaca ekspresinya. "Kau yakin tidak berbahaya?"
Elias menatapnya, kali ini sedikit lebih lembut. "Dalam bisnis, yang berbahaya bukan mereka yang menyerang terang-terangan, tapi mereka yang bersembunyi di balik kebenaran palsu. Dan kau sendiri tahu bagaimana ayahmu itu sebenarnya."
Elias melangkah menuju pintu, tapi Ruby menahan pergelangan tangannya.
"Elias, hati-hati, ya?" ucap Ruby.
Pria itu berhenti sejenak. Tatapannya melunak, sekilas saja, tapi cukup membuat Ruby merasakan sesuatu bergetar di dadanya.
"Selalu," katanya pendek, lalu menarik tangannya pelan dan pergi.
Begitu Elias pergi dengan mobilnya meninggalkan rumah. Saat itu juga air muka Ruby berubah drastis, dingin dan terkesan mengintimidasi. Seolah gambaran gadis lugu dan kekanakan dari Rubiana Adams tidak pernah ada.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya