Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Dilema
Aku pun tertunduk lesu mendengar nasihat Rita. Aku sangat tahu bahwa membatalkan pernikahan ini sebelum terlambat adalah hal terbaik yang bisa dilakukan secepatnya. Namun kembali aku teringat Om Haikal.
Gaga benar, selama ini kenaifanku selalu mendorongku untuk selalu berlaku baik pada Om Haikal. Karena tidak bisa menyapa Gaga, akhirnya perhatianku yang tak bisa kusampaikan langsung pada Gaga ku salurkan melalui Om Haikal. Aku senang jika bisa menyapa Om Haikal. Atau memberikan masakanku yang akan dimakan oleh Gaga melalui Om Haikal. Terkadang aku pun bertanya mengenai Gaga di sela-sela sapaanku dengan Om Haikal. Aku sama sekali tak menyangka ternyata selama ini Om Haikal menyadari perasaanku terhadap putranya.
Namun, jika memang demikian, bukankah dulu sudah jelas Om Haikal mendukung hubungan Gaga dengan Alleta? Kenapa sekarang Om Haikal malah ingin menjodohkanku dengan Gaga?
"Ra? Kok bengong lagi?" tegur Rita.
Aku pun tersadar. "Gak apa-apa," sahutku.
Kemudian ramen kami pun diantarkan oleh seorang pramusaji dan kami segera menikmatinya sebelum dingin.
"Ra, sorry kalau gue terkesan ikut campur ya," sesal Rita.
"Enggak kok, Ta," sanggahku segera.
"Abis lo langsung diem gitu gue omongin pendapat gue tadi. Sorry ya, gue cuma khawatir aja. Pernikahan itu bukan main-main, Ra. Sekalipun lo cinta banget sama Saga, tapi tetep kalau ada cerita kayak gitu tentang Saga, lo harus bisa berpikir secara logika juga. Lo harus pertimbangkan baik-baik keputusan lo."
"Iya, Ta. Gue tahu. Makasih ya udah khawatir sama gue," sahutku.
Aku bingung bagaimana menanggapi semua yang Rita katakan sehingga aku hanya mengatakan terima kasih. Aku tahu aku harus mempertimbangkan kembali untuk menikahi Gaga. Bahkan setelah perlakuan Gaga, juga alasan akhirnya ia menerima perjodohan ini, seharusnya aku sudah bulat untuk menghentikan semuanya sebelum terlambat
Sebenarnya, aku masih memiliki jalan terakhir untuk membatalkan pernikahan ini yaitu dengan berbicara langsung dengan Om Haikal, tapi dilemanya ini adalah keinginan terakhir Om Haikal. Bagaimana bisa aku menolak keinginan terakhir seseorang yang hidupnya tak lama lagi, terlebih orang itu adalah orang sebaik Om Haikal?
"Ya udah. Gue serahin semuanya sama lo. Keputusan ada di tangan lo. Pokoknya gue cuma bisa kasih doa terbaik gue buat lo," pungkas Rita. "Kalau ada apa-apa lo harus cerita. Jangan dipendem sendiri."
"Makasih ya, Ta," tulusku.
"Sama-sama. Udah ah kita abisin ramennya cepet. Udah ini kita pesen latte. Udah lama kita gak ngopi di sini," saran Rita dengan semangat.
Aku mengangguk setuju. Kemudian latte kami pun datang setelah kami menghabiskan ramen pedas yang kami pesan tadi. Obrolan seriusku dengan Rita tadi pun berakhir. Kini kami mengobrol hal-hal sehari-hari, absurd, dan out of the box ala Rita.
Selalu, saat bersama Rita pasti selalu ada sesi berubah menjadi komedi. Candaannya selalu bisa membuat tawa kami pecah. Apalagi jika ia sudah berguyon, namun dia sendiri yang tertawa lebih keras dariku hingga terpingkal-pingkal.
Walaupun hanya untuk sejenak, aku bisa melupakan semua hal tentang Gaga yang membuatku selalu lebih murang dari sebelumnya. Maka dari itu, bertemu Rita selalu jadi obat bagiku untuk bisa sedikit menghilangkan sakit yang kurasakan.
Mahasiswi-mahasiswi yang duduk di meja sebelah tanpa aku sadari sudah pergi dan kemudian meja itu diisi oleh seorang pria yang duduk membelakangi kami.
Tiba-tiba, pria itu berbalik. "Ehm," deham pria di meja sebelah itu. "Bisa tolong jangan terlalu berisik?!"
Aku dan Rita tengah bersenda gurau pun sontak membeku mendapat teguran dari pria itu. Sepertinya pria itu seusia kami. Pakaiannya rapi, seperti pegawai kantoran. Rambutnya tertata, kulitnya putih, wangi maskulin dari parfumnya tercium hingga ke meja kami. Pria itu juga tampan. Namun, tidak setampan Gaga.
Gaga lagi.
Ku hela nafasku jengah, selalu saja seperti ini saat aku melihat pria yang tampan. Tanpa sadar aku langsung membandingkannya dengan Gaga. Setelah perlakuan buruk Gaga yang tak pernah aku sangka sebelumnya, aku menjadi kesal dengan kebiasaanku yang tak pernah bisa aku hilangkan ini. Jika saja bisa, mungkin aku sudah bisa melupakannya dan berkencan dengan pria lain.