NovelToon NovelToon
Keluarga Langit

Keluarga Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Cinta setelah menikah / Keluarga
Popularitas:909
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.

Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.

Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.

Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.

Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.

Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.

Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.

Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tekad Project Tesla Nova

"MONSTER! KELUAR KALIAN!"

"GANTI RUGI ATAP RUMAH KAMI! MAKHLUK ANEH!"

Teriakan-teriakan itu menusuk telinga, penuh kemarahan dan ketakutan. Mereka bukan lagi keluarga idaman di kompleks perumahan, melainkan makhluk asing yang mendatangkan malapetaka.

Fitriani meringkuk di sofa, memeluk Humairah dan Shalih. Jumpsuit putih pasien yang mereka kenakan kini kotor dan lusuh. Air matanya mengalir deras, membasahi hijabnya. Ia tidak sanggup mendengar teriakan itu. Pukulan emosional ini jauh lebih sakit daripada peluru.

"Yah... Yah, aku tidak kuat. Mereka... mereka benar. Kita monster," isak Fitriani, suaranya parau. Ia memeluk anak-anaknya lebih erat, seolah ingin menyembunyikan mereka dari dunia. Shalih, yang baru saja terbangun dari tidur singkat, menatap ibunya dengan mata polos dan takut. Humairah hanya diam, jari mungilnya memilin ujung hijab Fitriani.

Rohim berbalik, wajahnya keras, dipenuhi tekad yang brutal. Ia berlutut di depan mereka, mengusap air mata Fitriani.

"Jangan pernah bilang begitu, Bu. Dengarkan aku," Rohim berbicara pelan, suaranya dipenuhi otoritas yang menenangkan. "Mereka hanya takut. Mereka tidak tahu apa yang kita lalui. Kita bukan monster. Kita adalah... kita adalah korban kecelakaan, Bu. Dan kita akan kabur dari sini. Aku akan buat rencana."

"Rencana apa lagi, Yah? Terbang lagi? Kita menghancurkan atap tetangga kita sendiri saat mendarat!" Fitriani memprotes, rasa bersalahnya meluap. "Mereka akan menangkap kita. Mereka akan menyakiti anak-anak. Lebih baik kita menyerah, Yah. Aku tidak mau lari lagi..."

Rohim menggeleng kuat-kuat. "Menyerah bukan pilihan. Mereka akan memisahkan kita. Mereka akan menjadikan kita kelinci percobaan. Aku janji akan menghilangkan kekuatan ini, tapi untuk itu, kita harus hidup. Kita harus bebas."

Ia bangkit, matanya memindai ruangan. Pintu belakang, tempat mereka masuk, sudah dikelilingi. Pintu depan mustahil. Ia harus memikirkan jalan keluar yang tidak melibatkan ledakan panas atau cahaya bulan yang akan menarik perhatian lebih besar lagi.

Tiba-tiba, sebuah suara yang sangat pelan dan teredam terdengar dari jendela dapur. "Pak Rohim! Ini saya! Raisa!"

Rohim tersentak, bergegas ke dapur, menarik tirai sedikit. Di balik semak-semak, Raisa berdiri, mengenakan pakaian kantornya yang rapi, namun wajahnya panik dan kotor. Ia pasti merangkak melewati parit dan semak-semak untuk menghindari pandangan polisi.

"Raisa?! Kau! Kenapa kau di sini?!" Rohim berbisik, terkejut luar biasa.

"Tidak ada waktu, Pak! Saya lihat berita di TV, saya tahu Bapak tidak bersalah!" Raisa berbisik cepat. "Saya bolos kerja. Saya datang dengan mobil pacar saya, Alex. Saya akan bantu Bapak keluar dari Batara Raya ini. Cepat!"

Fitriani, yang ikut menyusul ke dapur, menatap Raisa dengan mata berkaca-kaca. Kehadiran Raisa, di tengah semua pengkhianatan ini, terasa seperti anugerah yang nyata.

"Tapi... Alex? Dia tidak ada masalah?" tanya Rohim, otaknya yang rasional bekerja cepat.

"Alex saya suruh menunggu jauh dari sini. Dia tidak tahu tujuannya. Tapi Pak Rohim, kita harus cepat! Polisi hanya menunggu perintah resmi dari Jakarta atau Washington, saat itu datang, mereka akan menyerbu!" Raisa mendesak.

Raisa melihat tas ransel kecil di tangannya. "Saya bawa uang tunai seadanya, dan beberapa ponsel bekas. Kita harus bergerak sekarang! Saya akan bawa Bapak ke tempat yang aman di luar kota, lalu saya akan coba hubungi Pak Dharma di Indo Tech Energy. Dia pasti bisa bantu kita. Beliau sangat percaya pada Bapak, Pak Rohim!"

Mendengar nama Dharma Wijaya dan Indo Tech Energy, wajah Rohim langsung mengeras. Ia menggeleng tegas.

"Tidak, Raisa! Jangan pernah melibatkan Pak Dharma atau Indo Tech Energy dalam masalah ini," perintah Rohim, suaranya keras dan serius, meskipun berbisik. "Ini masalahku. Mereka tidak boleh tahu aku di sini, tidak boleh tahu aku buronan. Apalagi Pak Dharma."

Raisa mengerutkan kening. "Tapi kenapa, Pak? Beliau CEO. Beliau berkuasa. Beliau satu-satunya harapan logistik kita!"

"Tidak!" Rohim berbisik lebih keras. Ia menunjuk ke luar jendela, ke garis polisi dan tetangga yang berteriak. "Lihat ini, Raisa. Ini harga yang harus kubayar karena memiliki kekuatan ini. Tapi Indo Tech Energy... itu berbeda. Project Tesla Nova... itu lebih penting daripada nyawaku dan kebebasanku."

Rohim menatap Raisa, matanya memancarkan tekad yang luar biasa. "Listrik gratis untuk masyarakat miskin, Raisa. Itu adalah impian yang harus diwujudkan. Kalau aku melibatkan Pak Dharma, Project Tesla Nova akan dicap sebagai proyek teroris yang didanai buronan. Perusahaan itu akan hancur! Impian itu akan mati!"

Ia menghela napas, rasa sakit ideologisnya begitu nyata. "Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Ide itu, Raisa, adalah yang membuatku semangat hidup. Aku harus menjamin kelangsungan Project Tesla Nova. Aku terinspirasi dari PT Harapan Jaya di Jakarta, yang dipimpin oleh The Closer. Mereka berjuang untuk keadilan ekonomi, dan mereka menggunakan teknologi untuk membantu masyarakat kecil. Visi itu harus tetap hidup, Raisa. Tanpa ada kaitan denganku."

Fitriani, mendengarkan argumen suaminya, air matanya perlahan berhenti mengalir. Ia mulai mengerti, bagi Rohim, perjuangan ideologi ini sama pentingnya dengan melindungi keluarganya.

"Baik, Pak. Saya mengerti," kata Raisa, meskipun masih ragu, ia menghormati keputusan atasannya. "Tapi kita harus pergi sekarang. Ada mobil van kecil di gang samping, saya yang menyetir. Kita bisa keluar lewat saluran pembuangan air di belakang. Cepat, Pak! Saya akan berikan instruksi di sana."

Rohim mengangguk. Ada percikan api di matanya—bukan api kekuatan, melainkan api harapan dan tekad. Ia menggendong Shalih, Fitriani menggendong Humairah. Mereka berempat, dipimpin Raisa, merangkak cepat menuju pintu belakang, menuju lubang sempit di bawah parit. Ini adalah pelarian kedua mereka, kali ini dari ancaman yang lebih dekat dan nyata: masyarakat mereka sendiri.

Ribuan mil jauhnya, di ruang interogasi Fasilitas ISTC, suasana terasa mencekam. Ruangan itu kedap suara, hanya berisi sebuah meja besi dan dua kursi. Cahaya tunggal menggantung di atas meja, menciptakan bayangan tajam dan suram.

Miss Armstrong, rambut peraknya terikat rapi, duduk tegak di seberang Dokter Aris. Di depannya, ada folder tebal berisi data-data anomali Keluarga Wiratama. Miss Armstrong menatap Dr. Aris dengan tatapan dingin yang tajam, tanpa emosi.

Dr. Aris tampak lelah, rambut memutihnya acak-acakan. Ia mengenakan seragam penjara berwarna oranye. Tubuhnya condong ke depan, sorot matanya yang biasanya tajam, kini terlihat redup, penuh penyesalan.

"Mengapa, Aris?" tanya Miss Armstrong, suaranya rendah dan menusuk. Ia memukul pelan folder di depannya. "Setelah semua yang kuberikan padamu. Akses tanpa batas ke penelitian anomali terbaik di dunia. Kau mengkhianatiku. Kau membantu empat Ancaman Ekstrem melarikan diri. Kau mempertaruhkan keamanan Global."

Dr. Aris mendongak, matanya bertemu dengan Miss Armstrong. Ia tidak menunjukkan rasa takut, hanya kelelahan moral.

"Itu karena mereka bukan ancaman, Amelia. Mereka adalah korban," jawab Dr. Aris, suaranya serak. "Aku melihat data scan mereka. Aku melihat scan Shalih. Kekuatan itu adalah reaksi perlindungan, bukan senjata yang direncanakan. Aku melihat ketakutan di mata Rohim. Dia adalah ayah. Dan kau, kau ingin menjadikan anak kecil itu senjata atau kelinci percobaan!"

Miss Armstrong tertawa, tawa yang dingin dan sinis. "Korban? Korban tidak membakar 150 prajurit terbaik CIA, Aris. Korban tidak melayang melintasi Samudra Pasifik. Kau tahu apa yang kutakutkan? Aku takut mereka jatuh ke tangan yang salah. Atau, lebih buruk, mereka jatuh ke tangan... Infermex."

Miss Armstrong membungkuk ke depan, suaranya berubah menjadi bisikan yang menakutkan. "Katakan padaku, Aris. Apa yang kau kirimkan? Tombol itu hanyalah transmitter frekuensi rendah. Kau tidak hanya memberinya tombol pintu darurat. Kau pasti telah memberikan Rohim data anomali kita. Data tentang energi kosmik itu. Katakan, kau mengirimkannya ke siapa?! PT Harapan Jaya? The Vault? Siapa koneksimu di luar sana?!"

Mendengar nama-nama itu, tubuh Dr. Aris menegang. Ia memejamkan mata, wajahnya memancarkan ketakutan yang sesungguhnya. Ia tahu, pengkhianatannya belum selesai.

Miss Armstrong meraih kerah baju Dr. Aris, menariknya mendekat. "Katakan padaku, Aris! Kalau kau tidak bicara, aku akan memastikan kau membusuk di sel ini. Apa yang kau kirimkan pada Rohim? Dan apa hubungannya dengan gelombang energi yang kita lacak tadi malam—gelombang yang sama persis dengan yang kau teliti di tahun... Era Vanguard?".

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!