Novel ini adalah musim ke 3 dari kisah cinta beda usia antara Pram dan Kailla.
- Istri Kecil Sang Presdir ( season 1 )
Pernikahan karena perjodohan antara Pram dan Kailla. Rumah tangga yang diwarnai
dengan konflik ringan karena tidak hanya karakter tetapi juga umur keduanya berbeda jauh. Perjuangan Pram, sebagai seorang suami untuk meraih cinta istrinya. Rumah tangga mereka berakhir dengan keguguran Kailla.
- Istri Sang Presdir ( season 2 )
Kehadiran mama Pram yang tiba-tiba muncul, mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Konflik antara menantu dan mertua, kehadiran orang ketiga, ada banyak kehilangan yang membentuk karakter Kailla yang manja menjadi lebih dewasa. Akhir dari season 2 adalah kelahiran bayi kembar Pram dan Kailla.
Season ketiga adalah perjalanan rumah tangga Pram dan Kailla bersama kedua bayi kembar mereka. Ada orang-orang dari masa lalu yang juga ikut menguji kekuatan cinta mereka. Pram dengan dewasa dan kematangannya. Kailla dengan kemanjaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pram & Kailla 19
Tepat pukul 12.15 siang, mobil yang dikemudikan Sam masuk ke pelataran Talaga Sampireun, rumah makan tradisional khas Sunda yang memberikan sensasi kuliner eksotis dengan cita rasa dari rempah-rempah khas Indonesia. Sudah beberapa hari ini, Kailla menginginkan gurami bumbu mangga dan lalapan terasi khas restoran langganan keluarga mereka.
Terlihat Pram yang sudah tiba lebih dulu ditemani Donny, duduk lesehan di salah satu saung terapung tertutup menikmati semburan pendingin ruangan sambil menebar pandangan pada danau dan deretan pondok mengapung. Suasana restoran itu begitu asri.
“Sayang, kamu sudah lama sampai?” tanya Kailla menghempaskan tas tangannya di atas meja. Ia memilih duduk di samping Pram.
“Belum lama.” Pram menjawab singkat dengan netra fokus di ponsel. “Kentley jatuh dari tangga rumah.” Pram berkata pelan.
“Ya Tuhan.” Sontak Kailla terkejut, buru-buru mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Kinara. “Bagaimana bisa?” tanya Kailla lirih dengan nada sedih dan terluka. Hari ini ia lumayan sibuk di kampus, tidak sempat memantau kegiatan si kembar dari cctv yang terkoneksi dengan ponselnya.
“Ya, lepas dari pengawasan Kinara.” Pram memejamkan matanya. Kepalanya berdenyut melihat benjolan besar di tengah dahi anak bungsunya yang sekarang sudah seperti ikan mas koki. Disodorkannya ponsel miliknya pada Kailla, terlihat si kembar sedang tertidur pulas di dalam kamar.
Tak lama, nada sambung itu berganti dengan suara khas Kinara. “Ya, Bu. Ada apa?” Suara gadis itu terdengar takut-takut.
“Bagaimana kamu bisa lalai, Kin. Aku sering mengingatkanmu, hati-hati saat menjaga baby Kent. Anak itu sedang aktif-aktifnya,” omel Kailla, menatap sedih kedua putranya yang tertidur melalui cctv yang tersambung di ponsel milik Pram. Ada rasa bersalah di dalam dirinya saat seperti ini. Apa lagi ketika menatap dari kejauhan, benjolan di kening putranya terlihat besar sekali.
“Maaf, Bu. Aku tinggal di toilet sebentar tadi. Aku titipkan pada Binara,” sahut Kinara membela diri.
“Itu sudah diobati?” tanya Kailla lagi.
“Sudah dikompres dengan es batu dilapisi kain tipis, Bu. Tadi Oma yang mengompresnya.”
“Ya sudah, lain kali hati-hati, Kin.” Kailla berpesan sebelum memutuskan sambungan teleponnya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Mengomeli Kinara juga rasanya percuma. Semua sudah terjadi, omelannya tidak akan membuat kening putranya mulus kembali. Apalagi kalau sampai kemarahan berlebihannya menyakiti Kinara, semakin lagi ia khawatir. Bisa saja pengasuh itu membencinya dan melampiaskan semua pada putranya yang tidan mengerti apa-apa. Sejak kuliah, Kailla mempercayakan semua ke pengasuh.
Berusaha menerima dengan lapang dada, mata Kailla berkaca-kaca terpaku menatap layar ponsel Pram, di mana baby Bent dan baby Kent tertidur pulas dengan wajah polos tanpa dosa.
“Sudah, tidak apa-apa. Namanya anak-anak. Itu artinya Kentley sudah mulai belajar banyak hal. Wajar saja kalau sampai jatuh sekali -dua kali. Asal tidak keseringan dan berbahaya,” hibur Pram, memeluk pundak Kailla.
“Apa kamu pikir dulu kecilnya ... kamu tidak pernah jatuh,” lanjut Pram tergelak saat mendapati bibir Kailla yang mengerucut.
"Aku merasa bersalah, Sayang. Apa aku berhenti kuliah saja?" ucap Kailla ragu-ragu. Ia yakin, Pram tidak akan mengizinkan.
"Tidak, bahkan kalau aku harus mengirimmu kuliah di bulan sekalipun, akan aku lakukan. Walau pada akhirnya semua yang kamu dapatkan di perguruan tinggi hanya berupa kertas dan menghuni brankas." Pram tersenyum, menepuk pucuk kepala Kailla.
***
Setelah hampir dua jam menikmati makan siang, Pram memutuskan mengajak Kailla kembali ke kantor. Ia ada janji bertemu dengan Keisya. Gadis muda itu dimintanya ke kantor untuk mengambil laptop yang sudah disiapkan Stella.
Sebelumnya, Ricko juga sudah melaporkan padanya kalau telah selesai mengantar Ibu Keisya ke rumah sakit. Ada beberapa kondisi yang membuat wanita tua itu harus menjalani rawat jalan dan mengonsumsi obat-obatan dengan teratur. Tekanan darah tinggi, kolestrol sedikit di atas normal. Ditambah lagi Ibu Keisya memiliki penyakit gula yang sudah lama dideritanya.
Memilih bertanggung jawab pasca meninggalnya Bapak Keisya akibat kelalaian Bayu, Pram pribadi tidak keberatan menggelontorkan sejumlah uang untuk pasangan ibu dan anak itu selagi masih dalam tahap normal. Mereka kehilangan kepala keluarga dan penyokong hidup, Pram merasa tidak masalah kalau harus membiayai kehidupan ibu dan anak itu sampai Keisya menamatkan kuliah dan bisa mencari uang sendiri. Anggap saja menambah pahala. Baginya, uang sebesar itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tas-tas mahal Kailla.
“Temani aku ke kantor, setelah itu kita pulang sama-sama.” Pram menggandeng tangan Kailla, berjalan masuk ke kantor. Tampak beberapa staf menyapa keduanya. Seperti biasa, hanya Kailla yang akan menjawab dengan senyuman dan anggukan. Pram selalu dingin.
“Sayang, kamu pulang cepat?” tanya Kailla heran.
“Hmm ... aku memikirkan benjolan di kepala Kentley. Kebetulan memang sedang tidak ada pekerjaan lagi.” Pram menjelaskan dan menyeret istrinya masuk ke dalam lift.
Begitu keluar dari dalam lift, baik Pram mau pun Kailla mengeryit heran saat melihat meja Stella kosong. Bukannya apa-apa, saat ini sudah hampir jam tiga sore. Tidak biasanya sang sekretaris meninggalkan mejanya dan berkeliaran.
“Stella ke mana?” Kailla bertanya berusaha mencari jawaban untuk rasa penasarannya.
Pram menggeleng, sembari mendorong pintu ruang kerjanya. Ia sudah tidak sabar ingin memeluk dan mencium Kailla. Bahkan sejak dua jam yang lalu, keinginan itu membuncah di dada. Namun apa daya, ia tidak bisa sembarangan menggerayangi istrinya di tempat umum.
“Kai, aku merindukan pelukanmu,” ucap Pram begitu keduanya masuk ke dalam ruangan. Belum sempat duduk, bahkan pintu ruangan baru saja tertutup rapat. Kecupan hangat dilabuhkan Pram di sekujur wajah Kailla, diakhiri ciuman dalam dan penuh cinta di bibir merah muda yang menggodanya sejak tadi.
Kedua tangan Kailla sudah melingkar manja di leher sang suami. Tentu saja ia juga memberi sambutan yang tak kalah hangatnya. Pertautan bibir itu begitu dalam, bukan hanya saling menempel. Namun menyalurkan cinta keduanya. Bersandar di pintu, Kailla menikmati setiap manis yang dibagi Pram. Napas menderu dan beradu, ciuman itu sanggup membuat keduanya hilang kesadaraan sesaat. Melayang dan terbang ke awang-awang.
“Aku mencintaimu.” Pram berbisik pelan setelah melepas ciumannya. Kedua tangannya membingkai wajah Kailla dengan dahi saling menempel. Tatapan pria itu begitu dalam, mengirim signal cinta lewat pandangan mata.
“Love you, too.” Kailla berbisik pelan, mengecup bibir basah suaminya sekilas.
Tanpa sadar, di dalam ruangan ada sepasang mata yang membulat hebat tak sanggup bersuara ketika dipertontonkan adegan intim sepasang suami istri.
“Permisi, Om, Tante ... ada orang di sini!” protes Keisya, menatap tajam pada Pram dan Kailla.
“Sya? Siapa yang mengizinkanmu masuk ke dalam ruanganku?” tanya Pram terkejut.
“Aku tidak butuh izin siapa-siapa.” Keisya menjawab dengan santainya, duduk kembali di sofa yang terletak di sisi ruangan. Kedua tangan terlipat di dada, Keisya tampak angkuh dengan setelan seragam putih abu-abu.
Tampak Pram membuka pintu ruangan dan mencari keberadaan Stella. Ia butuh penjelasan dari sekretarisnya, bagaimana Keisya bisa masuk ke dalam ruangannya tanpa permisi.
“STE!” teriak Pram saat melihat gadis dengan setelah pink itu berjalan dari arah lift. Terlihat di belakangnya menyusul Pieter dengan kruk di tangan.
“Ya, Pak. Maaf sekali. Aku tidak bisa menghalau anak nakal itu. Dia menerobos masuk dan dengan tidak sopannya menunggu Bapak di dalam. Aku sudah katakan kalau Pak Pram sedang tidak ada di dalam ruangan, tetapi dia ....”
“Jangan salahkan sekretarismu, Om. Aku yang memaksa masuk. Aku ada urusan penting denganmu!” potong Keisya, menegaskan.
Kailla sejak tadi memilih diam, memperhatikan adegan demi adegan di hadapan matanya. Ia tidak mau berkomentar terlalu jauh dan terlibat di dalam masalah Pram dan gadis muda yang sudah lancang masuk ke dalam ruangan suaminya.
“Berikan laptop padanya dan seret dia keluar!” titah Pram pada Stella.
“Om, tidak bisa begitu. Ada hal penting yang harus aku bicarakan,” tegas Keisya menolak.
“Apa maumu?” tanya Pram kesal. Pandangannya beralih pada Kailla, istrinya memilih duduk di kursi kebesarannya dengan nyaman sambil berputar-putar. Terlihat Kailla tidak terganggu sama sekali.
“Aku mau kejelasan mengenai biaya. Apa saja yang menjadi tanggungan Om. Besaran biayanya dan untuk apa saja? Kita belum membicarakan ini sebelumnya, Om.” Keisya menjelaskan.
“Baik, duduk saja dulu.” Pram sedikit melunak.
***
Tbc
untuk yg lain aqu sdh melimpir kak...SEMANGAT ...
membayangkan Pram kok mumet mboyong keluarga ke negri singa dan gak tau sampe kapan demi keamanan.
sat set sat set