Cat Liu, seorang tabib desa, tak pernah menyangka hidupnya berubah setelah menyelamatkan adik dari seorang mafia ternama, Maximilian Zhang.
Ketertarikan sang mafia membuatnya ingin menjadikan Cat sebagai tunangannya. Namun, di hari pertunangan, Cat memilih pergi tanpa jejak.
Empat tahun berlalu, takdir mempertemukan mereka kembali. Tapi kini Maximilian bukan hanya pria yang jatuh hati—dia juga pria yang menyimpan luka.
Masihkah ada cinta… atau kini hanya tersisa dendam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab19
Maximilian masih fokus pada minumannya. Ia duduk di sofa kulit hitam itu dengan tubuh sedikit merosot, kedua matanya redup menatap gelas di tangannya. Jemarinya yang besar berputar-putar di bibir gelas, seolah mencari jawaban dari pusaran cairan alkohol yang terus ia teguk.
Ekin melangkah masuk ke ruangan itu dengan tenang. Pandangannya langsung tertuju pada kakaknya yang tampak rapuh untuk pertama kalinya. Ia mendekat perlahan, lalu berdiri di hadapan Maximilian.
"Kakak, jangan minum terlalu banyak. Kau akan mabuk," ujar Ekin lembut, namun penuh tekanan. "Kejadian hari ini pasti sudah tersebar. Kalau kau mabuk, musuh akan datang mencarimu. Bukankah itu sangat berbahaya?"
Maximilian hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip sebuah luka. Ia meneguk minumannya lagi, lalu berkata dengan suara serak.
"Selama hidupku... aku tidak pernah mendekati wanita mana pun. Cat Liu... adalah wanita pertama yang ingin aku nikahi. Dia menolakku dengan alasan usianya belum dewasa. Aku masih bisa menerimanya dan rela menunggunya dua tahun lagi. Tapi apa yang dia lakukan? Dia sengaja menghilang di hari pertunangan. Aku, seorang mafia... dipermalukan oleh seorang gadis. Keluarga Zhang akan menjadi bahan lelucon seluruh Guang Zhou."
"Kakak, gagalnya pertunangan ini... apakah membuatmu sangat malu? Atau justru membuatmu sedih?" tanya Ekin.
Maximilian menoleh pelan, sorot matanya tajam, tapi suaranya berat. "Pertanyaan seperti itu..." ia tidak melanjutkan, hanya menenggak minuman lagi.
"Kakak, aku hanya ingin memastikan perasaanmu terhadap gadis itu. Apakah Kakak mencintainya atau tidak? Atau hanya sekadar penasaran saja? Cat memang gadis yang unik. Tapi soal hubungan tidak bisa dianggap main-main. Sekarang, apa yang kakak rasakan? Menghabiskan begitu banyak minuman... apakah Kakak merasa malu, atau merasa kehilangan?"
Maximilian terdiam. Pertanyaan itu menusuknya tepat di hati. Jemarinya menggenggam gelas erat-erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Luka di telapak tangannya masih terlihat segar darah yang mengalir.
Ekin menghela napas dalam, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, "Kalau Kakak tidak yakin dengan perasaan sendiri, maka biarkan dia pergi. Tapi... kalau Kakak benar-benar mencintainya, maka jangan pernah mengecewakan dia. Cari dia sampai dapat, dan yakinkan dia bahwa Kakak mencintainya. Bukan hanya sekadar penasaran."
Maximilian menatap kosong ke arah meja, lalu berbisik lirih, "Apakah menurutmu... aku harus menemukan dia dan kemudian membujuknya lagi... setelah apa yang dia lakukan hari ini?"
Ekin menatap kakaknya dengan dalam, lalu mengangguk pelan. "Asalkan Kakak tahu, Cat pergi bukan tanpa sebab. Aku telah periksa rekaman rumah ini. Saat kita sedang bicara... dia sudah mendengar semuanya."
Maximilian terperanjat. Matanya melebar, tapi tetap terdiam.
Ekin melanjutkan dengan nada mantap, "Sebagai seorang gadis, dia pasti merasa dimanfaatkan. Bagi seorang gadis, hubungan itu adalah ikatan dua orang yang saling mencintai, bukan sekadar untuk dicoba selama dua tahun dan berakhir saat merasa tidak cocok. Jadi, Cat pergi karena terluka dengan ucapan Kakak sendiri."
Maximilian mengusap wajahnya kasar dengan telapak tangan, menutupi ekspresi penuh penyesalan. Dadanya naik turun, emosinya kacau.
"Ekin..." suaranya serak, nyaris bergetar. "Kita bersama sejak kecil. Kau juga tahu, tidak ada wanita yang pernah aku dekati. Tapi gadis ini... membuatku tertarik sejak pertama kali melihatnya di jembatan. Tanpa ragu aku memeluknya... bahkan menciumnya." Ucapannya lirih, namun penuh beban kenangan.
Bayangan itu muncul jelas di benaknya, tatapan mata Cat, tubuh mungilnya yang kaku saat dipeluknya untuk pertama kali.
"Kalau aku tidak menyukainya... mana mungkin aku ingin membantunya menjalankan bisnis," lanjutnya, suara pria itu semakin berat. "Tapi dia menolakku. Setelah itu, aku melamarnya, memberi dia mas kawin yang fantastis. Karena bagiku, dia layak menerima semua itu. Pertunangan ini bukan main-main. Aku hanya ingin memulai hubungan kami... ingin semakin dekat dengannya."
Tangannya meremas rambutnya sendiri, matanya memerah. "Aku akui... aku pernah ragu dengan perasaanku sendiri. Tapi saat aku menyadari dia menghilang... aku marah, aku benci, sekaligus sedih. Dan kini..." ia menatap kosong ke arah pintu. "Kini aku merasa kehilangan."
"Kakak, aku tentu saja sangat senang kalau Cat menjadi kakak iparku. Tapi di sisi lain, aku berharap Kakak serius dengannya. Karena dia adalah penyelamatku. Jadi aku tidak ingin dia terluka," ujar Ekin. "Kalau Kakak memang mencintainya, carilah dia dan yakinkan bahwa perasaan Kakak tulus. Tapi kalau hanya sekadar obsesi... lebih baik lepaskan saja. Pertimbangkanlah dengan baik!"
Ekin melangkah keluar meninggalkan ruangan, menyisakan Maximilian yang masih terpuruk dalam kesunyian.
Keheningan merayap. Hanya ada Maximilian, botol-botol minuman, dan kepedihan yang menggantung di udara. Tatapannya kosong, namun dalam benaknya, senyuman lembut Cat muncul begitu jelas—seolah gadis itu berada tepat di depannya, memandangnya dengan tatapan jernih yang dulu membuatnya kehilangan kendali. Bahkan suara gadis itu menggema di telinganya, membuat hatinya semakin tersayat.
Ia kemudian menatap surat yang ditinggalkan Cat.
Tulisan tangan halus sang gadis menusuk matanya. Maximilian membaca dengan bibir bergetar, suaranya serak penuh emosi.
"Tidak ingin bertunangan dengan pria yang hanya bermain denganmu."
Maximilian terdiam. Jemarinya meremas kertas itu begitu erat, hingga hampir robek. Rahangnya mengeras, dan matanya menyala dengan campuran luka dan kemarahan.
"Cat Liu..." bisiknya, suaranya rendah tapi tajam. "Aku membencimu..."
"...dan aku akan mencarimu sampai dapat!Pergi di hari pertunangan adalah satu penghinaan bagiku!"
Botol di tangannya ia lemparkan ke dinding, pecah berkeping-keping, memantulkan sinar lampu seperti serpihan amarahnya sendiri.
Dalam hatinya, Maximilian tahu—antara benci dan cinta, perasaannya pada Cat Liu telah berubah menjadi benci yang tak bisa lagi ia lepaskan.
smgat thor, up bnyk2 dong thor, tq!
thor smngat🫰di tnggu trs ni