Seorang gadis yang di paksa orang tuanya untuk menikah muda untuk melindunginya dari masa lalu yang terus menganggunya. Namun siapa sangka jika gadis itu di jodohkan dengan seorang pemuda yang menjadi musuh bebuyutannya. Lalu bagaimana pernikahan mereka akan berjalan jika mereka saling membenci?mungkin kah cinta akan tumbuh dalam diri mereka setelah kebersamaan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ella ayu aprillia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Revan membawa Gisella masuk ke ruangan yang jarang di kunjungi oleh murid - murid lain.
Di dalam sana suasana begitu riuh karena Gisella yang tidak bisa berhenti mengoceh ini dan itu hingga terpaksa Revan menutup mulut Gisella dengan tangannya. Jarak yang begitu dekat membuat keduanya diam membeku dengan jantung yang berdebar kencang. Revan mencoba memancing Gisella apakah gadis itu bicara bahwa dia harus pulang bersamanya.
Namun tampaknya rasa gengsi lebih besar dari pada keselamatannya sendiri.
"Hmm..oke kalau gitu gue pulang duluan." Ujar Revan seraya membuka pintu. Namun belum sempat memutar knop pintu Gisella berucap. "Ck..elo pasti udah tahu kan kalau papa suruh gue pulang sama elo."ujarnya akhirnya. Ia sudah tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaan papanya.
"Hmmm...gue pikir elo akan gengsi bilang kalau akan pulang sama gue."
"Ck..nggak usah geer, kalau bukan karena papa gue juga ogah pulang sama elo."tuturnya.
"Ya udah yuk balik.."
"Eh..tapi.."
Revan menghentikan langkahnya kembali.
"Tapi apa lagi, ini sekolah udah mulai sepi. Elo mau di sini terus sampai kakak atau papa elo jemput elo di sini." Kesal Revan karena Gisella selalu mengulur - ngulur waktu.
" gue nggak mau yang lain tahu kalau gue pulang sama elo."ujarnya pelan.
"Sekolah udah sepi, tinggal guru - guru aja yang belum pulang."jawab Revan datar.
"Elo tahu dari mana? Kan elo dari tadi disini sama gue. Gimana bisa elo bilang kalau semua murid udah pulang."cecar Gisella. Revan mengusap wajahnya gusar, " elo tuh cerewet juga ya ternyata. Sekarang intinya elo mau pulang atau nggak? Kalau nggak gue tinggal."
Revan melangkah keluar dengan penuh percaya diri sedangkan Gisella tampak semakin gelisah. Ia takut kalau masih ada murid yang akan memergoki dirinya pulang bersama Revan. Orang yang di kenal sebagai musuh bebuyutannya. Dimana ada Revan dan Gisella maka disitu akan ada keributan. Untuk beberapa detik Gisel tampak diam tidak melangkah keluar hingga terdengar teriakan Revan dari arah luar. "Kalau elo nggak keluar gue beneran tinggalin elo disini."teriaknya.
Sontak Gisel pun berlari mengikuti langkah Revan menuju parkiran. Dan benar saja, sekolah sudah sepi dan hanya tinggal guru - guru yang masih berada di sekolah.
Sesampainya di parkiran Revan melepaskan jaketnya laku diberikan kepada Gisella.
"Nih pake, gue nggak mau elo masuk angin gara - gara naik motor gue dan gue yang di salahin sama keluarga elo." Ujarnya seraya menyerahkan jaketnya. Gisella menerima jaket itu lalu memakainya. Gisel dapat menghirup aroma parfum yang di pakai oleh Revan dan membuatnya semakin berdebar.
Ia merasa seperti tengah di peluk oleh pemuda itu. "Nih pake juga helm nya."
"Jangan, elo pake aja kan elo yang di depan. Bahaya kalau elo nggak pake helm. Tar kalau kecelakaan gue juga yang kena."
"Udah pake aja yang banyak bantah."ucapnya lalu memasangkan helm tersebut ke kepala Gisella. Gadis itu tampak diam, ia tidak menyangka jika Revan begitu perhatian kepadanya. Hatinya merasa menghangat mendapat perhatian dari Revan.
"Tapi ini bahaya buat elo, kan elo yang di depan."
Revan tak menggubris ucapan Gisella. Ia naik ke atas motornya namun tak lama ponselnya berdering.
Ia mengeluarkan ponselnya di dalam saku dan melihat nama bunda memanggil.
"Hallo bun."sapa nya setelah ia menekan tombol hijau.
"Sayang, kamu ajak Gisel kerumah ya,"pintanya.
"Ada apa bun..?"
" nggak papa bunda hanya ingin ngobrol aja sama Gisella. Bunda juga ingin bahas pernikahan kalian."
"Hmm...iya bun."
Panggilan terputus,Revan memasukan kembali ponselnya lalu mulai menyalakan mesin.
"Ayo naik,elo mau pulang nggak? Kalau nggak gue tinggal." Ujarnya seraya memainkan gas.
"Sorry." Ucap Gisella saat akan memegang pundak Revan untuk tumpuan saat akan naik motor.
Motor pun melaju dengan cepat menyusuri jalanan ibu kota. Gisella tampak memejamkan mata saat Revan menambah kecepatannya. Ini untuk pertama kalinya ia naik motor, angin kencang menerpa tubuh dan wajahnya. Ia tersenyum kecil, ia merentangkan kedua tangannya menikmati angin dan pengalaman pertamanya ini. Revan melihat dari spion, ia tersenyum kecil melihat tingkah Gisella yang seperti anak kecil yang baru terbebas dari kurungan.
"Elo ngapain? Tangan elo itu bahaya nanti kalau kena kendaraan lain."teriak Revan tanpa menoleh.
"Sorry gue terlalu seneng, elo tahu nggak kalau ini pengalaman pertama gue naik motor. Selama ini papa dan kak Marcel selalu larang gue naik motor sendiri atau ojek atau angkutan umum."balasnya.
"Serius ini pertama kali elo naik motor? Seorang Gisella Bagaskara baru pertama kali naik motor."
"Ck...nggak usah ngejek deh lo.. gue tuh juga kesel, gue pengen kaya orang lain yang di kasih kebebasan orang tuanya untuk memilih jalannya sendiri."
Celetuk Gisella yang tanpa sadar mencurahkan isi hatinya. Revan tersenyum tipis melihat raut wajah Gisella yang tampak cemberut namun terlihat menggemaskan dengan pipi chubby dan bibirnya yang maju lima centi. "Orang tua elo bukanya nggak mau kasih elo kebebasan tapi mereka nggak mau elo celaka atau terjerumus ke hal - hal buruk."
Gisella terdiam, membenarkan apa yang diucapkan oleh Revan. Matanya menatap ke arah jalanan yang tidak mengarah ke rumahnya. "Ini kita mau kemana? Elo mau culik gue? Ternyata bener ya apa yang di katakan kak Marcel kalau kita nggak boleh percaya sama orang asing dan nggak boleh naik angkutan umum. Dan ternyata benar kalau kita nggak tahu kalau mereka punya rencana buruk sama kita. Berhenti, gue mau turun di sini. Atau gue teriak ya biar semua orang tahu kalau elo mau culik gue."
Gisella mengguncang tubuh Revan hingga membuat ia sedikit oleng. "Ck...berisik banget sih elo bisa diem nggak?" Amuk Revan kesal mendengar tuduhan tak berdasar itu. "Lagian siapa juga yang akan culik cewek berisik kaya elo. Yang ada kepala gue pusing tiap hari dengerin suara elo."keluhnya.
"Lha trus ini buktinya apa? Ini bukan jalan arah rumah gue. Turunin gue,atau gue teriak."teriak Gisella lagi dengan wajah menahan tangis. Ia ingat kata - kata Marcel kalau saat dia di culik bisa saja ginjalnya di ambil atau tubuhnya di mutilasi.
Gisella mulai menangis,ia memegang jaketnya kuat - kuat. Revan melihat itu semua lalu menghela napas panjang. Ia melihat Gisella benar - benar ketakutan.
"Kita mau kerumah gue, bunda tadi telepon katanya mau ketemu sama elo.Dasar cengeng."ejeknya.
Gisella tampak merengut, "Kenapa elo nggak bilang dari tadi kalau mau kerumah elo. Kalau gitu kan gue nggak harus ngerasa takut kaya gini."kesalnya.
"Gimana mau bilang kalau mulut elo aja nyerocos mulu kaya mercon."sahutnya lagi menahan tawa.
Gisella memukul lengan Revan "ih dasar nyebelin elo. Rese, gue kesel sama elo dasar nyebelin."amuk Gisella terus memukul Revan.
"Stop Sel, bahaya ini nanti dimarahin kendaraan lain."seru Revan mencoba mempertahankan keseimbangannya.
Saat di lampu merah, Gisel masih terus memukuli Revan dan tanpa mereka sadari di dalam mobil ada yang mengamati mereka berdua.
"Itu bukannya Revan.. dia boncengan sama siapa?
Brengsek, katanya nggak ada yang boleh naik di jok motornya tapi sekarang. Gue harus cari tahu siapa cewek itu."gumamnya sendiri.