Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 - Menciumnya?
Tidak, aku tidak ingin sampai menimbulkan kesalahpahaman lagi, terutama di depan banyak orang seperti ini. Will juga belum pernah bilang kalau dia menyukaiku. Ia pasti punya maksud lain.
Sebelum terlambat, aku pun segera menunduk dan melepaskan dekapan tangannya. Tapi, bukannya kecewa atau sedih karena reaksiku barusan, William justru kembali tersenyum. Ia kemudian menegakkan badan dan mundur satu langkah seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan gerakan santai. Sungguh. Aku sama sekali tidak mengerti apa tujuannya melakukan ini kepadaku.
"Maaf, ini tempat umum. Aku-"
"Kau mau makan?" selanya memotong kalimatku yang belum selesai. Ia sekarang malah mengalihkan topik pembicaraan.
Aku hanya melongo di tempat, bingung respon apa yang harus kuberikan padanya.
"Kau juga tadi sudah lapar, bukan? Kita belum sempat makan apa-apa sejak datang kemari."
"Ah, y-ya." Kuangkat pandanganku lagi, menatapnya dengan jengah. "Kau mau menemaniku mengambil makanan?"
Ia mengangguk lantas mempersilakanku berjalan duluan menuju area prasmanan.
Kami memilih beberapa kue dan juga puding beraneka macam rasa. Will membawakan piringku selagi aku mengambil minuman baru yang tidak mengandung alkohol. Hidungku masih terasa agak perih gara-gara tersedak wine sebelum berdansa tadi. Lagian yang benar saja. Membayar seluruh biaya prasmanan sekaligus sewa karpet? Itu pemerasan namanya! Setelah mengambil makanan sekaligus minuman, aku dan William pun kembali duduk di meja kami yang sebelumnya.
"Kemarin malam, kau bilang ingin mengatakan sesuatu padaku. Ada apa?" tanyaku berusaha mencarikan suasana yang kikuk ini.
Will terdiam sejenak. Air mukanya tiba-tiba berubah menjadi khawatir. "Ya, ada sesuatu yang membuatku tidak tenang belakangan ini. Dan setelah kupikir-pikir, sepertinya aku juga butuh bantuanmu," ungkapnya dengan nada risau. "Apa ... kali ini kau bersedia membantuku?"
"Yeah, tentu saja. Aku akan membantumu semampu yang aku bisa."
William justru kembali terlihat ragu. Ia beberapa kali berdeham sembari menyentuh hidung mancungnya. "Kalau begitu, maukah kau menyelesaikan satu soal ini untukku?" pintanya seraya memberikanku sepotong kertas.
Aku segera membuka kertas itu dan ternyata di dalamnya cuma ada tulisan: 6x-8i > 3(2x-8u).
Keningku sontak berkerut melihatnya. Soal matematika? Apa tidak salah? William 'kan lebih jenius daripada aku, tapi kenapa dia malah meminta bantuanku hanya untuk menyelesaikan sebuah soal matematika?
"Will, ini-?" Aku mengulum bibirku dengan bingung. "Kau yakin?"
"Ya, aku yakin kau pasti bisa menyelesaikannya."
"Bukan. Maksudku, kita tidak sedang bercanda, 'kan? Kau barusan meminta bantuanku cuma untuk menyelesaikan soal matematika ini?"
"Kenapa? Apakah soalnya terlalu sulit?"
"Tidak, aku hanya ingin memastikan permintaanmu supaya tidak salah."
William mengamati wajahku sesaat lalu beralih pada sepotong kertas yang sudah ia berikan. "Aku tahu kau pasti merasa heran. Tapi, semua pertanyaanmu itu akan terjawab setelah kau berhasil menyelesaikannya."
"Semua pertanyaanku?" Kugaruk pelan pelipisku sembari berupaya mencerna kata-katanya. "Umm, baiklah. Kalau memang begitu, biar aku coba kerjakan sekarang."
"Tidak. Jangan kerjakan di sini. Tolong selesaikan saat kau sampai di rumah saja. Mungkin kau membutuhkan lebih banyak waktu untuk menemukan jawaban yang tepat," lanjutnya memberitahu.
Aku pun mengiyakan.
***
Walau aula yang megah ini sedang dalam kondisi cukup ramai, pupil mataku masih tetap bisa menangkap keberadaan dari seorang cowok berambut cokelat keemasan itu. Steve terlihat sedang duduk sendirian sembari bertumpang kaki di area mini bar sebelah pintu masuk. Lengan kanannya menyangga ke sisi meja, ditemani segelas champagne yang sudah hampir habis. Aku merasa sorot matanya masih tertuju padaku dan William sejak awal pesta ini dimulai.
Selang beberapa saat kemudian, Chloris turun dari atas panggung. Ia langsung berlari menghampiri cowok itu setelah selesai mengobrol dengan teman-teman segengnya.
"Hai!" sapa Chloris seraya duduk di bangku kosong sebelahnya. "Kau sendirian?"
Steve menaruh gelas yang tadi dipegangnya ke meja bar. "Yeah, aku sedang menunggumu."
"Benarkah?" Ia tersenyum. Lalu, bersandar di bahu cowok itu. Jemari lentiknya bermain-main nakal di atas punggung tangan Steve dengan sentuhan yang menggoda. "Well, bagaimana kalau kita menghabiskan malam yang spesial ini bersama?"
Steve membasahi bibir bawahnya. Bola matanya mengikuti gerakan jemari gadis itu. "Tentu saja. Apa yang tidak bisa kuberikan untukmu, Nona?" balasnya seraya menggandeng Chloris ke tengah-tengah aula untuk berdansa.
Sudah tak dapat diragukan lagi, keduanya memang tampak serasi seperti kisah pasangan Elizabeth Bennet dan Darcy yang melegenda. Namun, bedanya mereka berdua sama-sama berasal dari keluarga miliarder.
Chloris memang selalu pandai dalam mencuri perhatian. Ia termasuk salah satu tipe cewek yang paling digemari oleh cowok-cowok di high school. Aku tidak tahu apakah cowok dingin sejenis William juga menyukai cewek populer seperti dia atau tidak. Tapi kalau iya, berarti pesona Chloris sungguh tidak main-main.
"Oh, Steve. Apa kau tahu? Aku selalu mendambakan momen indah ini sejak dulu." Chloris tampak bahagia. Kutebak suasana hatinya saat ini pasti sedang berbunga-bunga. "Kuharap kau juga merasakan hal yang sama denganku."
"Ya, aku juga senang sekali bisa berdansa bersamamu. Kau terlihat sangat cantik malam ini. Lebih cantik dari apa yang kubayangkan." Steve membalas dengan jurus andalannya-menggombal. Ia membelai wajah Chloris. Mulai dari tulang pipi, rahang, kemudian berhenti di dagu runcingnya.
Suara tepuk tangan dan sorak riuh penonton pun ikut menggema ke seisi ruangan.
Pantas saja dia dijuluki sebagai playboy kelas kakap di sekolah. Jangankan mulut manis, suara nyaring dari langkah sepatunya pun bisa membuat banyak cewek mabuk kepayang dengannya. Namun, syukurlah semua itu tidak berlaku untukku. Aku selalu mewanti-wanti agar tidak terjerumus ke dalam lubang buaya darat sepertinya.
"Kau memang selalu berhasil membuatku terkesima, Babe. Aku merasa beruntung bisa menyukaimu," ungkap Chloris seraya merangkul tengkuk cowok itu dengan kedua tangannya.
Steve pun mengangguk bangga karena rayuannya telah berhasil memikat hati cewek bergaun merah bata itu. "Tapi, ada satu hal penting yang harus kau tahu, Chloe. Menyukaiku bukanlah sebuah pilihan yang mudah karena sayangnya ..." ia kemudian mendekatkan bibirnya ke daun telinga Chloris, "wajah cantikmu itu masih belum cukup untuk menaklukkan hatiku. Sangat membosankan."
Chloris langsung terdiam. Senyumnya luntur seketika. Tanpa berkata apa-apa lagi, cewek itu segera melepaskan rangkulannya dari tengkuk Steve dengan tatapan kecewa. Harga dirinya seperti sudah diinjak-injak di hadapan banyak orang. Meskipun Steve hanya berbisik, tetap saja kalimat itu benar-benar tepat sasaran menusuk hati.
Steve hanya mendengkus sambil menyunggingkan seringaian mengejek. Ia lalu berbalik dan malah tersenyum padaku. "Hen, cepat kau panggil James. Kita akan bersenang-senang malam ini," katanya kepada Henry yang berdiri tidak jauh dariku.