NovelToon NovelToon
Regresi Sang Raja Animasi

Regresi Sang Raja Animasi

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Bepergian untuk menjadi kaya / Time Travel / Mengubah Takdir / Romantis / Romansa
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Chal30

Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.

Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?

Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15

Bulan ketiga produksi membawa masalah yang lebih kompleks dari sekadar cedera fisik atau kelelahan. Kali ini, masalahnya adalah kreatif, konflik visi yang mulai muncul di antara anggota tim.

Sore itu, meeting review untuk urutan ketiga film berlangsung dengan atmosfer yang tegang. Kael memutar animatik kasar di proyektor, urutan di mana Sang Penjaga pertama kali bertemu dengan anak kecil yang tersesat di hutan.

Ketika proyeksi selesai, hening melanda ruangan. Tidak ada yang langsung memberikan komentar, tanda yang tidak bagus dalam meeting kreatif.

Akhirnya Rani yang membuka suaranya, nada bicaranya hati-hati tapi jelas ada sesuatu yang mengganjal. "Kael, gue rasa… timing di scene ini terlalu cepat. Anak kecil-nya langsung ketemu Sang Penjaga dalam tiga puluh detik. Gak ada build-up. Gak ada tension."

Kael mengernyit, tidak langsung defensive tapi juga tidak langsung setuju. "Gue sengaja bikin cepat karena kita udah limited dengan durasi. Kalau kita spending terlalu banyak waktu di build-up, nanti act duanya gak cukup ruang untuk mengembangkan."

"Tapi kalau gak ada tensi, audiens gak bakal diinvestasikan sama pertemuan mereka. Ini momen penting. Ini harus punya berat," Rani bersikeras dengan nada yang mulai naik sedikit, tangannya mengepal di atas meja menunjukkan dia serius dengan pendapatnya.

Dimas yang dari tadi diam, akhirnya ikut berbicara dengan nada yang mencoba menjadi mediator. "Gue ngerti poin kalian berdua. Kael peduli sama pacing keseluruhan, Rani peduli sama dampak emosional. Mungkin… kita bisa cari jalan tengah? Kita memperpanjang scene ini lima belas detik aja. Cukup untuk kasih tensi tanpa mengorbankan pacing keseluruhan."

Kael terdiam, pikirannya bekerja cepat mengevaluasi saran Dimas. Di kehidupan sebelumnya, ia akan langsung membela keputusannya dan memaksa tim mengikuti visinya. Tapi sekarang, ia belajar untuk lebih terbuka, mendengarkan feedback dan mengakui kalau mungkin ia tidak selalu benar.

"Lu bener, Ran. Gue terlalu fokus sama struktur sampai lupa soal emotional beat. Kita revisi. Kita perpanjang scene ini, tambah beberapa moment di mana anak kecil-nya explore hutan dulu sebelum ketemu Sang Penjaga. Membangun antisipasi." Kael mengakui sambil mengangguk, suaranya tenang tanpa ada nada defensive yang biasanya muncul ketika seseorang harus mengakui kesalahan.

Rani menatap Kael dengan tatapan terkejut yang bercampur lega. "Serius? Lu gak marah gue kritik?"

"Kenapa harus marah? Lu kasih kritik yang konstruktif. Lu peduli sama kualitas film kita. Itu yang gue mau dari tim, orang-orang yang berani speak up kalau ada yang gak beres. Bukan yes man yang cuma ngikutin apa kata gue." Kael menjawab sambil tersenyum tulus, matanya menatap Rani dengan penuh penghargaan yang membuat gadis itu tersenyum malu.

Meeting dilanjutkan dengan atmosfer yang jauh lebih rileks. Mereka mendiskusikan detail-detail kecil, dari blocking karakter, angle kamera, sampai sound design yang akan memperkuat dampak emosional scene tersebut.

"Gimana kalau kita tambahin scene anak kecil itu denger suara aneh di kejauhan? Kayak whisper yang misterius. Bikin dia dan audiens penasaran. Terus dia ikutin suara itu sampai akhirnya ketemu Sang Penjaga." Budi memberikan ide sambil mendemonstrasikan dengan suara yang dibuat bisikan misterius, tangannya bergerak-gerak seperti sedang mengarahkan sound wave.

"Ide bagus! Itu bisa jadi audio isyarat yang bikin transisi lebih smooth. Gue suka." Kael langsung mencatat di bukunya dengan antusias yang menular ke seluruh ruangan.

Agus yang dari tadi mendengarkan dengan serius, mengangkat tangan seperti anak sekolah yang mau bertanya. "Mas Kael, kalau kita perpanjang scene ini, berarti kita harus cut scene lain dong? Biar durasi keseluruhan tetep sesuai target?"

"Betul. Kita review lagi semua urutan, cari mana yang bisa dipangkas tanpa ngerusak flow cerita. Mungkin ada beberapa moment yang berulang atau bisa dibikin lebih efisien." Kael menjelaskan sambil membuka garis waktu lembar kerja produksi yang penuh dengan highlight warna-warni, matanya scanning setiap baris dengan fokus tinggi.

Mereka menghabiskan sisa sore itu untuk urutan restrukturisasi demi urutan, memastikan setiap detik dari dua puluh menit film mereka punya purpose yang jelas. Tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang terasa dipaksakan.

Ketika meeting selesai, Rani menghampiri Kael yang sedang merapikan notenya. "Makasih udah dengerin gue tadi, Kael. Gue tau lu punya visi yang kuat. Gue takut lu bakal nganggep gue sok tau."

Kael berhenti merapikan dan menatap Rani dengan serius. "Ran, dengerin gue baik-baik. Lu bukan sok tau. Lu punya perspektif yang berbeda, dan justru itu yang kita butuhin. Kalau semua orang cuma setuju sama gue tanpa mikir, film kita bakal datar. Boring. Lu kasih depth dengan mempertanyakan keputusan gue. Jangan pernah takut untuk speak up, okay?"

Rani mengangguk sambil tersenyum, senyum yang penuh dengan rasa lega dan kebahagiaan. "Okay. Gue janji bakal terus kasih feedback yang jujur."

"Bagus. Itu yang aku inginkan." Kael menepuk bahu Rani dengan lembut sebelum kembali merapikan barang-barangnya, tidak menyadari bahwa Rani menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam dari sekadar rasa hormat profesional.

Minggu berikutnya, mereka shooting live referensi untuk beberapa scene yang membutuhkan gerakan natural. Kael menyewa kamera video bekas dengan harga murah dari rental langganan mereka, lalu mereka pergi ke taman kecil di pinggiran Jakarta yang masih punya pohon-pohon besar dan suasana yang mirip dengan hutan dalam film mereka.

"Sari, lu jadi anak kecil-nya. Lu paling cocok karena paling pendek dan kecil di antara kita semua." Budi mengusulkan sambil tertawa, membuat Sari langsung protes dengan wajah merah.

"Bud, gue udah dua puluh tahun! Gue bukan anak kecil lagi!" protesnya sambil memukul lengan Budi dengan main-main, tapi tetap mau jadi model karena memang tubuhnya yang kecil cocok untuk referensi.

Mereka menghabiskan sepanjang siang itu untuk merekam berbagai gerakan, Sari berjalan hati-hati di antara akar pohon, berlari ketakutan, jatuh lalu bangkit lagi, dan berbagai ekspresi wajah dari penasaran sampai takut. Dimas yang memang jago observasi gerakan, mencatat detail-detail kecil yang bisa ditranslate ke animasi, cara Sari menggerakkan tangannya untuk menjaga keseimbangan, cara ia menoleh cepat ketika mendengar suara, dan cara matanya membesar ketika melihat sesuatu yang mengejutkan.

"Perfect! Lu natural banget, Sar. Gak kayak akting sama sekali." Kael memberikan tepuk tangan setelah take terakhir, wajahnya penuh dengan kepuasan melihat hasil yang mereka dapatkan.

Sari tertawa sambil membersihkan debu dari celananya. "Soalnya gue emang beneran takut tadi. Ada ulat bulu di pohon itu dan hampir kena gue."

"Ulat bulu?" Rani langsung menjauh dari pohon dengan ekspresi jijik yang berlebihan. "Kenapa gak bilang dari tadi?!"

Mereka semua tertawa, momen ringan yang sangat dibutuhkan di tengah tekanan produksi yang semakin berat. Momen seperti ini yang membuat mereka ingat kenapa mereka melakukan ini, bukan hanya untuk sukses atau pengakuan, tapi karena mereka menikmati prosesnya, menikmati kebersamaan, dan menikmati setiap detik dari journey gila ini.

Kembali ke studio dengan rekaman video yang cukup, mereka mulai fase animation yang paling intensive. Setiap frame digambar dengan sangat hati-hati, mengikuti live referensi tapi tetap ditambahkan dengan berlebihan yang membuat gerakan terasa lebih ekspresif dan hidup.

Kael mengajari teknik-teknik yang seharusnya belum ada di Indonesia tahun ini, teknik timing yang ia pelajari dari buku-buku animasi klasik Disney dan Ghibli yang ia baca di kehidupan sebelumnya. Cara membuat gerakan terasa punya berat dengan mengatur jarak antar frame, cara membuat ekspresi wajah yang tak kentara tapi powerful, dan cara menggunakan gerakan sekunder untuk menambah realism.

"Lihat ini. Kalau rambut anak kecil-nya bergerak sedikit terlambat dari gerakan kepala, itu bikin animasi terasa lebih natural. Ini yang disebut follow-through dan overlapping action." Kael menjelaskan sambil menggambar beberapa frame di papan tulis, tangannya bergerak cepat tapi presisi menunjukkan timing yang tepat.

Agus menatap demonstrasi itu dengan mata berbinar, otaknya menyerap informasi dengan cepat seperti spons. "Mas Kael, lu belajar ini dari mana sih? Gue di sekolah seni gak pernah dapet pelajaran sedetail ini."

"Baca buku. Nonton film. Observasi kehidupan sehari-hari. Semua orang bisa belajar kalau mau effort." Kael menjawab sambil tersenyum, tidak mau terlalu menjelaskan karena takut pertanyaan akan mengarah ke hal-hal yang tidak bisa ia jelaskan, seperti kenapa ia tahu teknik-teknik yang seharusnya belum populer di era ini.

Malam itu, ketika semua orang sudah pulang kecuali Kael dan Rani yang masih menyelesaikan beberapa frame terakhir untuk deadline mingguan.

"Kael, lu pernah ngerasain gak… kayak hidup lu ini bukan hidup pertama lu?" tanya Rani tiba-tiba dengan suara pelan yang hampir tenggelam dalam keheningan studio.

Kael hampir menjatuhkan pensilnya. Jantungnya berdegup keras. "Maksud lu apa?"

"Gak tau. Kadang gue merasa lu tau terlalu banyak hal yang seharusnya gak mungkin lu tau. Lu ngerti industri dengan cara yang bukan dari buku atau observasi biasa. Lu punya… wisdom yang gak sesuai sama umur lu." Rani menatap Kael dengan tatapan yang penuh dengan rasa ingin tahu tapi juga kehangatan, tidak menuduh tapi bertanya dengan tulus.

Kael terdiam lama. Bagian dalam dirinya ingin jujur, ingin cerita tentang kehidupan sebelumnya, tentang kesalahan-kesalahan yang ia buat, dan tentang kesempatan kedua yang ia dapat entah dari mana. Tapi bagian lain dari dirinya tahu bahwa kebenaran itu terlalu besar, terlalu aneh, dan mungkin akan mengubah cara orang-orang melihatnya.

"Mungkin gue cuma… pernah banyak lihat dan dengar dari orang lain. Pernah baca banyak kisah tentang orang-orang yang sukses dan gagal. Dan gue belajar dari mereka." Kael menjawab dengan hati-hati, tidak sepenuhnya bohong tapi juga tidak sepenuhnya jujur.

Rani menatapnya sebentar lagi, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik mata Kael. Lalu ia tersenyum kecil. "apapun itu, gue bersyukur lu ada di sini. Bersyukur lu jadi leader kita. Karena tanpa lu, kita semua gak akan sampai sejauh ini."

"Tanpa kalian juga, gue gak akan kemana-mana, Ran. Ini bukan soal gue. Ini soal kita semua." Kael menjawab dengan tulus, suaranya bergetar sedikit karena emosi yang ia coba sembunyikan tapi tidak sepenuhnya berhasil.

Mereka kembali ke pekerjaan masing-masing dalam keheningan yang nyaman, keheningan yang tidak perlu diisi dengan kata-kata karena mereka sudah saling mengerti dengan cara yang lebih dalam dari sekadar percakapan.

Pukul dua pagi, ketika frame terakhir selesai, mereka berdua duduk di lantai dengan punggung bersandar di dinding, menatap tumpukan kertas gambar yang sudah selesai dengan perasaan puas yang luar biasa.

"Kita udah setengah jalan, Ran. Dua bulan lagi, film ini selesai." Kael berbicara sambil tersenyum lelah, matanya menatap langit-langit dengan pandangan yang jauh.

"Dan kita bakal submit ke festival Singapura. Kita bakal nunjukin ke dunia bahwa Indonesia punya animator yang gak kalah dari luar negeri." Rani menambahkan dengan suara yang penuh dengan harapan dan kebanggaan.

"Apapun yang terjadi, menang atau kalah, gue bangga sama apa yang kita bikin. Ini karya yang jujur. Karya yang keluar dari hati. Dan itu yang paling penting." Kael menatap Rani dengan senyum tulus yang membuat gadis itu merasa hangat di dadanya.

"Gue juga bangga, Kael. Bangga jadi bagian dari ini semua." Rani membalas sambil tersenyum, air matanya hampir keluar tapi ia tahan dengan kuat.

Mereka duduk di sana dalam keheningan yang damai sampai subuh mulai menyingsing, dua anak muda yang sedang mengejar mimpi dengan segala keterbatasan yang mereka punya, tapi dengan hati yang penuh dengan harapan dan tekad yang tidak pernah padam.

1
Syahrian
🙏
Syahrian
😍🙏
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍🙏
Revan
💪💪
Syahrian
Lanjut thor
Kila~: siap mang💪
total 1 replies
pembaca gabut
thorr lagi Thor asik ini 😭
±ηιтσ: Baca karyaku juga kak
judulnya "Kebangkitan Sima Yi"/Hey/
total 2 replies
pembaca gabut
asli gue baca ni novel campur aduk perasaan gue antara kagum dan takut kalo kael dan tim gagal atau ada permasalahan internal
Syahrian
Lanjut thor👍👍
Revan
💪💪💪
Revan
💪💪
Syahrian
Tanggung thor updatenya🙏💪👍
Kila~: udah up 3 chapter tadi bang/Hey/
total 1 replies
Syahrian
🙏👍👍
Kila~: makasii~/Smile/
total 1 replies
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍
Syahrian
Lanjut 👍😍
Kila~: sudah up 2 chapter nih
total 1 replies
Syahrian
Lanjuut🙏
Kila~: besok up 3 chapter 😁
total 1 replies
Syahrian
Mantap💪🙏
Kila~: terimakasih bang/Rose/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!