Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diagnosis Sang Transhuman
Bau antiseptik menyengat hidung, memudar samar di bawah aroma kopi yang baru diseduh. Rohim menatap langit-langit putih ruang perawatan medis, pikirannya masih berkelana jauh di samudra. Kilatan cahaya aneh dari telapak tangan Fitriani saat penyelamat mendekat masih terbayang jelas. Itu bukan ilusi. Itu nyata. Dan itu adalah awal dari babak baru yang tak terbayangkan.
Tak terasa, setelah pendaratan brutal di permukaan laut, mereka kini berada di ruangan steril sebuah fasilitas medis ISTC yang sangat dirahasiakan. Selimut tebal menyelimuti tubuh mereka yang basah kuyup, kini bersih dan hangat. Shalih dan Humairah tertidur pulas di ranjang medis kecil di samping mereka, napas mereka teratur, polos tanpa beban setelah semua kengerian yang mereka alami. Rohim membelai lembut rambut Shalih, merasakan kelegaan yang luar biasa.
Fitriani duduk di ranjang sebelahnya, tubuhnya masih terasa lemas, namun matanya memancarkan ketidakpastian. Hijab instan berwarna putih polos yang baru ia kenakan, tampak bersih membingkai wajahnya yang pucat. Ia menatap telapak tangannya sendiri, seolah mencoba memanggil kembali cahaya perak yang tadi terpancar.
"Yah... itu tadi... apa yang terjadi?" bisiknya pelan, suaranya parau, menoleh ke Rohim. Trauma dan kebingungan masih tergambar jelas di matanya.
Rohim menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku juga enggak tahu, Bu. Tapi kita hidup. Itu yang terpenting," jawabnya, mencoba menenangkan. Ia merasakan getaran aneh di bawah kulitnya, seperti denyutan energi yang beresonansi dengan detak jantungnya. Sensasi hangat yang mengalir di nadinya itu terasa asing, namun tidak menyakitkan.
Pintu ruangan terbuka. Seorang pria paruh baya mengenakan jas lab putih bersih masuk, diikuti oleh Miss Armstrong yang berwajah serius. Pria itu memiliki rambut yang sebagian besar sudah memutih, kacamata bertengger di hidirnya, dan sorot mata yang tajam namun terlihat lelah. Dialah Dr. Aris, kepala tim medis dan peneliti anomali di ISTC.
"Selamat pagi, Keluarga Wiratama," sapa Dr. Aris dengan suara tenang, namun ada nada keingintahuan yang kentara. Ia membawa sebuah tablet data yang menyala terang. "Saya Dr. Aris. Kami sudah melakukan pemeriksaan awal pada kalian. Dan jujur saja... kami terkejut."
Fitriani menelan ludah. "Terkejut kenapa, Dokter?" tanyanya, suaranya bergetar. Firasat buruk mulai merayap.
Dr. Aris menatap Rohim, lalu Fitriani, pandangannya beralih ke Shalih dan Humairah yang masih terlelap. "Secara medis, kalian seharusnya tidak selamat. Tidak ada luka serius, tidak ada cedera internal, tidak ada indikasi syok gravitasi yang parah. Ini... di luar nalar medis." Ia mengambil napas dalam, menyesuaikan kacamatanya.
Miss Armstrong, yang berdiri di samping Dr. Aris, mengangguk. "Kami semua berduka atas apa yang terjadi pada Artemis IV. Tapi keberlangsungan hidup kalian adalah sebuah keajaiban yang harus kami pahami." Ekspresinya menunjukkan campur aduk antara kesedihan mendalam dan ketertarikan ilmiah yang kuat.
Dr. Aris berjalan mendekat, tatapannya kini lebih intens. "Dari data pemindaian awal yang sangat detail, kami menemukan sesuatu yang belum pernah tercatat dalam riwayat medis manusia." Ia menunjuk tablet-nya, menampilkan gambar-gambar yang tampak seperti scan tubuh mereka. Ada pola-pola aneh yang berpendar di dalam organ mereka, seperti jaringan saraf tambahan yang bercahaya samar.
"Pada Tuan Rohim," Dr. Aris menunjuk salah satu gambar, "kami mendeteksi adanya penyerapan energi foton dan termal dalam jumlah yang tidak masuk akal. Sel-sel tubuh Anda, terutama di area saraf dan otot, menunjukkan kemampuan untuk menyimpan dan memancarkan energi panas dari spektrum matahari. Ini seperti... Anda memiliki inti fusi mini di dalam diri Anda. Penyerapan energi matahari ini juga menjelaskan mengapa stamina Anda tidak berkurang signifikan pasca-kejadian. Secara fisika, ini adalah fenomena yang melanggar hukum kekekalan energi standar."
Rohim terkesiap. Inti fusi mini? Ini gila. "Itu... itu yang menyebabkan saya bisa mengeluarkan panas dan mendorong kapsul tadi?" tanyanya, matanya membulat tak percaya. Ia merasakan tangannya memanas samar.
"Sangat mungkin," jawab Dr. Aris, mengangguk. "Energi itu tersalurkan melalui medan elektromagnetik tubuh Anda. Anda memiliki potensi untuk memanipulasi energi matahari—mengeluarkan panas, bahkan mungkin menciptakan elemen api atau cahaya terang. Ini adalah manifestasi energi termal yang terkonsentrasi."
Kemudian, Dr. Aris beralih ke Fitriani. "Pada Nyonya Fitriani, kami menemukan anomali yang berbeda namun tak kalah mencengangkan. Tubuh Anda mampu menyerap dan memanipulasi partikel cahaya dengan panjang gelombang yang sangat spesifik, terutama yang terkait dengan cahaya bulan. Ini bukan hanya refleksi, tapi manipulasi aktif. Kami melihat jejak gelombang bioluminescent yang dipancarkan oleh sel-sel kulit Anda, terutama dari ujung jari, yang dapat memanipulasi persepsi visual di sekitar Anda. Medan energi pelindung yang Anda ciptakan di bawah air tadi adalah hasil dari resonansi partikel-partikel cahaya ini, membentuk perisai fotonik."
Fitriani menggenggam tangannya erat, merinding. "Jadi... cahaya perak itu... dari saya?"
"Tepat. Dan kemampuan penyembuhan ringan yang Anda rasakan, atau mungkin berikan pada Humairah saat itu, kemungkinan besar berasal dari transfer energi fotonik ini ke sel-sel yang rusak, mempercepat regenerasi pada tingkat sub-atomik," jelas Dr. Aris, tatapannya serius. "Ini adalah fenomena yang kami sebut sebagai photonic-cellular synergy."
Rohim menatap istrinya, lalu dirinya sendiri. Ini bukan lagi sekadar firasat atau sensasi aneh. Ini adalah diagnosis ilmiah dari kemampuan luar biasa.
Dr. Aris kemudian beralih ke Shalih. Ia menatap anak itu yang masih terlelap dengan ekspresi yang lebih rumit. "Ini yang paling kompleks. Pada Shalih, kami menemukan jejak energi yang sangat langka. Spektrumnya mirip dengan energi bintang muda, atau yang kami sebut Energi Stella. Ini menjelaskan mengapa ia bisa mengeluarkan ledakan energi cahaya dan mengontrol gravitasi mikro."
"Gravitasi mikro?" ulang Rohim.
"Betul. Otaknya menunjukkan aktivitas neuron yang sangat intens, terutama di area yang berhubungan dengan persepsi spasial. Ia memiliki kemampuan untuk memanipulasi medan gravitasi lokal dalam skala kecil, memungkinkan gerakan melompat tinggi atau percepatan yang tak wajar. Intuisi tajamnya kemungkinan juga merupakan efek samping dari koneksi ke energi kosmik ini, semacam prekognisi atau extrasensory perception yang belum berkembang sempurna," papar Dr. Aris. "Ini adalah fenomena yang sangat unik, hampir belum pernah ditemukan dalam sejarah kedokteran."
Rohim dan Fitriani menatap Shalih, hati mereka campur aduk antara kebanggaan, ketakutan, dan kebingungan. Putranya kini membawa kekuatan bintang.
Terakhir, Dr. Aris menunjuk Humairah yang gembil. "Dan pada Humairah... ini yang paling misterius. Ada energi yang sangat purba dan menenangkan. Kami menyebutnya Energi Kosmik Primer. Kemampuannya memanipulasi dimensi kecil berarti ia bisa sedikit 'melipat' ruang di sekitarnya untuk menciptakan aura pelindung yang tak terlihat. Kemampuan penyembuhan alam semesta yang ia tunjukkan... itu adalah resonansi frekuensi seluler dengan skala yang jauh lebih besar dari Nyonya Fitriani. Aura lembut tapi kuat itu adalah manifestasi dari harmoni kosmik yang ia bawa."
"Jadi... anak saya bisa memanipulasi alam semesta?" Fitriani bertanya, suaranya hampir tidak keluar. Ia merasa pusing dengan semua penjelasan ini.
"Dalam skala mikro, ya. Atau setidaknya, tubuhnya adalah konduktor dari energi tersebut. Ini adalah koneksi yang sangat mendalam dengan struktur dasar alam semesta," jawab Dr. Aris. "Jujur, Tuan dan Nyonya Wiratama, ini adalah studi kasus yang akan mengubah pandangan kami tentang biologi manusia. Keempat kalian adalah anomali hidup."
Keheningan menyelimuti ruangan. Rohim dan Fitriani saling pandang. Sensasi aneh di tubuh mereka kini terasa seperti penjelasan yang mengerikan. Mereka tidak lagi hanya selamat. Mereka telah diubah.
"Jadi... kami... kami ini apa, Dokter?" Rohim akhirnya bertanya, suaranya berat. Pikirannya, yang selalu berdasarkan logika dan ilmu pengetahuan, kini dihadapkan pada realitas yang melebihi segala teori yang pernah ia pelajari.
Dr. Aris melepas kacamatanya, menghela napas panjang. Ia menatap mereka satu per satu, pandangannya penuh empati, namun juga ketegasan seorang ilmuwan.
"Tuan dan Nyonya Wiratama..." ia berhenti sejenak, kata-katanya menggantung di udara. "Berdasarkan semua data ini, dan fakta bahwa kalian adalah satu-satunya yang selamat dari insiden yang seharusnya mustahil untuk diselamatkan... kalian bukan lagi manusia normal."
Jantung Fitriani serasa berhenti berdetak. Bukan lagi manusia normal? Kata-kata itu bergaung di benaknya, diiringi keheningan yang mencekam. Apa maksud Dokter? Apakah mereka kini menjadi monster? Atau sesuatu yang lebih... lain? Di balik kaca jendela kamar perawatan, seorang penjaga ISTC berpakaian hitam pekat terlihat berdiri tegak, mengawasi mereka dengan tatapan dingin, seolah mereka bukan lagi korban, melainkan objek penelitian, atau bahkan, ancaman.
Bersambung....