Dinda memilih untuk menikah dengan seorang duda beranak satu setelah dirinya disakiti oleh kekasihnya berkali-kali. Siapa sangka, awalnya Dinda menerima pinangan dari keluarga suaminya agar ia berhenti di ganggu oleh mantan pacarnya, namun justru ia berusaha untuk mendapatkan cinta suami dari hasil perjodohannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasriani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 11
Mobil yang dikemudikan oleh Indra berhenti tepat didepan rumah Dinda, dengan segera Dinda dan Rindu turun dari mobil.
"Mampir dulu Tante, kak Indra." Kata Dinda menawarkan sebagai bentuk terima kasihnya.
"Lain kali saja Dinda, aku masih harus kembali ke kantor, Ciara juga sudah tertidur." jawab Indra, Dinda pun menatap Ciara yang tengah tertidur lelap didekapan neneknya.
"Kapan-kapan kamu main ke rumah Tante yah Dinda." Ucap Mamanya Indra setengah berharap.
"Iya Tante, terima kasih ajakannya." Jawab Dinda merasa senang dengan undangan tersebut.
"Kalau begitu kita permisi dulu." Indra pun berpamitan kepada mereka berdua.
"Terima kasih banyak Tante, kak Indra tumpangannya." Ucap Dinda tersenyum.
"Terima kasih tumpangannya Tante." Timpal Rindu yang juga ikut berterima kasih.
"Sama-sama." Jawab Mamanya Indra.
Mobil Indra pun melaju pelan meninggalkan pekarangan rumah Dinda, mereka berdua pun berjalan masuk ke dalam saat mobil Indra sudah tidak terlihat.
***
"Astaga Dinda..." Ucap Rindu dengan hebohnya saat mereka memasuki kamar Dinda.
"Kenapa?." Tanya Dinda terkejut.
"Papanya Ciara tampan sekali yah. Beruntung sekali istrinya setiap hari bisa melihat wajah tampan itu." Puji Rindu yang terpesona melihat wajah teduh Indra tadi.
"Istrinya sudah meninggal." Ucap Dinda, Rindu pun langsung mendekat padanya yang tengah duduk di kasur.
"Apa?." Kali ini Rindu yang terkejut mendengarnya.
"Tadi dia bilang, katanya istrinya meninggal waktu melahirkan Ciara." Jelas Dinda menyampaikan apa yang di bicarakan oleh Indra tadi.
"Kasihan sekali Ciara." Rindu merasa iba pada bayi kecil itu, bayi kecil yang tidak sempat melihat wajah Ibunya.
"Kak Indra juga sama kasihannya, aku merasa nasib kak Indra akan seperti Papa. Papa membesarkan aku sendirian, pasti kesepian sekali." Dinda sudah mulai membayangkan bagaiman hari-hari Indra yang harus terus berjalan.
Hal itu mengingatkan Dinda pada Ayahnya, sejak kecil mereka hanya berdua, saling menjaga satu sama lain, Ciara akan tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ibu, sama sepertinya, tapi ia beruntung memiliki Ayah yang sangat hebat dan menyayanginya, Dinda pun berharap Indra bisa membesarkan Ciara sama seperti Ayahnya membesarkan Dinda.
"Aku malah lagi membayangkan kamu yang jadi Mamanya Ciara Din." Kata Rindu yang menatap Dinda dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
Entah kenapa Rindu merasa sahabatnya itu sedang memikirkan Indra, biasanya rasa iba akan perlahan berubah menjadi hal yang besar.
"Jangan asal bicara Rindu." Ucap Dinda menegur sahabatnya.
"Itu yang namanya Duda tampan Dinda." Rindu masih tidak lelah memuji wajah tampan Indra yang masih membekas di ingatannya.
"Papa ku juga Duda tampan, kamu mau sama Papaku?." Tanya Dinda tersenyum usil.
"Jangan asal bicara Dinda." Seketika rasa trauma Rindu kembali, Ia mengingat bagaimana gencarnya waktu itu Dinda menjodohkannya dengan Ayahnya.
"Makanya jangan mulai." Ucap Dinda tertawa kecil.
***
Mobil Indra tampak terlihat masuk ke halaman rumah Ibunya, mobil tersebut berhenti tepat di depan pintu masuk rumah Ibunya.
Mereka berdua langsung turun dan berjalan masuk ke dalam rumah.
"Tadi kenapa bohong sama Dinda?." Tanya Ibunya saat mereka sudah duduk diruang tengah.
"Maksudnya?." Indra bertanya balik tidak mengerti.
"Kamu bilang harus kembali ke kantor." Jawab Ibunya memberitahukan letak kebohongannya.
"Indra tidak mau merepotkan Dinda Ma, kasihan juga kan tangannya masih sakit, Ciara juga tertidur lelap, kasihan kalau harus terganggu tidurnya." Jelas Indra yang dapat dimengerti oleh Ibunya.
Keduanya kembali terdiam, Indra menatap wajah Ciara yang masih tertidur pulas, sepertinya ia sangat mengantuk setelah berada diluar pagi ini.
"Mama suka deh sama Dinda, dia perempuan yang sangat baik, hatinya sama cantiknya sama wajahnya." Ucap Ibunya tiba-tiba membuat Indra tidak tau harus menanggapi dengan kata-kata apa.
Ia memilih diam saja dan mendengarkan setiap pujian yang keluar dari mulut Ibunya tentang Dinda.
"Bagaimana kalau kita undang Dinda makan malam dirumah, boleh tidak Indra?." Tanya Ibunya meminta pendapat serta izinnya.
"Terserah Mama saja." Jawab Indra tidak begitu peduli.
"Tapi kamu sama Ciara harus ikut." Tegas Ibunya memastikan mereka harus makan malam bersama.
"Mama saja." Ucap Indra merasa malas.
"Kamu juga punya utang budi sama Dinda, harusnya kamu juga ada di acara makan malam itu." Ibunya mencoba memberinya alasan logis agar bisa membujuk putranya makan malam bersama Dinda.
"Terserahlah Ma, Indra ikut saja." Kata Indra kemudian pasrah, ia juga memikirkan apa yang dikatakan oleh Ibunya ada benarnya, Dinda sudah berkali-kali menolongnya.
"Kalau begitu besok malam kamu jemput Dinda yah." Pinta Ibunya tersenyum penuh kemenangan.
"Aku Ma?." Tanya Indra terkejut.
"Ya iya, siapa lagi." Jawab Ibunya dengan entengnya, namun Indra malah merasa terbebani.
"Tapi Ma.."
"Mumpung masih libur besok Indra." Belum sempat Indra menolak, Ibunya sudah memberinya alasan lain lagi, "Jadi besok dari rumah kamu, langsung ke rumah Dinda buat jemput dia yah." Lanjutnya mengaturkan rencana untuk putranya.
Indra pun tidak dapat membantah lagi, ia hanya terdiam menerima perintah dari Ibunya.
***
Malam harinya, Dinda buru-buru keluar dari rumahnya, ia terkejut mendengar suara tabrakan didepan rumahnya.
Dengan cepat ia membuka pintu dan mendapati mobil putih ternyata menabrak pot bunga besar di depan gerbang rumahnya.
Dinda menghela nafas lega, ia pikir yang menabrak adalah Ayahnya mengingat Ayahnya belum pulang hingga malam hari.
"Dinda..." Panggil seseorang yang keluar dari dalam mobil tersebut dengan nada lemah.
"Yuda!." Dinda di buat terkejut dengan kehadiran Yuda yang tidak biasa.
Laki-laki itu berjalan mendekati Dinda dengan sempoyongan, ada rasa sedikit khawatir dalam diri Dinda.
"Aku rindu sekali sama kamu Dinda." Dinda mencium aroma lain dari nafas Yuda yang berdiri di depannya.
Rasa khawatirnya yang tadi muncul kini berubah menjadi emosi yang tidak tertahankan.
"Kamu mabuk Yud?." Tanya Dinda terkejut.
"Aku rindu kamu Din." hanya kata-kata itu saja yang bisa diucapkan oleh Yuda.
Dinda pun mendorongnya hingga Yuda tersungkur ke jalanan, Tatapan mata Dinda begitu di penuhi dengan rasa marah.
"Din.." Mata Yuda memerah menatap Dinda, ia berjalan tertatih menuju ke arah Dinda.
"Aku mohon sama kamu Dinda, tolong kembali sama aku, aku mohon Dindaa." Yuda semakin meracau dibawah pengaruh alkohol.
Tidak ingin berlama-lama disana, Dinda pun segera berbalik dan berniat masuk ke dalam rumahnya. Namun sayang, tangan Yuda dengan cepat menarik lengannya yang belum begitu sembuh rasa sakitnya karena cengkeramannya siang tadi.
"Lepaskan Yuda, kamu mabuk!." Tegas Dinda berusaha menepis tangan Yuda.
Yuda bertahan sekuat mungkin agar tangannya tidak bisa terlepas dari tangan Dinda, raut wajah Dinda dipenuhi rasa takut melihat Yuda yang seperti itu. Baru kali ini Dinda melihat Yuda melampaui batas seperti ini, membuat Dinda begitu ketakutan.