Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
QI heavenly body
Aula latihan dalam Sekte Pedang Azura hari itu dipenuhi lebih dari seratus murid. Suasana sunyi saat pelatihan dimulai. Udara pagi yang tipis menari perlahan, menyatu dengan riuh pelatihan internal qi yang mulai bergema dalam dada setiap murid. Senyap namun penuh ketegangan, karena ada sesuatu yang tak biasa hari itu.
"Fokuskan pernapasanmu," suara Tetua Mo menggema tenang dari panggung batu di depan aula. "Teknik hari ini: Nafas Sembilan Nadi. Jika dilakukan dengan benar, kau akan merasakan saluran qi-mu terbuka lebih lebar."
Semua murid duduk bersila, tangan membentuk mudra penyatuan energi. Cahaya lembut dari jendela tinggi menyinari wajah mereka, membuat mereka tampak seperti arca-arca pemuja yang menyatu dengan langit.
Di antara murid-murid itu, Banxue duduk agak terpisah. Sejak masuk, ia dikenal tidak terlalu suka berkumpul. Bahkan saat sesi latihan, ia memilih tempat di tepi, namun tetap dalam garis pengawasan guru. Ketika tetua mulai menjelaskan teknik, Banxue hanya menatap tanah, pikirannya melayang, terjebak dalam ingatan akan kejadian aneh beberapa hari yang lalu.
Saat teknik dimulai, sebagian murid mulai menunjukkan aura qi samar di sekeliling tubuh mereka: biru, hijau, bahkan ungu bagi yang lebih berbakat. Kecil, namun menandakan potensi yang menjanjikan.
Namun saat giliran Banxue, sesuatu terjadi.
Seketika, tubuhnya dilingkupi cahaya keemasan. Aura itu pertama kali muncul dari pusat dadanya, lalu merambat perlahan ke sekujur tubuh seperti untaian benang cahaya yang membentuk jaring halus. Tidak berhenti di situ—angin mulai berputar dari dalam aula, seakan menghidupkan ruang itu dengan tenaga yang tak terlihat.
"Apa itu?!" seru salah satu murid yang duduk tak jauh dari Banxue. Beberapa murid mulai terbatuk, dan mereka merasa seperti kekuatan yang tak terlihat menarik napas mereka sedikit demi sedikit, menjauhkan mereka dari tempat mereka berada.
Retakan halus mulai muncul di tanah tempat Banxue duduk, membentuk pola-pola yang aneh, seperti bunga teratai yang bercahaya. Aura keemasan itu semakin intens, menyelimuti Banxue dalam kesendirian, dan menarik perhatian semua mata di aula.
"Fokus! Hentikan aliran qi!" Tetua Mo berdiri tiba-tiba. "Semua hentikan teknik!"
Namun aura itu tidak bisa dihentikan dengan mudah. Seolah ada sesuatu yang bangkit dari dalam tubuh Banxue—sebuah kekuatan tua dan murni. Para tetua lain yang mengawasi dari bayangan ruangan ikut muncul, wajah mereka berubah pucat.
"Aura seperti ini... tak mungkin..." bisik salah satu tetua wanita berjubah ungu, matanya menatap tak percaya.
Jingyan yang duduk di seberang aula tertegun. Ia pernah menyaksikan qi langka dari para pendekar elit, namun apa yang dilihatnya sekarang bahkan melampaui itu.
"Dia... bukan murid biasa," gumamnya dengan mata menyipit, menatap Banxue yang tampak terperangah dengan kekuatan yang tak bisa ia kendalikan.
Banxue sendiri membuka mata perlahan. Napasnya tenang, namun matanya dipenuhi kebingungan dan ketakutan. Dalam dirinya, ada sesuatu yang seperti menyentak—memori jauh dan samar. Kilasan suara seorang pria... dan tawa perempuan yang terdengar seperti nyanyian sedih.
"Kenapa sekarang... kenapa tubuhku... terasa seperti ini lagi?"
Fengyu, yang sedari tadi berada di barisan belakang, langsung maju. Tapi tangan Tetua Mo menahan bahunya, menandakan bahwa apa yang terjadi lebih dari sekadar masalah qi biasa.
"Jangan ganggu dulu. Ini... tubuh surgawi. Tapi... bukan yang biasa."
Seisi aula terdiam. Sinar keemasan di tubuh Banxue perlahan memudar, namun gema kekuatannya terasa seolah mengguncang fondasi sekte.
Tetua Mo menatap para tetua lain. "Kita harus bicarakan ini. Tubuh seperti ini... terakhir muncul seratus tahun lalu. Dan ketika itu muncul... dunia jatuh dalam pertumpahan darah."
Di antara kerumunan, mata-mata murid elit lainnya mulai menaruh perhatian. Salah satunya, murid dengan jubah perak dan senyum nakal yang sejak awal memperhatikan Banxue, berbisik lirih sambil tertawa kecil, "Menarik. Sepertinya aku harus bicara dengannya lebih sering."
Hari itu, nama Banxue mulai menggema. Bukan lagi sebagai murid pendatang, melainkan sebagai kemungkinan pewaris takdir besar yang tak satu pun dari mereka sangka sebelumnya.
Namun di dalam hati Banxue, ada satu keyakinan yang membeku diam-diam:
“Aku tidak pernah menginginkan kekuatan ini. Tapi jika dunia memaksa... aku akan melawannya dengan caraku sendiri.”