NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 2 - Beradaptasi

Setelah mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh Arjuna, aku merasakan jantungku lebih berdebar-debar. Semalaman penuh, hingga aku tak bisa terlelap dengan nyenyak.

Padahal aku tahu setelah dia mengatakan hal demikian, sebuah tawa candaan terdengar nyaring dari balik telepon. Dia tak benar-benar serius saat mengatakannya bukan?

Entahlah. Serius atau tidak, kenyataannya aku akan tetap menjadi calon pengantin dalam waktu dekat ini. Meski bukan ... Arjuna yang akan menikah denganku.

“Kamu siap, Nerissa?”

Kepalaku sedikit menanggah—menatap seseorang yang barusan mengajakku bicara. Lantas mengangguk ragu. “Iya, Yah. Aku ... siap.”

Dia tersenyum simpul, menyerahkan sebuah goodie bag. Aku menerimanya meski tidak tahu apa isinya.

“Kata dokter, Darius susah sekali makan. Dia beberapa kali menolak, bahkan enggan meminum obat. Dia selalu menyebut nama Soraya. Kamu ... tahu kan harus berbuat apa?”

Hembusan napas berat aku keluarkan, rasanya seperti baru saja punggungku ditimpa beban berat. Siap tidak siap, bukankah dalam pilihannya aku hanya boleh memilih untuk tetap siap?

Menjalani peran sebagai orang lain, tanpa ada persiapan apapun. Mereka tidak mau tahu tentang itu, mereka hanya ingin aku melakukan apa yang mereka minta.

Menjadi pengantin pengganti dan berada dalam pernikahan yang penuh dengan kepura-puraan.

Tapi ... sampai kapan aku harus melakukannya?

Tangan Ayah menyentuh pundak, memberi usapan kecil di sana. “Andaikan ada solusi selain ini, maka kami tidak akan pernah tega membiarkan kamu melakukan ini, Nerissa. Kamu tahu, kami sangat menyayangi kamu layaknya anak sendiri.”

Aku mengangguk meng-iyakan. “Iya, Ayah. Aku akan berusaha semampuku.”

Kakiku melangkah pergi setelah berpamitan, pagi ini hanya ayah yang kulihat. Ibu masih belum menunjukkan diri—mungkin masih terpukul dan memendam rasa benci atas kejadian tadi malam.

Menuruni undakan tangga teras rumah, menghampiri taxi yang terparkir di sana. Kurasakan rintik-rintik hujan berlomba-lomba menyentuh kulit, aku sedikit melihat awan kelabu yang memenuhi langit sebelum memasuki mobil.

“Rumah sakit Pelita Harapan kan, Mbak?” Matanya yang terpantul melalui kaca spion melirik padaku.

Aku hanya memberi anggukan singkat. Kembali membuang pandangan pada jendela mobil, mengamati jalanan raya yang tak pernah kosong oleh lalu lalang kendaraan.

20 menit berlalu, akhirnya mobil yang kutumpangi sudah tiba di pekarangan rumah sakit. Sambil mencari tempat parkir yang pas, aku bersiap-siap untuk turun.

“Gerimisnya cukup deras, Mbak. Mau pinjam—”

“Tidak usah, Pak. Saya bisa jalan buru-buru, kok,” tolakku sambil membuka pintu mobil, celingukan sebentar sebelum akhirnya menuruni kaki untuk menyentuh aspal.

Gerimis mengiringi langkahku menuju lorong rumah sakit, menabuh jalanan dengan irama samar yang entah kenapa terdengar seperti pertanda buruk. Langkahku berhenti di depan pintu rumah sakit, mengambil napas sebentar sebelum memasuki lobby.

Sebentar aku mengamati pantulan diriku pada kaca pintu rumah sakit, aku tahu seharusnya tak ada di sini. Basah ujung rok milikku yang terkena genangan hujan tadi terasa dingin menusuk, menambah rasa tegang.

Ini bukan pertama kalinya aku ke sini untuk menemuinya—menemui pria yang telah kehilangan ingatan. Tepat sebelum aku tahu bahwa kecelakaan yang telah merenggut banyak memori hingga membuatnya berpikir bahwa aku adalah Soraya—kakak angkatku yang menjadi calon tunangannya, dan kini telah tiada.

Pelan, aku melewati lorong putih berbau antiseptik yang menyengat menuju ruangan 37 di mana Darius sedang dirawat. Langkahku terasa berat, seolah sesuatu menahanku agar tidak mendekati kamar tersebut.

Aku menarik napas perlahan sebelum akhirnya mendorong pintu itu. Di sana ... dia duduk bersandar di atas brankar, wajahnya amat tirus dan pucat, tapi saat tatapan mata kami bertemu—dia langsung tersenyum sumringah.

Senyumannya benar-benar lebar. Mata itu penuh kehangatan, penuh kerinduan yang mendalam.

“Soraya?” panggilnya lembut, matanya berbinar-binar.

Seketika hatiku remuk, aku mematung di tempat, di ambang pintu sambil memegangi knop pintu. Itu bukan namaku, aku bukan tunangannya. Aku bahkan belum mengenalnya sebaik itu. Tapi dia...

Dia ... percaya bahwa aku adalah perempuan yang dia cintai, yang seharusnya saat ini mereka sudah menjadi sepasang suami-istri.

Aku menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. Kakiku berderap mendekat padanya. “Iya ... Ini aku.”

Kebohongan telah terucap. Padahal bisa saja aku mengatakan yang sebenarnya—mengatakan bahwa aku adalah orang lain, seorang perempuan yang pada kenyataannya hanya pendengar yang baik selama ini untuk kisah cintanya.

Dia mengulurkan tangan, memberi kode bahwa ingin membawaku ke dalam pelukan. Aku melihat caranya tersenyum—senyum yang seolah-olah menunjukkan dirinya baru saja bangkit dari keterpurukan, mana mungkin aku begitu tega untuk tetap berdiri di atas egoku.

“Soraya,” panggilnya lagi sembari mendekapku lebih erat.

Kurasakan jari jemarinya yang mengusap-usap punggung. Isak tangisnya menelusup jelas melalui gendang telinga, dia menangis tersedu-sedu.

“Aku takut ... takut sekali. Aku pikir aku tak akan pernah melihat kamu lagi.”

Aku tak mampu berkata-kata. Hanya diam mendengar rentetan kalimat itu di antara rintihan tangisnya yang begitu jerih, Darius semakin terisak.

“Maafkan aku, ya, sayang?” Dia melonggarkan pelukan, menatapku lebih dekat—wajahku ia belai menggunakan jemarinya yang gemetar.

“Kamu ... masih mau kan menikah denganku?”

Mulutku terkunci. Mataku berkaca-kaca, aku sedih. Perasaanku campur aduk. Melihat kondisinya yang begini membuatku pilu—entah apa yang membuatnya beranggapan bahwa aku adalah sosok perempuan yang dicintainya.

Jemarinya bergerak turun, menyentuh kedua tanganku. Menggenggamnya kuat. Hembusan napasnya yang terasa hangat dapat kurasakan samar-samar, sebab jarak antara wajah kami hanya tersisa beberapa centi.

“Mari kita lupakan semuanya. Kita buka lembaran baru. Aku akan tetap cinta kamu, Soraya. Apapun keadaannya.”

Kuamati parasnya itu, tatapannya menyiratkan makna sesuatu. Seperti menyimpan rahasia—yang mungkin telah diketahui oleh mendiang Soraya.

Aku mengangguk pelan. Menaruh goodie bag yang aku bawa dari rumah, mengeluarkan isinya dari dalam sana. Rantang susun berisi beberapa lauk makanan aku perlihatkan padanya, salah satu lauknya itu adalah kesukaan Darius— telur sambalado.

“Iya, Mas. Tapi untuk sekarang ini, ada baiknya kamu pikirkan kesehatan kamu dulu. Kamu masih belum sembuh total. Aku ada bawakan makanan, dokter bilang kamu tidak mau makan belakangan ini. Jadi—”

“Tunggu dulu, sayang.” Darius tiba-tiba menyentuh perutku, tentu saja aku sedikit melonjak kaget.

Tatapannya itu berubah. Seperti sedang mengintimidasi. “Kandunganmu ... bagaimana? Apakah baik-baik saja?”

Aku tertegun. Mataku berhenti berkedip sejenak. “Kandunganku?”

Aku bahkan tidak pernah tahu—bahkan di keluarga kami tak ada yang tahu jikalau Soraya sedang mengandung. Mendiang kakak angkatku itu tak pernah bercerita apapun soal ini.

Dan saat dihadapkan dengan posisi ini ... aku benar-benar bingung. Aku harus menjawab apa sementara aku tidak mungkin semakin melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa kandunganku baik-baik saja.

Karena kenyataannya aku tidak pernah mengandung anak siapapun.

Mencoba berhubungan hingga hamil hanya demi sandiwara ini? Oh, itu tidak mungkin. Aku akan benar-benar gila jika sampai melakukannya!

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!