Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penghianat!
Langit sore di atas Negara Xuan merekah bagai lukisan para dewa. Di bawah bentangan langit lembayung, angin berhembus lembut membawa wangi bunga Fei Lian yang tumbuh liar di sepanjang tebing. Kelopak-kelopak ungu itu menari seperti bidadari kecil yang melayang di udara, berputar dalam pusaran angin yang turun dari puncak gunung. Di antara keindahan yang seakan abadi itu, duduklah seorang pria muda berambut hitam panjang yang tersanggul dengan pita perak.
Dialah Jingyu, seorang kultivator yang dijuluki All Daos, yang wajahnya tampan namun teduh, matanya dalam seperti danau yang menyimpan rahasia malam. Ia mengenakan jubah putih bersulam motif naga biru di ujung lengan, bersih seolah tak pernah tersentuh debu dunia. Di pangkuannya tergenggam pedang panjang bersarung giok, lambang kehormatan dan perjuangan bertahun-tahun.
Di sampingnya seorang wanita muda berwajah jelita, dengan rambut panjang berkilau keemasan yang diikat pita merah muda. Wajahnya manis, senyumnya mempesona, namun di balik lengkungan bibir itu ada sesuatu yang sulit dijelaskan, sesuatu yang bukan kelembutan… melainkan keanehan halus yang menelusup seperti racun yang belum aktif. Wanita itu adalah Luan, kekasih Jingyu, seseorang yang selama ini menjadi cahaya di tengah perjalanan panjangnya yang penuh darah dan dendam.
Angin sore berhembus pelan, membuat jubah putih Jingyu dan gaun ungu muda Luan berkibar bersamaan. Seolah alam semesta sendiri berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan itu.
Jingyu kemudian bangkit berdiri. Ia membuka kedua tangannya ke arah lembah luas di depan sana, di mana sinar matahari terakhir jatuh memantulkan kilau keemasan di permukaan danau jauh di bawah. Wajahnya tersenyum cerah, matanya memejam menikmati semilir udara yang menenangkan. Luan menatap punggung Jingyu lama sekali, punggung itu tampak begitu kokoh, tempat ia sering menyandarkan dirinya.
Dengan lembut, Luan berdiri dan langsung memeluknya dari belakang. Pelukannya hangat, seperti seseorang yang takut kehilangan namun tidak tahu alasannya. Jingyu tertawa pelan, suaranya bening seperti gemericik air di dasar lembah.
Keheningan jatuh di antara mereka, hanya angin dan nyanyian serangga menemani. Jingyu menatap langit sore, matanya sayu, lalu berbisik lirih.
“Luan… setelah hidup sulit yang kujalani, aku telah kehilangan segalanya. Ibu, adik, kakakku… semuanya terbunuh. Setelah itu... Ayah, paman, kakek, nenek… mereka pun menyusul.”
Suara Jingyu bergetar lembut, tidak lemah, hanya dipenuhi kepedihan yang terlalu lama ia pendam.
“Ribuan tahun aku berkultivasi, menempuh badai petir dan darah demi satu tujuan, membalaskan dendam mereka. Namun sampai hari ini, aku bahkan tidak tahu siapa pembunuhnya.”
Ia menarik napas panjang, matanya kosong menatap jauh ke cakrawala. “Apa menurutmu aku anak yang durhaka, Luan? Yang tidak mampu membalaskan darah keluarganya sendiri?”
Kata-kata itu jatuh pelan, namun memiliki berat yang mampu mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya. Tapi Luan hanya tersenyum. Ia membalikkan tubuh Jingyu dengan lembut, lalu mengangkat kedua tangannya untuk memegang pipi pria itu. Jemarinya dingin, namun tatapannya hangat, hangat dengan sesuatu yang Jingyu pikir cinta.
“Jingyu, aku percaya di masa depan, dirimu pasti akan membalas semua kejahatan yang dilakukan padamu. Aku percaya itu.”
Suaranya lembut, seolah ia sedang menyanyikan janji pada langit sore. Jingyu menatap matanya lama, kemudian mengangguk pelan. Senyum kecil muncul di wajahnya, tipis dan juga tulus.
Jingyu kemudian berbalik, memandangi lembah lagi, membiarkan angin membawa suaranya.
“Terima kasih, Luan. Kau selalu baik padaku. Karena itulah aku selalu kuat.”
Luan tersenyum lembut di belakangnya. “Tidak perlu berterima kasih, Jingyu. Karena aku sangat mencintaimu.”
Namun baru saja kata-kata itu selesai terucap, suara basah dan tajam menembus keheningan.
Tskkk…
Jingyu terdiam sejenak. Matanya membesar. Dadanya terasa panas, dan ketika ia menunduk, ia melihat sebuah tangan halus menembus tubuhnya dari belakang, mencengkeram jantung spiritualnya yang berdenyut di ujung jari.
“L… Luan…?” suaranya bergetar tak percaya.
Luan menarik tangannya perlahan, dan bersama gerakan itu, jantung spiritual Jingyu yang berwarna biru berkilau tercabut keluar dari tubuhnya. Jingyu bergetar, darah menetes dari ujung bibirnya.
Luan mundur sepuluh langkah dengan lincah, matanya bersinar puas, bibirnya melengkung dalam senyum yang… dingin dan penuh kepuasan.
“Akhirnya…”
Jingyu melihat ke arah dada nya yang terluka, wajahnya begitu pucat, kemudian berbalik dengan tubuh gemetar. Dalam pandangan yang mulai kabur, ia melihat sosok lain datang dari balik batu besar, Mu Lang, sahabat yang selama ini ia percayai, saudara yang tumbuh bersamanya sejak kecil, sahabat yang selalu ia dukung di setiap langkahnya.
Kini, Mu Lang berdiri di samping Luan. Dan di depan mata Jingyu yang hampir kehilangan kesadaran, keduanya berpelukan, mesra dan tanpa rasa bersalah. Bahkan mereka melakukan ciuman begitu intim di hadapan Jingyu yang di ujung hidupnya.
Jingyu yang melihat itu langsung terbatuk keras, darah mengalir dari sudut bibirnya. “Kenapa… Luan… kenapa kau melakukan ini padaku… apa salahku?” Suaranya nyaris tak terdengar.
Luan lalu melepaskan ciumannya, kemudian tertawa kecil. Ia menatap Jingyu dengan tatapan seorang ratu yang menatap budak.
“Karena kau akan mati... maka aku akan memberi tau seluruh kebenarannya.” Ia lalu bersandar di dada Mu Lang yang terkekeh rendah.
Mu Lang lalu mencium kening Luan, kemudian ia menatap Jingyu, senyum miring terlihat di wajahnya.
“Dua bulan yang lalu, saat kau bermeditasi di Goa Jun, Luan datang untuk menemuimu. Tapi pada saat itu aku menghalanginya.
Mu Lang kemudian menatap wajah Luan yang tersenyum lembut kepada nya, ia lalu mengelus pipi lembut itu dengan penuh kasih sayang, lalu melanjutkan.
"Selama ini aku sangat menyukai Luan. Dan hatiku sangat sakit setiap kali kau bersamanya Jingyu. Karena itu aku membawanya ke kamarku secara paksa.”
Tatapannya berubah tajam saat beralih menatap Jingyu, seperti pisau yang siap memotong musuh nya. “Malam itu, di dalam kamar ku, aku merengut kesucian Luan secara paksa, dan pada saat itu Luan menangis meminta ku untuk melepaskan nya. Tapi... aku tidak peduli, dan terus melakukan sampai keesokan harinya."
Mendengar itu Jingyu seperti di hantam sebuah gunung, terdiam kaku tanpa reaksi namun terasa menyesakkan.
Lalu tanpa menunggu jawaban Jingyu, Mu Lang melanjutkan dengan senyum puas di wajahnya. "Tapi setelah malam yang intesn itu… ia selalu datang sendiri, tanpa ku undang. Kami pun menjadi sering melakukan nya Lagi dan lagi. Hingga akhirnya...” ia mengelus perut Luan yang rata, "... Luan kini mengandung anakku, dari benih yang ku tanamkan.”
Udara berhenti bergerak. Dunia seolah memudar. Jingyu menatap mereka tanpa bisa berkedip, matanya membulat, darah terus mengalir dari dada dan mulutnya. Di dalam tubuhnya, Qi-nya yang kuat bergolak kacau, menciptakan rasa perih yang bahkan dewa pun mungkin tak mampu menahan.
Luan memukul dada Mu Lang pelan sambil tersipu manja. “Itu karena kau terlalu kuat, aku tak sanggup menolakmu.”
Mu Lang langsung tertawa terbahak-bahak.
Dan di hadapan mereka, Jingyu perlahan jatuh berlutut. Setiap tarikan napas adalah siksaan, setiap detak jantung seperti cambuk yang menghantam harga dirinya. Tapi lebih menyakitkan dari luka di dada adalah luka di hati, pengkhianatan yang lahir dari dua orang yang paling ia percaya.
Kemudian dengan susah payah Jingyu menatap keduanya, matanya sangat sayu.
“Luan… jika kau hanya ingin bersama Mu Lang… kau tak perlu membunuhku. Lalu untuk apa? Untuk apa semua ini?”
Luan mendekat dengan langkah ringan, senyumnya kini benar-benar dingin. Ia menunduk, membisikkan sesuatu di telinga Jingyu dengan suara lembut, selembut bisikan iblis.
“Karena pembunuh keluargamu… adalah keluargaku Jingyu...”
Dunia terasa berhenti. Jingyu membeku.
Dan sebelum kata itu sempat dicerna, Luan mendorong tubuhnya dengan ujung jarinya.
Jingyu terhempas ke belakang, ke arah tebing penuh bunga. Tubuhnya melayang di udara, rambut hitamnya berputar, darahnya menetes ke arah matahari yang tenggelam, memercik bagai kelopak merah yang pecah.
Sambil jatuh, ia sempat melihat Luan dan Mu Lang tertawa, berpelukan di atas tebing, siluet mereka diwarnai jingga senja.
“Ayah… Ibu… Kakek, Nenek… Kakak, Adik…” gumamnya perlahan.
“Aku akhirnya bisa menyusul kalian… maaf, Jingyu tidak bisa membalaskan dendam kalian.”
Matanya tertutup perlahan, air mata bercampur darah di pipinya. Kenangan hidupnya pun berputar sekian detik sebelum kematiannya. Kehilangan keluarga, perjuangan berat yang ia lalui untuk menguasai banyak jalan kultivasi, lalu pertemuan nya dengan Luan, gadis yang ia pikir orang yang paling tulus menerima keadaannya. Lalu ingatan tentang sahabat dan orang yang pernah ia temui terus berputar. Hingga kesadarannya hilang sepenuhnya dari dunia.
Dan tepat sebelum tubuhnya menghantam batu di dasar lembah, kalung kristal bulat di lehernya bersinar terang, menghisap jiwa Jingyu yang pecah sebelum lenyap menjadi debu. Bola kristal itu langsung berubah menjadi cahaya emas, Kemudian cahaya emas itu meluncur ke langit, menembus awan, pergi entah ke mana.
Tubuh Jingyu pun langsung hancur menjadi abu. Angin sore menyapu semuanya, meninggalkan hanya bunga-bunga ungu yang bergoyang lembut, seakan dunia pun enggan menjadi saksi kebusukan hati manusia.