“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab . 10 – Disuruh memilih
Motor berhenti di depan gerbang kampus. Arman mematikan mesin, tapi tidak segera bicara. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras menahan sedikit kekesalan.
Widya buru-buru turun, merapikan jilbab, lalu menyampirkan tas ke bahunya. “Makasih, udah dianter,” ucapnya singkat, tanpa menoleh.
Arman menatapnya tajam. “Widya.” Suaranya datar tapi berat.
Widya menoleh setengah hati. “Apa lagi?”
“Kenapa kamu harus nyulut api sama Priya tadi? Kamu tahu kan itu bisa bikin masalah makin runyam.”
Widya mendengus, memasang wajah cuek. “Masalah memang sudah runyam dari awal. Jadi apa bedanya? Lagian… aku cuma jujur. Biar pacarmu tahu posisinya.”
Arman menahan napas, lalu mengembuskan kasar. “Widya, jangan bikin aku serba salah.”
Widya tersenyum miring, lalu melangkah mundur, menjauh dari motor. “Kalau kamu serba salah, ya itu resiko punya dua hati. Aku sih cuma bagian yang sah.”
Mereka saling tatap sesaat. Tatapan Arman penuh campuran kesal, bingung, tapi juga ada sesuatu yang menahannya untuk benar-benar marah. Widya sendiri pura-pura santai, meski matanya sedikit bergetar.
“Udah, aku masuk dulu. Jangan bikin aku telat.” Widya berbalik, lalu melangkah cepat menuju gerbang.
Arman hanya bisa memandang punggung istrinya yang menjauh, tangannya mengepal di setang motor. Antara ingin memanggil lagi, atau membiarkan Widya pergi dengan sikap dinginnya.
Widya sempat menoleh sebentar sebelum menghilang di balik pagar, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan, menahan senyum samar.
Arman hanya bisa menggeleng, lalu menghidupkan motor kembali, wajahnya masih muram. “Perempuan keras kepala…” gumamnya, separuh kesal, separuh kagum.
Arman baru saja melajukan motor beberapa meter dari gerbang kampus ketika ponselnya kembali bergetar. Nama Priya terpampang jelas di layar.
Ia mendengus, menarik napas dalam-dalam sebelum menepi ke pinggir jalan. “Ya Allah… belum juga reda,” gumamnya, lalu menekan tombol hijau.
“Arman!” suara Priya langsung terdengar ketus dari seberang. “Tadi itu maksudnya apa? Kamu sengaja nyuruh istri kamu angkat biar aku malu, ya?”
Arman mengusap wajahnya kasar. “Priya, jangan mulai lagi. Aku lagi nyetir, makanya aku suruh Widya yang angkat. Nggak ada maksud lain.”
“Jelas-jelas dia ngehina aku! ‘Pacarmu cerewet’, katanya. Jadi selama ini kamu ngomongin aku sama dia, ya?” Priya meledak.
Arman mengeraskan rahang. “Widya memang suka asal kalau ngomong. Kamu jangan terpancing. Udah, aku bakal jelasin nanti, jangan bahas di telepon kayak gini.”
“Enggak, aku nggak bisa diem! Kamu berubah, Man. Dulu kamu nggak pernah bentak aku. Sekarang, gara-gara perempuan itu—”
“Cukup, Priya!” Arman meninggikan suara, membuat orang yang lewat sempat melirik. “Inget posisi aku sekarang. Aku udah nikah. Jadi jangan bandingkan ‘dulu’ sama ‘sekarang’. Keadaannya beda.”
Di seberang, Priya terdiam sesaat, lalu suaranya terdengar lebih lirih tapi tetap getir. “Jadi aku ini apa buat kamu, Man? Cuma cadangan? Pengganggu rumah tanggamu?”
Arman menutup mata, memijit pelipis. “Aku nggak bilang gitu. Tapi kamu juga jangan maksa aku ada di dua tempat sekaligus. Aku capek, Priya. Capek banget.”
Ada jeda panjang. Lalu, suara Priya terdengar gemetar. “Kalau aku minta kamu pilih… kamu bakal pilih dia?”
Arman terdiam, menatap jalanan yang ramai di depannya. Kata-kata itu seperti menampar keras. Mulutnya terbuka, tapi tak ada jawaban yang keluar.
Priya menunggu, tapi hening panjang membuatnya tersenyum miris. “Aku udah tahu jawabannya. Selamat menikmati pernikahanmu, Arman.” klik — sambungan terputus.
Arman menatap layar ponselnya yang gelap. Tangannya mengepal, wajahnya penuh amarah bercampur sesal.
“Priya… kenapa kamu nggak pernah ngerti sih?” desisnya pelan, sebelum kembali menghidupkan motor dan melaju dengan pikiran yang makin kusut.
*
*
Kampus.
Setelah Arman melaju pergi, Widya berdiri sebentar di depan gerbang. Senyum tipis sempat ia paksakan, tapi begitu punggung Arman menghilang di tikungan, senyum itu memudar.
“Widyaaa! Sini bareng kita!” suara riang seorang teman, Nita, memanggil dari depan gedung fakultasnya. Widya buru-buru melangkah, menyembunyikan wajah gusarnya.
Namun, langkahnya tetap berat. Sosok Priya seolah menegaskan bahwa keberadaan Widya hanya “penghalang” bagi hubungan lama mereka.
“Wid, kamu kenapa? Kok mukanya kucel gitu?” Nita langsung nyolek lengannya begitu Widya duduk di bangku teras kelas.
Widya tersentak kecil, buru-buru mengibaskan tangan. “Hah? Nggak, nggak apa-apa. Kurang tidur aja.”
“Kurang tidur? Atau kurang disayang suami?” goda temannya yang lain, Sarah, membuat yang lain terkekeh.
Widya hanya bisa tertawa hambar. “Ih, apaan sih. Baru nikah juga, jangan dikatain gitu.”
Tapi di dalam hatinya, kalimat itu terasa seperti sindiran. Iya… baru nikah, tapi kayaknya aku malah jadi ‘orang ketiga’ di cerita dia.
Nita memiringkan kepala, menatap lebih dalam. “Seriusan, Wid. Kamu kelihatan kayak kepikiran sesuatu. Ada masalah sama suamimu, ya?”
Widya menarik napas panjang, lalu menunduk menatap jemari yang ia genggam erat. “Nggak, Nit. Aku cuma… lagi adaptasi aja. Namanya juga baru mulai hidup bareng.”
Widya memaksakan senyum. Teman-temannya mengangguk, meski tatapan curiga masih menempel.
Saat dosen datang, semua buru-buru masuk kelas. Widya ikut masuk, tapi sepanjang materi berlangsung, pikirannya melayang-layang. Wajah Arman yang tadi menahan kesal, suara Priya yang terdengar menuntut, dan dirinya yang berada di tengah pusaran itu. Semua membuat dadanya terasa sesak.
Kalau dia beneran harus milih… aku yakin aku bukan jawabannya, batinnya lirih, sembari menunduk menuliskan catatan kuliah dengan tangan gemetar.
*
*
Sore Hari – Rumah Arman
Widya masuk rumah pelan, masih dengan ransel di bahunya. Begitu membuka pintu, ia sedikit kaget melihat Arman sudah ada di ruang tamu, duduk di sofa dengan wajah pucat, dasi terlepas, kemeja bagian atas terbuka.
“Eh? Kamu kok udah di rumah?” tanya Widya spontan.
Arman mengangkat wajah lelahnya. “Pusing. Jadi pulang lebih cepat.” Suaranya serak, matanya sayu.
Widya sempat diam. Separuh dirinya ingin langsung balik badan dan pura-pura nggak peduli, tapi instingnya menahan langkah. “Kenapa nggak bilang? Aku bisa sekalian bawain obat dari kampus tadi.”
Arman menggeleng pelan. “Nggak usah ribet. Tiduran bentar juga cukup.”
Widya mendecak, lalu menaruh ranselnya di kursi. “Kalau sakit jangan sok kuat, Mas. Bisa makin parah.” Nadanya terdengar seperti teguran, tapi lembut.
Arman menatapnya sekilas, ada bayangan rasa bersalah yang cepat ia sembunyikan. “Aku nggak apa-apa.”
Widya maju, berdiri di depannya. “Nggak apa-apa, apanya? Pucat gitu. Mau minum teh hangat atau bubur instan?”
Arman terdiam sebentar, lalu menoleh, tersenyum tipis. “Kalau aku bilang bubur, kamu bisa bikin?”
Widya berkedip, terdiam. “E… ya paling buburnya bubur instan sachet.”
Arman terkekeh lemah, suara tawanya bercampur batuk kecil. “Ya udah, itu juga cukup.”
Widya mendengus, berbalik menuju dapur. Dalam hati ia masih kesal mengingat pagi tadi dan telepon Priya, tapi melihat Arman begini membuat amarahnya luntur sedikit.
Beberapa menit kemudian ia kembali dengan mangkuk bubur instan dan segelas air hangat. Widya menyodorkannya ke Arman tanpa banyak bicara.
“Terima kasih.” Arman menerima, tangan mereka sempat bersentuhan sekilas. Widya cepat-cepat menarik tangannya, lalu duduk di kursi seberang, pura-pura main HP.
Sunyi sejenak. Hanya suara sendok beradu dengan mangkuk.
Arman akhirnya angkat suara, lirih. “Wid…”
Widya mendongak, menahan debar. “Apa?”
Tatapan Arman menempel padanya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi yang keluar hanya, “Maaf kalau tadi pagi bikin kamu nggak nyaman.”
Widya mengangkat bahu, mencoba santai. “Santai aja. Aku udah terbiasa kok sama orang yang nggak bisa jaga perasaan.”
Arman terdiam, menelan buburnya dengan wajah yang makin rumit. Widya berusaha menahan senyum tipis antara puas karena berhasil menyentil, dan aneh karena merasa peduli pada orang yang bukan seharusnya ia pedulikan.
*
*
Malam Hari – Kamar
Widya sudah berganti piyama, duduk disisi tempat tidur sambil membaca modul kuliah. Lampu kamar hanya menyala redup. Dari sisi lain kamar, Arman masih terbaring, wajahnya terlihat lelah.
Sesekali Widya melirik, pura-pura fokus ke bukunya. Akhirnya ia menutup modul, menarik napas, lalu berkata pelan,
“Mas, masih pusing?”
Arman membuka mata setengah. “Udah mendingan. Tidur aja, Wid. Nggak usah khawatir.”
Widya mendengus kecil. “Siapa juga yang khawatir. Aku cuma takut besok kamu tumbang, terus aku dituduh nggak ngurusin suami.”
Arman tersenyum tipis. “Alasannya keren juga.”
Widya malas menanggapi, tapi matanya tetap tertuju ke wajah Arman. Ia berdiri, berjalan ke meja kecil, lalu mengambil segelas air yang sudah ia siapkan. “Minum dulu. Biar nggak dehidrasi.”
Arman bangkit setengah, mengambil gelas dari tangannya. Jemari mereka bersentuhan lagi, lebih lama kali ini. Widya cepat-cepat menarik tangannya, tapi wajahnya sudah merah padam.
“Terima kasih.” Arman meneguk air itu perlahan. “Kamu perhatian juga, ya.”
Widya melipat tangan di dada, pura-pura ketus. “Jangan GR. Aku cuma nggak mau repot kalau kamu sakit beneran.”
Arman menahan tawa, lalu berbaring kembali. Sunyi sebentar, hanya terdengar suara jam yang berdetak.
“Wid,” panggilnya tiba-tiba.
“Hm?”
“Makasih udah repot-repot tadi sore.” Suaranya rendah, tulus.
Widya terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia buru-buru kembali ke tempat tidur, menarik selimut sampai ke dada. “Udah ah, tidur. Besok aku kuliah pagi.”
Arman tersenyum samar, menatap punggung Widya yang membelakanginya. “Selamat tidur.”
Awkward keheningan kembali melingkupi kamar. Sampai akhirnya, dalam tidurnya, Widya mulai gelisah seperti biasa, kaki dan tangannya bergerak tak beraturan.
“Widya…” Arman mengeluh pelan ketika tangannya kena sikut. Ia mencoba menjauh, tapi tidak berhasil. Sampai akhirnya sebuah tendangan kecil dari Widya mengenai kakinya.
“Aduh…” Arman mengusap wajahnya, separuh pasrah, separuh geli. “Tidur lasakmu bisa jadi senjata, Wid.”
Tapi alih-alih marah, Arman hanya menggeleng, lalu memposisikan diri lebih jauh, sambil tersenyum tipis. Ada sesuatu yang hangat merayap di dadanya—aneh, tapi menyenangkan.
------