Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Sembilan
Yuni menoleh perlahan. Wajahnya basah oleh air mata. “Jadi ini … yang kamu sembunyikan selama ini, Mas?” tanyanya dengan suara nyaris bergetar.
Azka terdiam. Tak ada kata yang bisa ia keluarkan. Dia hanya menunduk.
“Mas, jawab aku,” lanjut Yuni pelan tapi tajam. “Ini semua … apa?”
Azka menatap dinding itu sebentar, lalu menunduk. “Aku bisa jelaskan, Yun.”
“Jelaskan apa?!” bentak Yuni, suaranya tiba-tiba pecah. “Bahwa kamu selingkuh sama sahabatku sendiri?!”
Azka mundur setengah langkah, wajahnya penuh rasa bersalah. “Aku nggak selingkuh ...."
“Nggak selingkuh, apa namanya? Kamu menikahinya setelah menikah denganku!” Yuni tertawa kecil, getir. “Mas, kamu tempel semua fotonya di dinding kamar ini! Kamu simpan foto nikah kalian! Kamu pikir aku bodoh?!”
Azka mencoba mendekat, tapi Yuni mundur. “Jangan mendekat, Mas! Jangan!”
Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan lagi. “Aku kira selama ini kamu tak mau menyentuhku karena belum cinta. Aku pikir kamu jarang pulang karena masih belum sayang. Tapi karena kamu memiliki wanita lain. Pantas kamu betah lama-lama di sini!"
Azka menunduk, suaranya serak. “Yun, aku minta maaf … semuanya salahku.”
“Maaf?” Yuni menatapnya tajam. “Kamu pikir kata maaf bisa hapus semua rasa sakit ini?”
Azka tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, menahan perih yang sama. Tapi berbeda dengan Yuni, dia tahu, luka yang muncul siang ini sudah ia gali sendiri.
Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya suara detik jam dan napas terengah Yuni yang terdengar.
Akhirnya, Yuni melangkah mundur pelan, menatap foto-foto itu sekali lagi. “Aku nggak tahu … apa yang lebih sakit, Mas,” ucapnya lirih. “Dikhianati suami sendiri … atau dikhianati sahabat yang aku percaya sepenuh hati.”
Azka menatapnya, matanya mulai berkaca. Tapi Yuni sudah terlalu terluka untuk mendengarkan apa pun lagi.
Perlahan, ia menurunkan pandangan ke lantai, lalu menatap kembali foto Amanda yang menatap dari dinding, senyum lembut wanita itu kini terasa seperti ejekan.
“Amanda tak salah, aku yang salah, Yun. Dia tak tau apa-apa. Dia juga baru tau jika aku telah memiliki istri," ucap Azka.
"Kamu pikir aku percaya?" Yuni tertawa getir. "Kamu hanya melindunginya, karena kamu sangat mencintainya. Lihatlah, baru ditinggal berapa hari kamu sudah seperti orang gila. Aku yang pertama jadi merasa kalau aku yang simpanan. Kamu menemui aku secara diam-diam!"
“Yun … dengar dulu, tolong,” suara Azka pelan, penuh permohonan.
Tapi Yuni sudah tak sanggup lagi mendengarnya. “Cukup, Mas. Aku udah cukup dengar kebohonganmu selama ini.”
“Ini bukan kebohongan seperti yang kamu pikir,” Azka mencoba mendekat, wajahnya memelas. “Amanda nggak tahu aku udah nikah waktu itu. Aku salah karena nyembunyiin semuanya dari kalian berdua. Tapi dia nggak salah.”
Yuni tertawa getir. “Kamu pikir aku akan percaya, Mas?"
“Yun, aku tahu aku salah,” Azka menunduk, suaranya serak. “Aku nggak nyangka semuanya bakal sampai sejauh ini.”
“Sejauh ini?” Yuni hampir menjerit. “Kamu menikahinya, Mas! Itu bukan ‘kejauhan’ itu pengkhianatan!”
Azka menatap Yuni, dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Wajah wanita di depannya itu bukan lagi istri yang dulu lembut dan penuh kesabaran. Kini, yang berdiri di depannya adalah seseorang yang patah, bukan karena benci, tapi karena cinta yang tak dihargai.
Air mata menetes dari matanya, satu per satu. Ia mengusapnya cepat, seperti ingin menolak kelemahan itu. “Aku bodoh, ya. Selama ini aku berusaha jadi istri yang baik, berharap kamu suatu hari bakal benar-benar cinta. Tapi ternyata aku cuma cadangan.”
Yuni berjalan pelan menuju pintu kamar. “Aku nggak tahu, Mas, kamu sadar atau nggak… tapi yang kamu lakuin ini udah ngerusak banyak hal. Bukan cuma aku. Amanda juga.”
“Yun, tolong,” Azka menahan langkahnya. “Jangan salahin Amanda. Dia nggak tahu kalau kamu ....”
“Berhenti, Mas!” Yuni menoleh cepat, suaranya gemetar tapi tajam. “Kamu pikir dia nggak tahu? Kamu pikir dia nggak sadar kamu udah punya istri? Sahabat macam apa yang nggak pernah tanya status seseorang yang datang ke hidupnya seintens itu?”
Azka terdiam. Ia tahu Amanda memang baru tahu belakangan, tapi apa pun yang ia katakan sekarang tak akan terdengar meyakinkan. Bagi Yuni, semua alasan hanya akan terdengar seperti pembenaran.
“Aku lihat caramu ngomongin dia, Mas,” lanjut Yuni, matanya menatap lurus. “Bahkan sekarang, kamu masih sibuk melindunginya. Kamu pikir aku nggak tahu? Dari tadi kamu nyebut namanya dengan cara yang beda. Lembut. Seolah dia lebih pantas kamu bela daripada aku.”
Azka menghela napas panjang, menatap lantai. “Aku nggak bela dia. Aku cuma nggak mau kamu salah paham.”
“Udah telat buat nggak salah paham,” gumam Yuni pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Aku udah lihat cukup.”
Ia menatap ruangan itu sekali lagi. Dinding dengan foto-foto yang kini terasa seperti luka yang tak bisa dihapus. Yuni menunduk, air mata jatuh membasahi lantai. “Kamu tahu, Mas? Aku dulu iri sama Amanda. Dia cantik, mandiri, sabar. Aku nggak tahu ternyata aku harus kehilangan semuanya karena dia.”
Azka memejamkan mata, menahan rasa sesak di dada. “Yun, sumpah … Amanda nggak tahu apa-apa waktu itu. Aku yang salah, aku yang harus disalahkan. Aku mengaku lajang!"
“Ya, kamu memang salah.” Yuni tersenyum miris. “Tapi dia tetap bagian dari kesalahan itu, Mas. Karena dia bagian dari kamu.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya suara detik jam yang terus berdetak, seperti menghitung waktu menuju kehancuran berikutnya. Azka berusaha membuka mulut, tapi Yuni sudah berbalik.
Langkahnya mantap, meski tubuhnya bergetar. Ia keluar dari kamar itu, melewati lorong rumah yang terasa asing kini. Dinding-dinding yang dulu penuh kenangan kini terasa dingin, seolah semuanya telah berubah wajah.
Azka menyusul di belakang, namun Yuni tak lagi menoleh.
“Yun, tolong, jangan pergi dulu. Kita bisa bicara baik-baik,” pinta Azka, suaranya parau.
“Ngapain bicara, Mas? Supaya kamu bisa bohong lagi? Aku udah cukup dengar omong kosongmu,” balas Yuni tanpa menatapnya.
Langkahnya menuju ruang keluarga semakin cepat. Ia melihat Nathan yang duduk di sofa, menonton televisi tanpa tahu apa yang baru saja terjadi. Bocah itu menoleh begitu melihat ibunya, matanya berbinar.
“Bunda,” sapa Nathan polos. “Ayah di atas ya?”
Yuni tertegun sejenak. Air mata yang tadi sudah berhenti kembali jatuh. Ia berjongkok di depan anaknya, mengelus rambutnya lembut.
“Nathan, ayo pulang sama Bunda, ya.”
“Sekarang?” tanya Nathan bingung. “Kan biasanya Ayah yang nganter.”
Yuni memaksa tersenyum. “Kita pulang berdua saja."
Kedua mertua Yuni berusaha membujuk, tapi Yuni tak mau dengar apa-apa lagi. Dia marah karena merasa mereka ikut andil dalam kebohongan ini.
"Yun, maafkan kami."
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Ma. Aku yang bodoh. Seharusnya aku sudah tau saat Mas Azka jarang pulang."
Yuni berjalan dengan menggandeng tangan putranya. Nathan menurut tanpa banyak tanya. Sementara itu, Azka sudah sampai di ruang keluarga, berdiri tak jauh dari mereka. “Yun, tolong jangan bawa Nathan dulu. Kita omongin ini tanpa dia.”
Yuni berdiri, menatap Azka dengan mata merah. “Dia anakku juga, Mas. Aku nggak butuh izin buat bawa dia pulang.”
“Nathan masih kecil, Yun. Dia nggak ngerti apa yang terjadi.”
“Justru karena itu aku bawa dia,” suara Yuni rendah tapi penuh penekanan. “Aku nggak mau dia lihat ibunya hancur di depan matanya.”
Azka terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya berdiri di sana, menatap wanita itu, yang pergi dengan membawa luka.
.
nah loh....kmu cndirian 🤣🤣🤣🤣😡😡😡
jdi yg slh tu Azka tau kadal buduk itu😡😡😡😡