NovelToon NovelToon
Bukan Sekolah Biasa

Bukan Sekolah Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Misteri / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Light Novel
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Vian Nara

Sandy Sandoro, murid pindahan dari SMA Berlian, di paksa masuk ke SMA Sayap Hitam—karena kemampuan anehnya dalam melihat masa depan dan selalu akurat.

Sayap Hitam adalah sekolah buangan yang di cap terburuk dan penuh keanehan. Tapi di balik reputasinya, Sandy menemukan kenyataan yang jauh lebih absurb : murid-murid dengan bakat serta kemampuan aneh, rahasia yang tak bisa dijelaskan, dan suasana yang perlahan mengubah hidupnya.

Ditengah tawa, konflik, dan kehangatan persahabatan yang tak biasa, Sandy terseret dalam misteri yang menyelimuti sekolah ini—misteri yang bisa mengubah masa lalu dan masa depan.

SMA Sayap Hitam bukan tempat biasa. Dan Sandy bukan sekedar murid biasa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vian Nara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10 : SMK Jangkar Pelita

Hari itu tiba. Tim yang di tugaskan untuk menjalankan tugas meyakinkan sekolah yang akan menjadi sekutu, mendapatkan dispensasi.

Senin. Beruntung juga misi itu tepat di hari yang paling malas aku jalani. Mata pelajaran Fisika yang menjadi alasan utamanya.

"Ini dia lokasinya. SMK Jangkar Pelita." Kak Arlo memastikan lokasi lewat gogel map.

"Ini adalah sekolah puncak bagi segala berandal si wilayah ini. Tidak ada yang berani mengusik mereka." Tambah Kak Alma.

Dari depan bangunan sekolah yang besar. Sebuah tugu jangkar berdiri kokoh dan membuat siapa saja yang pertama kali melihat akan kagum.

"Berapa biaya yang mereka habiskan untuk membuat tugu ini?" Tanyaku.

"Yang pasti tidak seperti tugu yang mendapat anggaran besar, tapi terbuat dari kardus bahkan sangat tidak sesuai ekspektasi. Malahan anggaran tersebut di korupsi." Jawab Nara.

Memang benar, sih. Berita yang beberapa waktu aku baca pernah membahas tentang hal tersebut. Manusia tamak memang selalu begitu.

"Ada pertarungan di dekat sini." Bora memasang posisi siaga.

"Hah? Apa maksudmu?" Kak Arlo bertanya heran.

"Aku menguasai dan bahkan membuat sendiri aliran bela diri baru. Bau atau aura negatif serta positif dari sebuah pertarungan aku bisa merasakan semuanya." Jawab Bora yang kemudian langsung berlari menuju arah lain sekolah.

"Ikuti Aku." Kata Bora.

Kami berempat termasuk Alex yang sedari tadi menatap ponselnya turut mengikuti Bora.

"Sudah aku duga. Ada tawuran di sini." Bora menatap tajam peristiwa di depannya yang sedang terjadi.

"Bajingan! Mati aja lu!" Teriak salah satu murid lelaki.

BUK!

BUK!

Baku hantam terjadi sangat sengit. Bahkan sampai ada yang membawa senjata tajam.

"Serang! Jangkar Pelita harus tunduk ke kita!" Teriak pemimpin lawan Jangkar hitam.

WUSH!

Sebuah gerigi sepeda di putar-putar oleh tali kemudian di arahkan kepada salah satu murid.

"ARGH!!" Murid tersebut meringkih kesakitan.

"Kalian semua, jika tidak ingin merasakan hal sama. Suruh pemimpin kalian datang sekarang juga!" Seru Pemimpin lawan dari sekolah lain.

"Ada perlu apa, Lo sama gua, hah?!" Seorang lelaki berambut berantakan, menggunakan jaket berlogo jangkar biru berserta tali yang melingkarinya datang menyauti panggilan tersebut.

Tawuran berlangsung di sebuah lapangan kosong yang luas. Rumput hijau dan pepohonan yang menyertainya membuat pertempuran ini menjadi aman dari polisi.

"Lu harus tunduk kepada sekolah gua, Bagas!" Teriak pemimpin lawan dari sekolah lain.

"Langkahi mayat gua dulu!" Bagas balas berteriak.

"Jangan terpancing, Bagas!" Seorang lelaki berkacamata memberi nasehat.

"Gua masih ada urusan penting yang selalu belum selesai, gua bakal beresin ini dengan cepat, jangan ada yang ikut campur, Arfy!" Bagas kemudian mendatangi pemimpin lawan ke tengah lapangan.

Pemimpin lawan ikut ke tengah lapangan dengan membawa pentungan bisbol.

"Bagus! Kita satu lawan satu. Ini bakal mempercepat urusan kita." Kata si lawan Bagas.

"Menegangkan sekali." Kak Alma bergemetaran.

Kami berenam mengawasi pertarungan dari jauh, di balik semak-semak dan di bawah pohon rindang yang sama sekali tidak akan terdeteksi serta terlihat oleh mereka.

"Tenang saja, jika situasi memburuk. Lebih baik kau lari, Alma." Kata Kak Arlo.

"Masa aku meninggalkan teman dan junior-juniorku?" Cetus Kak Alma sembari gemetaran.

"Dia adalah Bagas. Ketua.. tidak. Pemimpin dari anak-anak SMK Jangkar Pelita. Dia DJ kenal sebagai Sang Pemegang Puncak." Bora menjelaskan.

"Yang kacamata itu sepertinya adalah Wakilnya." Celetukku sembari menunjuk ke arah orang tersebut.

"Logis sekali." Nara membenarkan opiniku.

"Bisa di lihat dari sikapnya yang tidak kenal takut ketika tawuran terjadi dan tetap berdiri tegap menghadapi semua lawan." Jelas Nara.

"Mungkin itu benar." Timpal Alex.

"Julukan pemegang puncak akan berakhir di sini." Kata lawan Bagas.

TUK!

Pentungan bisbol di pukulan keras oleh lawan Bagas.

"Gua gak mau pakai apa yang gua punya, Savio." Kata Bagas yang tidak merasakan sakit.

BUK!

Pukulan keras mendarat tepat di perut Savio hingga membuatnya sedikit merasakan sakit.

"Sialan!" Savio marah dengan wajah yang merah menyala.

BUK!

TUK!

DUK!

Baku hantam dan jual beli serangan terjadi dengan sangat cepat. Keduanya masih berdiri kokoh, Savio mendapatkan luka lebam. Namun, tidak dengan Bagas yang seperti tidak terluka sedikitpun.

"Gak mungkin!" Savio mulai gemetaran.

"A*J**G! Lu bukan manusia! Seharusnya lu udah terluka karena pentungan gua yang keras!" Suara Savio terdengar jelas seperti orang yang ketakutan.

"Pentungan ini?" Tanya Bagas sambil merebut Pentungan bisbol milik Savio.

KRAK!

Pentungan bisbol milik Savio di patahkan hingga terbelah menjadi dua oleh Bagas hanya dengan satu tangan.

"Gua gak mau pakai kemampuan. Tapi, lu maksa gua." Gertak Bagas.

BUK!

Bagas mendaratkan pukulan keras tepat pada perut Savio.

"Bagun!" Bagas berteriak.

"Ya ampun, ini sudah terlewat batas. Bagas sudah mulai kehilangan kendali. Kita segera Mambawa dia pergi!" Seru Arfy memberi perintah.

"Mereka mau ngeroyok, Savio. Kita hajar cepat!" Kesalahan dalam menanggapi. Sekolah yang menjadi lawan SMK Jangkar Pelita, mengira bahwa menghampiri Bagas adalah tindakan untuk mengeroyok Savio.

"Serang!" Teriak salah satu murid.

"Kita cepat bertindak!" Kak Arlo memberi perintah kepada kami berlima.

"Alma kau tunggu di sini bersama Nara. Sandy, Alex, Bora ikut aku. Cepat!" Kak Arlo menghampiri Medan tawuran.

Kak Arlo memungut batu, lalu mengepalkannya dengan tangan dan seketika ciri fisiknya berubah menjadi keras seperti batu tersebut.

ini harus di hentikan. (Kata Kak Arlo di dalam Hati.)

"Sialan!" Sebuah gir sepeda di sambetkan kepada murid SMK Jangkar Pelita.

TING!

"Hentikan semua ini!" Kak Arlo berseru. Gir tersebut terpental karena menghantam tubuh Kak Arlo yang keras layaknya benar-benar batu.

"Siapa kau? Dan kenapa bisa tubuhmu sekeras itu?" Murid yang menyabetkan gir sepeda mulai gemetaran.

"Brengsek! Mati aja kau!" Pertempuran kembali terjadi.

HUP!

"Kekerasan sangat tidak baik! Cukup aku mengamati sedari tadi. Saatnya kalian diam." Bora menangkis kedua pukulan dan tendangan dari masing-masing murid yang sedang tawuran.

TOK!TOK!TOK!

"Mohon maaf, tapi kalian akan pingsan sementara." Kata Bora setelah menotok kedua murid yang sedang bertarung hingga pingsan.

"Aku menguasai banyak bela diri bahkan hingga mengetahui titik aliran darah lawan yang bisa membuatnya kaku atau pingsan." Tambah Bora.

Aku mengfokuskan diri dengan memejamkan mata, membiarkan tanganku di kuasai oleh waktu yang berjalan.

TIK!TOK!

Waktu berhenti. Orang-orang yang sedang tawuran saja yang aku hentikan waktunya.

"Bagus, Sandy. Dengan ini kita bisa menyelesaikannya dengan damai." Puji Kak Arlo.

Arfy menghela nafas panjang sembari membenarkan kacamata miliknya, lalu menghampiri kami berempat.

"Maafkan aku atas penyambutan yang tidak mengenakkan ini." Kata Arfy.

"SMK yang di sebut-sebut sebagai puncak kekuatan dan di pegang oleh sang pemegang puncak, tidak akan selalu aman serta tentram." Arfy kembali memakai kacamatanya kembali.

"Perkenalkan aku, Arfy. Aku wakil dari OSIS SMK Jangkar Pelita. Dan akulah yang membuat permintaan kepada sekolah kalian." Tambah Arfy.

"Namaku Arlo. Aku perwakilan dari SMA Sayap Hitam." Balas Kak Arlo.

"Baiklah biar kita bicarakan masalahnya di tempat yang lebih baik." Arfy memimpin jalan.

"Tunggu sebentar!" Langkah Kak Arfy jadi terhenti.

"Apa?" Tanya Arfy.

"Kau lupa dengan masalah yang sedang terjadi di sini." Jawab Kak Arlo.

"Aku hampir lupa. Aku akan memindahkan Bagas saja ke tempat yang lebih baik. Namun, aku tidak tahu harus berbuat apa kepada mereka." Arfy menunjuk Savio dan pengikutnya.

"Alex!"

"Baiklah, Kak Arlo. Serahkan semuanya kepadaku." Alex membuka kacamatanya lalu perlahan matanya bersinar dengan warna ungu.

"Aku akan masuk ke dalam pikirannya." Kata Alex.

BRUK!

Tiba-tiba Alex terjatuh dan tidak sadarkan diri. Sepertinya dia mulai menggunakan kekuatannya.

"Dimana ini?" Tanya Savio dalam ruangan hampa.

"Kau Savio, kan?" Tanya Alex yang muncul dari belakang.

"Apa yang lu mau, hah!" Savio naik pitam.

"Pergilah dengan damai bersama rekan-rekanmu dalam tawuran yang sedang terjadi." Pinta Alex.

"Gak Sudi. Lu pikir gua bakal mau di suruh orang yang bahkan gua gak kenal?" Savio menggeram.

"Baiklah, tidak ada pilihan lain."

Setelah perkataan itu, Alex perlahan berubah menjadi sosok yang menakutkan. Membawa sabit, dengan memakai pakaian serba lusuh lalu mengenakan topeng seram.

"Hentikan semuanya atau kau akan mati!" Gertak Alex yang sudah berubah menjadi sosok menyeramkan tersebut.

"Lu pikir gua takut sama, lu? Brengsek!" Savio menyerang Alex.

Tembus. Pukulan Savio hanya angin belaka bagi Alex.

"Tidak mungkin!" Savio mencoba semua gerakan berkali-kali. Sama saja. Pukulan atau tendangan itu hanya angin belaka.

"Sudah selesai?" Alex membuka topengnya lalu menampakkan wajah seram dengan luka hancur di mana-mana dari wajahnya.

"Saatnya eksekusi!" Alex tersenyum seram.

Alex meraung kencang dengan suara seram hingga membuat Savio akhirnya ketakutan. Savio berlari, tapi percuma. Alex lebih cepat.

Sabit Alex mengenai Tubuh Savio hingga terbelah menjadi dua.

"Akulah yang akan menyiksa di neraka, jika kau tidak bertaubat!" Alex kembali tersenyum seram.

Savio menjerit kesakitan. Darah segar keluar dari tubuhnya yang terpotong menjadi dua bagian.

"Dia kenapa?" Tanyaku kepada Bora karena melihat tubuh Savio yang asli berkeringat dingin dan mata yang menyimpan rasa penuh ketakutan.

"Silahkan nikmati tawurannya! Dan jika kau benar mati sungguhan.. AKU SUDAH TIDAK SABAR UNTUK BENAR-BENAR MENYIKSA!" Alex berseru.

Alex kembali terbangun dari pingsan nya lalu memakai kacamatanya kembali.

"Sudah selesai." Kata Alex.

"Sebentar. Apa kekuatanmu sebenarnya?" Aku bertanya sembari terkejut karena hal yang telah dilakukan Alex kepada Savio.

"Kekuatanku adalah Penghancur Mental, Singkatnya entah dalam keadaan tidak sadar atau sadar aku bisa berhadapannya secara langsung kemudian bisa berubah menjadi sosok yang mengerikan dalam rupa yang berbeda, lalu memberikan rasa takut mendalam tentang kejahatan dan akibat yang akan di peroleh oleh targetku. Aku juga bisa menyiksanya, loh." Jawab Alex detail.

"Kok beda dengan masa lalumu yang berakting jadi pahlawan Isekai di kamar mandi, ya?" Aku mengeluh.

"Berisik!" Alex kesal.

"Sandy, kembalikan waktu agar berjalan kembali!" pinta Kak Arlo.

"Baik."

TOK!TIK!

Semua kembali normal. Savio terjatuh. Dia langsung merangkak ketakutan hingga akhirnya berlari kencang.

"Kabur! Kita sudahi Tawuran ini!" Seru Savio yang membuat pengikutnya bingung.

Tanpa pikir panjang pengikut Savio ikut berlari meninggalkan Medan pertempuran.

Sorakan kemenangan terdengar menggema seketika oleh anak-anak dari SMK Jangkar Pelita. Mereka berjalan kembali menuju sekolah.

"Sepertinya kali ini bukan karena diriku." Bagas beranggapan.

"Kalian yang pasti membuat Savio ketakutan, kan?" Tanya Bagas yang melirik ke arah kami berempat.

"Mereka adalah orang-orang yang aku minta untuk–" Belum selesai menyelesaikan ucapannya, Bagas memotong perkataan Arfy.

"Sudah aku katakan, jangan pernah ikut campur dalam urusanku, Arfy!" Bagas melotot sembari memegang kerah baju milik Arfy.

"Ini demi kebaikanmu, Gas! Kalau kamu sendiri, mana mungkin bisa menyelesaikan masalah itu!" Arfy Balas Berseru.

Bagas menatap tajam Arfy dengan serius. Tidak lama, dirinya menghela nafas panjang dan melepaskan cengkeramannya.

"Tidak ada gunanya, juga." Keluh Bagas.

"Terserah apa yang mau kau perbuat, asal itu tidak menghalangiku." Bagas pergi meninggalkan kami berempat di tengah Padang rumput yang luas.

Nara dan Kak Alma, setelah Bagas pergi. Mereka berdua menyusul kami ke tengah lapangan karena sedari tadi terus memperhatikan peristiwa tawuran dari balik semak dan pepohonan.

"Baiklah kalau begitu. Mari ikuti aku ke tempat yang lebih enak untuk mengobrol." Arfy berjalan duluan yang kemudian di susul oleh kami berenam.

****************

"Jadi katakan sekarang, apa masalah kalian yang membuat kami bagus membantu kalian terlebih dahulu agar setuju bergabung dengan aliansi kami?" Kak Arlo membuka topik inti.

"Sebenarnya ini bukan masalah sekolah." Arfy menghela nafas.

Sekarang kami berada di sebuah ruang kelas khusus jurusan electro. Ruangan yang penuh dengan kabel dan alat elektronik lainnya.

"Jika ada Rio di sini, dia pasti tidak mau diam." Gumam Nara.

"Benar juga. Beberapa hari lalu, dia menyuruhku untuk mencoba sepatu nitro buatannya yang memiliki bentuk seperti kemasan odol." Kataku.

"Dia memang terlalu bersemangat sedari dulu." Ujar Nara.

"Dulu?" Tanyaku.

"Benar. Aku dan Rio adalah sahabat dari kecil. Ibu kami berteman baik, jadinya kami juga begitu. Namun, setelah kepergian ibuku dan ibunya Rio. Dia menjadi sangat bersemangat sekali untuk menciptakan banyak penemuan berguna bagi umat manusia, kau tahu kenapa?" Nara bertanya kepadaku.

Aku menggeleng. "Nara, Maafkan aku terlebih dahulu karena jadinya kau membahas masa lalumu dan Rio." Kataku.

"Tidak apa. Kau tahu pelajaran sejarah itu fungsinya untuk apa?" Bora kembali bertanya.

"Agar kita tidak pernah mengulangi kesalahan yang sama di masa lampau." Jawabku.

"Tepat sekali. Aku sudah melupakan masa lalu, tapi masih menyimpan dendam kepada mereka." Nara mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Mereka siapa?" Tanyaku.

"Rio hanya tahu ibunya meninggal karena di vonis sakit. Dan itulah yang membuat Rio terpukul lalu ingin menciptakan teknologi yang berguna bagi manusia. Namun sebenarnya tidak begitu." Nara semakin kesal.

"Ibuku dan Ibunya Rio adalah seorang politikus, Ibu Rio mengkritik aturan presiden yang tidak wajar saat di keluarkan waktu itu dan dari sanalah teror menghampirinya dan hingga hal-hal yang tak diinginkan terjadi. Semua itu akibat tangan-tangan pemerintah." Nara menjeda perkataannya.

"Maafkan saya, Ibumu tidak bisa saya selamatkan." Dokter menunduk sembari menepuk pundaknya Rio. Padahal Dokter tersebut hanya pura-pura.

"Ibu!" Rio menangis.

"Aku turut berduka." Kata Ibu Nara.

"Tidak apa, Rio. Kah masih punya kami sekarang." Nara memenangkan sahabatnya.

Ibu Nara menatap tajam dokter tersebut hingga membuatnya gemetaran.

"Ibuku yang mengetahui apa yang terjadi sebenarnya tentang ibunya Rio tidak tinggal diam. Dia menyebarkan banyak fakta ke seluruh media berita hingga beliau membuat para pejabat marah dan beliau di tembak mati oleh mereka juga." Wajah Nara menjadi merah menyala karena dipenuhi amarah.

DOR!

"Ibu!" Nara berteriak. Ibu Nara tertembak tepat di persidangan kasus terbunuhnya ibunya Rio.

"Bereskan, jasadnya lalu kuburkan. Sebarkan pada berita bahwa dia gila dan tidak waras lalu bunuh diri." Perintah hakim.

"Kalian keji! Kalian akan membayar semua ini!" Nara berteriak di persidangan.

"Anak kecil bisa berbuat apa?" Hakim tertawa licik.

"Bawa anak itu pergi dari hadapanku." Dua polisi membawa Nara pergi dengan paksa.

"Kita apakan, dia?" Kata salah satu polisi.

"Bunuh saja. Toh di sini sedang tidak ada orang. Ini adalah di dekat sungai kotor. Mana ada orang yang kesini." Jawab polisi satunya.

"Baiklah." Salah satu polisi mengeluarkan pistolnya.

Nara mundur ketakutan, dia tidak bisa berdiri dengan baik.

DOR!

Peluru di tembakan. Meleset. Seorang pria gagah berhasil membelokkan arah pistol hingga peluru meleset.

BUK!

BUK!

Kedua polisi pingsan hanya dengan satu pukulan pria tersebut.

"Aku tahu apa yang sedang terjadi. Kasihan sekali, para biadab itu selalu berbuat seenaknya." Kata Pria gagah tersebut.

"Nara sedang apa kamu di sini?" tanya Rio yang ternyata sedang di gendong oleh pria tersebut.

"Bagaimana kau bisa?"

"Aku sekarang akan merawat kalian berdua. Kalian sekarang adalah anak-anakku." Kata pria tersebut lalu menurunkan Rio.

Nara menangis sesegukan dan Rio menghampirinya lalu menenangkannya.

"Syukurlah kau masih hidup." Kata Nara sembari air matanya terus berjatuhan.

Ini sebuah masa lalu ketika Nara dan Rio masih kecil.

"Aku akan menjadi orang hebat lalu aku akan memberi tahu kepada dunia apa itu keadilan !" Nara bersumpah.

"Nara bersumpah. Berarti sama sepertiku, dong! Aku juga akan menjadi seorang penemu teknologi yang akan berguna bagi umat manusia." Kata Rio.

"Itu sangat menyedihkan sekali. Sekali lagi aku minta maaf" Kataku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Sudah aku katakan, tidak masalah." Nara menepuk-nepuk pundakku.

"Sekarang mari kita dengarkan apa yang terjadi pada Bagas." Nara kemudian bergabung dengan yang lain.

"Bagas lah yang memiliki masalah. Dia adalah anak yatim-piatu. Dia tinggal bersama adiknya. Dan itulah masalahnya." Arfy menjeda ucapannya.

"Dia siscon?" Tanya Bora polos.

"Tentu saja bukan, Bodoh!" Jawab Arfy.

"Singkatnya, adik Bagas sama memiliki kemampuan seperti kita. Suatu hari... "

"Biarkan Aku saja yang membuat penjelasan ini menjadi lebih mudah." Kataku memotong perkataan Arfy.

"Apa maksudmu?" Tanya Arfy heran kepadaku.

"Dia, Sandy. Dan dia adalah orang dengan kekuatan langka. Manipulasi waktu." Jelas Kak Arlo yang memperkenalkanku kepada Arfy.

"Dia bisa memperlihatkan masa depan dan masa lalu lalu menghentikan waktu." Tambah Kak Arlo.

"Kalo begitu silahkan saja!" Arfy mempersilahkan.

Aku kembali berkonsentrasi dan mengikuti apa yang pernah Kak Anastasia ajarkan agar aku bisa memperlihatkan masa lalu dalam bentuk proyektor dengan perantara benda.

TIK!TOK!

Serbuk kuning keluar dari tanganku ketika memegangi papan tulis.

Sebuah potongan vidio tentang masa lalu Bagas. Sebelum masalah yang menimpanya hadir. Dan awal mula Bagas di sebut Sang Pemegang Puncak.

...****************...

Di sebuah ruangan kantor kepala sekolah. Kak Arthur bersama Kepala sekolah sedang berbicara.

"Semua yang kalian lakukan sudah di luar batas. Tapi aku tidak akan menghalanginya, toh ini juga demi masa depan yang lebih baik." Seorang pria paruh baya berkumis dan berjenggot meneguk secangkir kopi.

"Tindakan selanjutnya kemungkinan besar, guru juga akan turun tangan." Pria paruh baya itu menyimpan gelasnya.

"Baiklah. Terserahlah apa kata kepala sekolah." Kata Arthur.

"Aku dengar Nara ikut dalam langkah yang lebih dekat dengan rencana kita. Apakah itu benar?" Tanya kepala sekolah.

"Tentu. Itu inisatifnya sendiri. Selain itu, Bora ikut membujukku." Jawab Kak Arthur sembari mengambil buku di rak lalu duduk di sebuah kursi.

"Anak itu memang memiliki punya pendirian yang kuat. Dan itulah mengapa aku bangga memutuskan untuk membesarkannya ketika insiden yang mengerikan menimpanya bersamaan dengan Rio. Kalian berdua telah tumbuh menjadi seorang yang sangat pintar dan genius." Kepala Sekolah memegang sebuah lemari ulangan yang bernilai seratus atas nama Nara dan Rio dalam mata pelajaran Fisik serta Matematika.

Seragam khas SMK Jangkar Pelita

1
Vian Nara
menarik
sang kekacauan
lanjut
sang kekacauan
kalau 80 berapa ro aku mulai aktif membaca kembali
sang kekacauan
nggak konsisten
Vian Nara: Maaf ya, karena sulit untuk konsisten bagi saya karena saya mengidap penyakit mental yang di mana lamuna sedikit saja sudah membuat cerita yang baru serta kompleks jadinya sulit /Frown/
sekali lagi mohon maaf
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!