Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
saat aku di dengar
Sore itu, Laila berdiri di depan cermin, mematut wajahnya yang tampak lebih segar dari biasanya. Sejak Bu Santi menyarankannya untuk lebih memperhatikan diri sendiri, Laila mulai meluangkan waktu lima sampai sepuluh menit lebih lama di kamar mandi, sekadar mengoleskan krim wajah atau memijat pelipisnya yang sering tegang. Walaupun kecil, itu adalah bentuk cinta diri yang perlahan-lahan ia pelajari.
Pesan Bu Santi masih terngiang dalam kepalanya.
"Laila, kamu juga berhak untuk bahagia. Jangan hanya memikirkan orang lain, tubuh dan pikiranmu juga butuh dijaga. Kalau kamu lelah terus, bagaimana kamu bisa bertahan dalam pernikahan ini?"
Hari itu, ia berjanji dalam hati bahwa ia akan mencoba. Sekecil apa pun langkahnya.
Laila berjalan ke kamar, tempat Arfan sudah duduk bersandar di ranjang sambil memainkan ponselnya. Matanya memandang Laila sekilas, lalu beralih kembali ke layar.
“Mas,” panggil Laila dengan suara lembut.
Arfan menoleh, meletakkan ponselnya. “Ya, sayang? Kamu tampak segar hari ini.”
Laila tersenyum kecil. Ia tahu pujian itu keluar karena Arfan menyukai penampilan luar, bukan karena menyadari betapa kerasnya Laila berjuang menjaga dirinya tetap waras.
“Aku mau bicara soal usulan ibu, soal pembantu rumah tangga itu,” ucap Laila pelan.
“Oh? Kamu berubah pikiran?”
“Iya… setelah kupikir-pikir, sepertinya akan baik kalau kita punya pembantu. Aku jadi bisa punya waktu untuk merawat diri, istirahat juga, dan... ya, biar saat bersama mas, aku bisa lebih segar dan semangat.”
Mata Arfan menyipit kecil, memandang istrinya dari atas ke bawah. Lalu, senyum tipis muncul di wajahnya.
“Bagus, aku setuju. Aku memang suka kamu kalau lagi tampil cantik dan wangi. Bikin aku makin semangat, hehehe.”
Laila hanya bisa membalas senyuman itu, walau dalam hati ia tahu bahwa niatnya jauh lebih dalam dari sekadar tampil cantik. Ia ingin sehat—jiwa dan raganya.
Namun, seperti biasa, pembicaraan mereka berakhir di topik yang sama. Arfan menggenggam tangan Laila, menariknya ke arah ranjang.
“Ayo sini, sayangku. Sekarang aku butuh kamu.”
Laila menahan gerakan itu sejenak. “Mas, aku capek hari ini. Gimana kalau malam ini kita istirahat saja? Aku janji besok aku akan lebih siap.”
Namun Arfan tidak menjawab. Ia hanya menarik Laila makin dekat, tangannya mulai menyusuri punggung istrinya.
“Mas, dengar aku dulu. Aku lelah. Badanku sakit semua. Aku butuh istirahat.”
Arfan menghentikan gerakannya, menatap Laila tajam. “Kamu lagi-lagi nolak aku, ya?”
“Bukan nolak, mas… Aku cuma minta waktu. Hanya malam ini.”
“Tiap malam kamu bilang capek. Kamu pikir aku ini patung?” suara Arfan meninggi.
Laila menunduk. Rasanya sakit sekali saat kebutuhan fisiknya lebih dipentingkan daripada perasaannya.
“Maaf, aku bukan mau bikin mas marah. Aku cuma minta sedikit pengertian. Aku juga manusia, mas.”
Arfan berdiri dari ranjang, berjalan ke jendela dengan langkah cepat. Laila menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, kalau ia menangis sekarang, maka semuanya akan berbalik padanya. Ia akan dianggap terlalu sensitif, terlalu lemah.
“Baik,” ucap Arfan akhirnya dengan suara rendah. “Besok, kamu harus siap. Jangan kasih alasan lagi.”
Laila mengangguk. “Terima kasih, mas.”
Malam itu, mereka tidur dalam diam. Punggung Arfan membelakangi Laila, dan Laila menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ini bukan soal seks. Ini soal perasaan, soal kebutuhan untuk dimengerti, dihargai, dan didengar.
Keesokan paginya, Laila bangun lebih awal. Ia menyeduh teh, lalu duduk di teras rumah. Udara pagi masih segar, suara burung terdengar samar-samar dari pohon tetangga. Laila membuka ponselnya dan mengirim pesan kepada Bu Santi.
Bu, saya sudah bicara dengan suami. Dia setuju untuk mempekerjakan pembantu. Saya juga sudah mulai sedikit demi sedikit merawat diri saya. Tapi rasanya masih berat, Bu. Saya masih sering merasa lelah, dan setiap malam saya merasa seperti barang, bukan manusia. Tapi saya akan terus mencoba.
Pesan itu dibaca Bu Santi tak lama kemudian.
Kamu hebat, Laila. Proses itu memang tidak instan. Tapi kamu sudah memulai, dan itu sudah sangat luar biasa. Jangan lupa, kamu tidak sendiri. Kita akan cari cara agar kamu bisa tetap sehat—secara jasmani dan batin.
Laila menghapus air matanya yang jatuh perlahan. Ini memang belum akhir dari perjuangannya. Tapi setidaknya, hari ini ia berhasil berdiri. Meski sedikit goyah, tapi tetap berdiri.