Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Hari ini langit cerah. Tapi buat Raisa, dunia tetap kelabu.
Sejak video itu viral, kampus sudah bukan tempat yang nyaman. Setiap ia berjalan di koridor, selalu ada bisik-bisik.
"Itu dia tuh yang sama om-om."
"Pantes gaya hidupnya beda."
"Gila sih, enak banget punya sponsor kayak gitu."
Raisa menunduk, berusaha tidak mendengar, tapi kata-kata itu menusuk seperti jarum.
Di kantin, ia duduk bersama Dina.
“Rai, serius deh, kamu kuat banget kalau masih bisa datang kuliah,” kata Dina sambil melirik sekeliling. “Kalau aku sih udah ngurung diri di kamar.”
Raisa hanya mengaduk jusnya. “Mau ngurung diri pun, gosipnya nggak bakal berhenti, Din. Jadi… buat apa?”
Dina menggenggam tangannya. “Aku di pihakmu kok. Tapi… kamu sama Om Ardan tuh sebenernya apa sih?”
Pertanyaan itu membuat Raisa mendongak cepat. “Nggak ada apa-apa. Om Ardan cuma… kenalan Mama.”
Dina mengangkat alis. “Tapi dia kayak… selalu muncul pas kamu butuh.”
Raisa terdiam. Iya. Kenapa selalu gitu?
Saat mereka keluar dari kantin, sekelompok mahasiswa cowok duduk di bangku dekat taman. Salah satunya, yang terkenal suka cari ribut, bersiul ketika Raisa lewat.
“Eh, princess om-om! Mau kemana?!” katanya keras-keras.
Raisa berhenti, menoleh. “Apa?”
Cowok itu berdiri, berjalan mendekat dengan senyum mengejek. “Santai, kok. Nanya doang. Eh, omnya mana? Kok nggak jemput?”
Beberapa temannya tertawa. Raisa merasakan wajahnya panas.
“Mau ngomong sekali lagi?” suaranya bergetar menahan marah.
Cowok itu malah mendekat. “Lah, beneran, dong. Kita kan cuma bercanda. Jangan sensi gitu, princess.”
“Ternyata mulut mahasiswa di sini lebih murah dari harga kantin,” suara berat memotong suasana.
Semua menoleh.
Ardan berdiri tak jauh dari situ. Lengkap dengan jas, kemeja rapi, dan ekspresi dingin yang bikin semua orang terdiam.
Raisa terkejut. “Om?!”
Ardan melangkah mendekat, tatapannya tajam ke arah cowok yang tadi melecehkan Raisa. “Kalau bercanda, tahu batas. Kalau nggak tahu, belajar dulu.”
Cowok itu pucat. “S-sorry, Pak. Nggak maksud…”
Ardan mendekat lebih dekat, menunduk sedikit. “Kalau saya dengar lagi kamu buka mulut seenaknya tentang Raisa, kita ketemu bukan di kampus. Mengerti?”
Cowok itu buru-buru mengangguk. “Iya, Pak… maaf, Pak.”
Semua mahasiswa di sekitar terdiam. Ardan lalu menoleh ke Raisa. “Ayo.”
Raisa, masih kaget, hanya bisa mengikutinya.
Di parkiran, Raisa meledak. “Om gila?! Ngapain sih muncul tiba-tiba?! Orang-orang jadi makin gosipin kita!”
Ardan membuka pintu mobil. “Kalau Om nggak muncul, kamu tadi diapain mereka?”
“Biarin aja! Aku bisa urus sendiri!”
Ardan menatapnya lama. “Raisa. Kamu nggak harus selalu pura-pura kuat.”
Kata-kata itu menghantam Raisa lebih keras daripada ejekan tadi.
Di perjalanan pulang, mereka diam. Raisa menatap keluar jendela, berusaha mengatur napas.
Sebenarnya… ia lega Ardan datang. Tapi gengsinya membuatnya tidak bisa mengakuinya.
Malamnya, Raisa keluar dari kamar. Apartemen gelap, hanya lampu di meja kerja yang menyala. Ardan duduk di sana, membaca dokumen.
“Belum tidur?” tanyanya pelan.
Ardan mendongak. “Belum.”
Raisa duduk di sofa, memeluk bantal. Hening beberapa saat sebelum ia berkata, “Om… kenapa sih… peduli banget sama aku?”
Ardan menatapnya. “Kalau Om jawab ‘karena Om peduli’, kamu nggak akan puas kan?”
Raisa mengerucutkan bibir. “Jawab aja.”
Ardan menutup berkas di tangannya. “Karena kalau Om nggak peduli, siapa yang peduli? Dunia nggak peduli sama kamu, Raisa. Orang-orang cuma bisa ngomong. Tapi Om… nggak mau kamu hadapi semua ini sendirian.”
Kalimat itu membuat dada Raisa sesak. Ia ingin menangis, tapi menahan.
“Om… nggak takut ya, orang salah paham?”
“Takut? Ya. Tapi Om lebih takut kalau kamu hancur sendirian.”
Raisa menggigit bibir. Kenapa sih dia ngomong kayak gitu… bikin aku tambah bingung aja.
Ia akhirnya berdiri. “Aku… mau tidur.”
Saat melangkah ke kamar, ia melirik Ardan sekali lagi.
Kenapa ya… kalau dia ada, rasanya kayak dunia nggak sejahat itu?
*
Pagi itu Raisa membuka ponselnya. Seketika dadanya sesak.
Foto-foto baru beredar.
Bukan hanya video di club. Kali ini ada foto Ardan dan dirinya keluar dari apartemen. Entah siapa yang mengambil, tapi jelas foto itu diambil dari kejauhan, wajah mereka terlihat jelas.
Caption-nya,
“Update: Mahasiswi yang diduga calon istri muda Om Ardan keluar dari apartemennya. Cinta beda usia makin panas!”
Komentarnya lebih kejam daripada sebelumnya.
“Ya ampun, makin jelas dong jadiannya!”
“Gila, Om-nya beruntung banget!”
“Cewek kayak gini bikin malu kampus.”
Raisa melempar ponsel ke kasur. “Aku nggak kuat.”
Siangnya, Dina datang ke apartemen. Raisa memeluk sahabatnya erat. “Din… aku gila nggak sih? Semua orang ngomongin aku. Aku bahkan nggak tahu siapa yang foto-fotoin kayak gini.”
Dina mengelus punggungnya. “Sabar, Rai. Tapi… boleh jujur? Kamu sama Om Ardan sebenernya apa?”
Raisa menunduk, menggigit bibir. “Nggak… nggak tau.”
Dina mengerutkan alis. “Nggak tau maksudnya? Kamu kan tinggal sama dia sekarang.”
Raisa menatap sahabatnya, matanya berkaca-kaca. “Aku cuma… kalau sama dia, aku nggak ngerasa sendirian. Tapi di sisi lain, aku juga malu. Aku takut. Aku bingung. Dan… aku nggak ngerti kenapa jantungku deg-degan terus kalau dia deket.”
Dina menatap Raisa lama. “Rai… kayaknya kamu mulai jatuh sama dia.”
Raisa menoleh cepat. “NGGAK! Nggak mungkin! Dia… dia Om-Om, Din!”
Dina mendesah. “Perasaan nggak kenal umur, Rai. Kamu aja yang nggak mau ngaku.”
Raisa menutupi wajahnya dengan bantal. “Astaga… aku beneran gila.”
Sore harinya, Raisa keluar kamar untuk mencari Ardan. Anehnya apartemen sepi. “Om?” panggilnya.
Tak ada jawaban.
Ia menemukan Ardan di sofa ruang tamu. Terbaring, masih memakai kemeja, wajahnya pucat.
“Om?!” Raisa mendekat, menyentuh keningnya. Panas.
“Demam,” gumamnya.
Ardan membuka mata sedikit. “Kamu udah pulang?” suaranya lemah.
“Ya ampun… Om sakit nggak bilang-bilang.”
Ardan tersenyum samar. “Bukan hal besar. Istirahat bentar nanti juga baikan.”
“Enggak. Om masuk kamar. Sekarang.”
Ardan mengangkat alis, terkejut melihat Raisa menatapnya tajam. “Kok marah?”
“Karena Om nggak mikirin diri sendiri! Ayo.”
Dengan susah payah Raisa membantu Ardan ke kamar. Ia menyiapkan air hangat, handuk kecil, dan obat.
Saat ia menempelkan handuk dingin ke kening Ardan, pria itu menatapnya lama.
“Kamu… mirip Mama kamu kalau marah,” katanya pelan.
Raisa mendelik. “Jangan bandingkan aku sama Mama. Lagi pula, Om diem aja. Istirahat.”
Ardan hanya tersenyum, lalu menutup mata.
Beberapa jam kemudian, Raisa duduk di kursi samping ranjang. Ia mengawasi Ardan yang tidur.
Tanpa sadar ia bergumam, “Kenapa sih Om selalu bikin aku bingung? Kadang aku benci… tapi kadang aku… nggak mau Om pergi.”
Ardan bergerak pelan, membuka mata. “Kamu ngomong apa?”
Raisa kaget. “Eh?! NGGAK! Nggak ngomong apa-apa!”
Ardan menatapnya. “Raisa.”
“Apa?”
“Terima kasih.”
“Buat apa?”
“Buat… ada di sini.”
Jantung Raisa berdebar kencang. Mereka saling menatap. Detik terasa lama.
Raisa sadar jaraknya terlalu dekat. Satu gerakan saja, wajah mereka akan bersentuhan.
Ardan perlahan mengulurkan tangan, menyentuh jemari Raisa yang tergeletak di ranjang. “Kalau kamu capek… kamu boleh pergi. Om nggak akan marah.”
Raisa menggigit bibir. “Kalau aku… nggak mau pergi?”
Ardan terdiam. Napasnya berat, seperti menahan sesuatu.
Tapi ia hanya berkata pelan, “Kalau kamu nggak mau pergi… tetaplah di sini.”
Raisa buru-buru berdiri, menahan gejolak aneh di dadanya. “Aku… ambil air dulu.”
Ia keluar kamar, menutup pintu, bersandar di dinding. Wajahnya panas.
Ya Tuhan… apa yang barusan terjadi?
Malam itu, Raisa tidak bisa tidur.
Bayangan tatapan Ardan… genggaman jemarinya… dan kata-katanya, terus berputar di kepala.
Kalau kamu nggak mau pergi… tetaplah di sini.