Kania nama gadis malang itu. Kehidupan sempurnanya kemudian berantakan setelah sang ibu meninggal dunia. Ayahnya kemudian menikahi janda beranak satu di desanya. Kehidupan bahagia yang sempat dirasakannya di masa lalu terasa seperti barang mewah baginya. Kania nama gadis malang itu. Demi menutupi utang keluarganya, sang ayah bahkan tega menjualnya ke seorang rentenir. Pernikahannya bersama rentenir tua itu akan dilaksanakan, namun tiba-tiba seorang pria asing menghentikannya. " Tuan Kamal, bayar utangmu dulu agar kau bebas menikahi gadis mana pun", pria itu berucap dingin. Hari itu, entah keberuntungan atau kesialan yang datang. Bebas dari tuan Kamal, tapi pria dingin itu menginginkan dirinya sebagai pelunas utang. Kania nama gadis itu. Kisahnya bahkan baru saja dimulai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourfee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Meeting berjalan dengan sangat lancar. Edward Lamos mulai mengeluarkan taktik berbisnisnya, membuat lawan bicara terkesiap. Ini adalah hal yang paling disyukuri oleh Felix. Jika berhadapan dengan klien, Edward tidak pernah main-main dengan ucapannya, tidak heran jika di usianya yang masih tergolong muda, ia berhasil mencapai posisi kejayaan. Sukses memimpin perusahaan dengan beberapa cabang yang tersebar di banyak bidang. Sukses menggaji puluhan ribu karyawannya.
Baiklah. Kesepakatan telah diambil. Kesepakatan yang sekiranya menguntungkan kedua belah pihak. Klien pentingnya pamit pergi. Edward Lamos kini siap diinterogasi sahabat baiknya. "Baiklah, Edward kau belum menjelaskan kepadaku perihal kehilanganmu kemarin. Kau ke mana sebenarnya?"
"Sudah kukatakan aku menikah, Felix.. Kenapa sulit sekali membuatmu percaya?"
Felix Senav menatap intens sahabat baik sekaligus atasannya.
"Edward, apa kau serius? Siapa wanita itu?"
"Gadis desa yang tak sengaja kutemui. Ia hampir saja dinikahkan dengan si Kamal. Untung saja aku datang tepat waktu. Kasian sekali gadis itu jika hidupnya harus dihabiskan dengan laki-laki sejenis Kamal".
"Heh itu bukan urusanmu. Kenapa kau jadi ribet begitu?" Felix tak habis pikir dengan pria satu ini.
"Well, kurasa gadis itu memang ditakdirkan untuk berjodoh denganku. Entahlah pertama kali melihatnya, aku seperti menemukan sosok ibuku. Kau tau, Felix dia bahkan mirip dengan ibuku. Ahh takdir hidup macam apa ini?"
"Astaga Edward. Jadi kau merebut pengantin orang lain di hari pernikahannya?"
Edward tertawa pelan. "Bukan merebut. Aku hanya menagih janji pada si Kamal. Dia berjanji akan melakukan apapun untuk membayar utangnya asalkan aku tidak menghancurkan bisnisnya. Yah akhirnya aku memilih mengambil pengantinnya. Pernikahan Kamal batal, digantikan oleh pernikahanku".
"Jadi gadis itu dijadikan alat pelunas utang? Yang benar saja. Di dunia semaju ini masih ada transaksi kuno seperti itu. Benar-benar kampungan". Felix sewot sendiri.
"Lagian gadis itu terlihat sangat tidak bahagia. Kau tau ia bahkan dijual ayah kandungnya demi membayar utang keluarganya pada Kamal. Aku bisa membaca ekspresi wajahnya. Dia tidak bahagia di hari pernikahannya. Tebakanku dia juga tidak bahagia tinggal bersama keluarganya". Edward menerawang.
"Sejak kapan kau pandai membaca ekspresi wajah orang lain. Aku yang hampir mati darah tinggi saja kau tidak peduli. Mendengar ucapan penuh percaya dirimu barusan, kurasa kau tau kalau aku selalu kesal padamu. Kau bisa melihatnya dari ekspresiku, wahai tuan pembaca ekspresi". Felix kesal sekali dengan sahabat baiknya itu. Edward terlihat tidak peduli dengan sindiran lawan bicaranya.
"Kau tau Felix. Salah satu hal yang ingin kucapai di dalam hidup adalah menikah dan memiliki keluarga yang harmonis. Sudah cukup waktunya untuk bermain-main wanita. Aku hanya ingin menikahi wanita baik-baik".
"Apa kau tau gadis itu adalah gadis baik-baik? Kau bahkan baru bertemu dengannya. Apa kau menilainya dari ekspresi wajah lagi? Kalau begitu kau pintar sekali. Memilih istri seperti memilih sampul majalah".
"Astaga Felix. Kenapa kau jadi cerewet sekali". Keluh pria beristri itu.
"Aku tidak senaif itu, Felix. Aku akan memberikan masa percobaan padanya selama satu tahun. Jika ia lolos tes dalam setahun itu, aku akan menjadikannya istri seumur hidupku. Namun, jika dia terang-terangan mengkhianatiku, aku sendiri yang akan menghabisinya".
"Cih, kau mencari istri atau mencari pegawai magang? Pakai masa percobaan segala".
Edward memilih mengabaikan sahabatnya. Kepalanya sedikit pening.
"Kau yakin Edward? Eh tapi aku sedikit penasaran dengan gadis itu. Seperti apa mukanya? Berapa usianya?"
"Mukanya seperti manusia pada umumnya dan usianya 19 tahun".
"19 tahun? Kau gila Edward Lamos. Anak seusia itu lebih cocok jadi mahasiswa ketimbang istri". Sentak Felix sedikit kaget. 19 tahun ya? Yang benar saja. Ingin sekali Felix mengetok kepala sahabatnya menggunakan barbel. Astaga kejam sekali.
"Aku tidak mau tau Edward, hari ini juga aku ingin bertemu dengan gadis itu. Memastikan sendiri dengan kedua mataku".
"Tidak masalah, kau bisa mampir ke rumahku sekalian makan malam. Lagian, sudah lama kita tidak makan malam bersama.
Hening. Keduanya sibuk dengan isi kepala masing-masing.
"Edward, apa kau punya alasan yang bagus untuk diberikan pada ibu?" Wanita itu pasti sangat histeris melihatmu punya istri dadakan". Aku akan bersuka cita melihat kau diinterogasi wanita tua itu". Felix berucap tanpa dosa.
" Astaga aku hampir lupa. Kau bantu aku mengurus berkas-berkas pernikahanku agar didaftarkan secara legal. Walaupun aku tidak tau akan seperti apa pernikahanku ke depannya, setidaknya aku membuat ikatanku dengan gadis itu jelas. Untuk urusan ibu, ahhh Felix aku belum punya alasan yang bagus untuk wanita itu. Aduh bagaimana ini?" Felix bahagia sekali melihat Edward kelimpungan seperti itu. Mungkin nanti dia akan merasa kasihan. Sekarang biarkan dia menikmati rasa bahagianya.
"Aku bisa membantumu untuk urusan apapun, Edward tapi soal ibu, maaf aku tidak bisa. Wanita tua itu sangat menyeramkan kalau marah". Felix bergidik ngeri membayangkan ekspresi marah ibunya.
Edward melirik kesal sahabatnya. Niat hati ingin meminta bantuan, tapi pria itu sama sekali tidak bisa membantunya.
"Kita pikirkan itu lain kali, Edward". Well, kurasa sudah saatnya kita ke rumahmu. Aku sudah tidak sabar melihat wajah istrimu".
"Apa maksudmu? Awas saja jika kau sampai menyukai istriku". Ancam Edward.
"Yah, jika suatu saat kau membuangnya, aku dengan senang hati menerima bekasmu".
"FELIX SENAV, KAU MAU MATI RUPANYA".
Felix terkekeh pelan, mengabaikan raut kekesalan di wajah sahabatnya. Senang sekali ia membuat Edward kesal. Hitung-hitung sebagai balasan. Felix kemudian merangkul bahu sahabatnya. Sahabat yang sudah dianggap seperti adik baginya. Keduanya berjalan beriringan keluar dari restoran itu.