Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.
Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.
Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Dimulainya Turnamen
Arena mendadak hening. Baru saja sang wasit memberikan aba-aba, sekelebat cahaya biru langsung melintas di atas panggung pertarungan. Gerakan Jiang Shen begitu cepat bagaikan kilatan petir yang membelah langit malam, tak seorang pun sempat menangkap jelas bagaimana ia bergerak.
Pedang sederhana di tangannya bergetar, memancarkan aliran qi yang pekat. Begitu diayunkan, terdengar raungan udara yang tajam—seolah pedang itu mengiris bukan hanya tubuh lawan, melainkan juga ruang di sekitarnya.
CRASH!
Suara benturan terdengar, keras dan mengejutkan.
Peserta nomor 120 yang tadi berdiri dengan penuh kepercayaan diri, menggenggam tombak pusaka tingkat Bumi dengan wajah angkuh, kini bahkan tak sempat mengibaskan senjatanya. Tubuhnya terhempas begitu saja, melayang keluar arena dan jatuh keras ke tanah, debu beterbangan mengiringi kehancuran harga dirinya.
Sejenak keheningan menyelimuti arena. Semua orang, mulai dari penonton biasa hingga para tetua sekte, menatap dengan mata terbelalak. Mereka tak percaya apa yang baru saja terjadi.
“...S-satu tebasan?” bisik seorang murid sekte.
“Bagaimana mungkin anak desa itu bisa mengalahkan senjata pusaka tingkat Bumi hanya dengan pedang biasa?” gumam tetua klan Ling dengan alis berkerut dalam.
Riuh rendah suara penonton mulai pecah, membicarakan sosok Jiang Shen. Sosok pemuda dengan pakaian sederhana, pedang lusuh tanpa keistimewaan, yang kini baru saja mempermalukan lawannya di hadapan seluruh kota Jinan.
Tetua wasit yang berdiri di sisi arena pun terdiam sejenak, seakan tak percaya pada matanya sendiri. Namun, akhirnya ia menarik napas panjang dan mengumumkan dengan suara lantang yang menggema ke seluruh penjuru lapangan,
“Pemenang pertandingan pertama—nomor 75, Jiang Shen!”
Sorak-sorai penonton langsung bergema. Ada yang bersorak mendukung, ada yang masih ternganga tak percaya. Sebagian besar tidak habis pikir bagaimana pemuda ini bisa menyingkirkan lawannya dengan begitu mudah.
Di tribun kehormatan, para tetua sekte dan pemimpin klan besar saling berpandangan.
“Pemuda itu … siapa sebenarnya?” ucap salah satu tetua sekte dengan wajah serius.
“Gerakannya, cepat seperti sambaran petir. Tenaga di pedangnya … padat, tajam, seakan sudah ditempa bertahun-tahun. Tapi jelas usianya masih muda …” sahut yang lain, matanya tak lepas dari sosok Jiang Shen yang kini berjalan turun dari arena.
Jiang Shen, meski baru saja mencatat kemenangan yang mengejutkan, wajahnya tetap tenang. Ia tidak menunjukkan senyum puas, hanya menarik napas pelan dan kembali menuju tempat duduknya. Dalam hatinya ia tahu, ini baru permulaan.
Namun, di tengah keramaian itu, ada satu sosok yang membuat langkah Jiang Shen sempat berhenti sejenak. Di antara barisan penonton, matanya menangkap bayangan seseorang yang begitu familiar. Wajah itu … wajah yang selalu ia kenang sejak kecil.
Ibunya.
Wanita sederhana dengan pakaian biasa, berdiri di kerumunan tanpa menonjol, namun kedua matanya berbinar penuh kebanggaan. Ia menatap putra semata wayangnya dengan senyum tulus, senyum yang membuat Jiang Shen merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dadanya.
Untuk sesaat, semua sorak-sorai penonton memudar dari telinganya. Yang terdengar hanya suara detak jantungnya sendiri, dan senyum ibunya yang bagaikan cahaya mentari menembus awan gelap kehidupannya.
Jiang Shen mengepalkan tangan erat-erat, menahan emosi yang bergolak di dadanya. Ia menunduk sebentar, memberi hormat kecil dari kejauhan kepada sang ibu—sebuah isyarat yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua.
“Bu … lihatlah. Aku sudah melangkah di jalan ini. Aku bukanlah Jiang Shen yang dulu lagi.”
Lalu ia kembali ke tempat duduknya dengan langkah yang mantap, membiarkan keramaian di sekelilingnya terus membicarakan namanya. Kini, Jiang Shen bukan lagi sekadar anak desa miskin. Dia baru saja menapakkan kaki sebagai pesaing sejati di antara para genius muda kota Jinan.
Setelah Jiang Shen turun dari arena, wasit kembali memanggil peserta berikutnya. Sorotan mata penonton segera terarah pada seorang gadis muda berwajah dingin dengan rambut hitam panjang yang tergerai indah. Setiap langkahnya ringan, namun penuh wibawa, membuat seluruh arena terasa berbeda.
“Peserta nomor 32, Lin Xueyin, naik ke arena!” seru wasit lantang.
Sorak sorai terdengar di antara penonton, disertai bisik-bisik yang berhamburan.
“Itu … Peri Kota Jinan!”
“Benar-benar anggun … dan cantik.”
“Tunggu … lihat pedangnya, itu … itu pusaka tingkat Awan!”
Serentak, suasana menjadi lebih heboh. Pedang panjang yang digenggam Lin Xueyin memancarkan aura dingin yang menusuk, seolah mampu membekukan udara di sekitarnya. Cahaya pedang itu berbeda dari senjata biasa maupun pusaka tingkat Bumi—lebih murni, lebih megah, benar-benar pantas disebut pusaka tingkat Awan.
Bisikan terus berlanjut.
“Dia … dia benar-benar seorang genius. Kudengar atribut elemen miliknya adalah es dan angin sekaligus.”
“Elemen ganda? Itu sangat langka!”
“Tidak heran banyak yang bilang Lin Xueyin adalah calon pemenang turnamen ini.”
“Selain dia, hanya nona muda dari klan Hong dengan atribut tanah dan angin, serta tuan muda klan Zhang dengan atribut tanah dan kayu. Tiga orang itu adalah puncak genius kota Jinan.”
Lin Xueyin hanya berdiri tenang di arena, tatapan dinginnya tak terpengaruh hiruk pikuk penonton. Lawannya di hadapan bahkan terlihat ragu-ragu, keringat menetes meski pertandingan belum dimulai.
Saat aba-aba wasit terdengar, Lin Xueyin hanya mengangkat pedangnya perlahan. Dalam sekejap, udara di sekitar arena bergetar. Aura dingin menyelimuti, bersatu dengan hembusan angin tajam yang muncul entah dari mana.
WUSHH—!
Dalam satu tarikan napas, pedangnya menebas. Gerakan itu sederhana, namun kecepatan dan tekanannya seperti badai es yang menghantam tanpa ampun.
Lawannya bahkan tak sempat mengangkat senjata. Tubuhnya langsung terlempar ke luar arena, wajahnya pucat pasi, sementara arena kembali sunyi sebelum ledakan sorak sorai pecah.
“Se … secepat itu?”
“Dia … tidak memberikan kesempatan sedikit pun.”
“Lin Xueyin benar-benar terlalu kuat. Aku yakin dialah yang akan menjadi juara turnamen ini!”
“Tidak ada yang bisa menandingi Peri Kota Jinan.”
Lin Xueyin tak menanggapi komentar siapa pun. Ia hanya menyarungkan kembali pedangnya, berbalik dengan anggun, lalu turun dari arena tanpa sedikit pun perubahan ekspresi. Begitu kembali ke kursinya, aura dingin di sekitarnya perlahan mereda.
Di sisi lain, Jiang Shen memperhatikan dengan seksama. Tatapan matanya mengikuti sosok Lin Xueyin yang kembali duduk. Ia menggenggam pedangnya lebih erat.
“Lin Xueyin …” gumamnya dalam hati. “Bagaimanapun, kau adalah lawan terkuat yang harus kuhadapi di turnamen ini.”
Seketika, tekad dalam diri Jiang Shen semakin kokoh.
di sini MC masih naif !
MC nya belom mengenal luas nya dunia karena belom berpetualang keluar tempat asal nya,hanya tinggal dikota itu saja
Jangan buat cerita MC nya mudah tergoda pada setiap wanita yg di temui seperti kebanyakan novel2 pada umum nya,cukup 1 wanita.