Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benang Yang Tak Bisa Dijahit Dua Kali
Butik Xanara terasa berbeda sore itu, mungkin karena jendela besar yang biasanyamengundang cahaya kini hanya menyisakan langit kelabu. Atau mungkin karena pikiran Xanara yang sedang mendung.
Benang-benang halus berserakan di meja kerja desainer cantik tersebut, Sebagian sudah dijalin, Sebagian lagi teronggok tanpa arah. Sama seperti pikiran Xanara. Rasanya aneh, menghabiskan waktu bertahun-tahun membangun bisnis ini diluar negeri, lalu kembali ke tanah kelahiran dengan segala stabilitas, hanya untuk merasa sedikit goyah, karena seorang pria yang belum tentu akan kembali.
‘HARVEY’
Namanya melintas begitu saja seperti desahan napas. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka yang menandakan ada seseorang yang sedang masuk kedalam butik tersebut. Xanara tidak beranjak, hanya Lucy yang bangkit dari duduknya lalu menyambut kedatangan seseorang tersebut.
Langkah sepatu laki-laki menghanta, lantai marmer, berat, tenang dan entah mengapa familiar.
“Saya ada janji dengan Ibu Xanara”
Suara tersebut terdengar jelas.
Deg!
Xanara bangkit perlahan, merapikan rambutnya meski sepertinya tak perlu. Saat Xanara melihat Harvey berdiri diruang depan, menggunakan coat gelap dan senyum tipisnya, dada Xanara terasa begitu aneh. Harvey terlihat lelah, tapi ia tetap mempesona.
Ada guratan kecewa di matanya, namun caranya memandang Xanara masih sama, begitu menegangkan dan sedikit terlalu lama.
“Kita jadi fitting Pak?” Tanya Xanara yang sedang berusaha menjaga nada formal.
“Harvey saja, dan ya kalau kamu bersedia” Sahut Harvey dengan cepat.
Xanara mengangguk, kemudian ia membawa Harvey menuju ke ruangan fitting, kemudian ia mengambil jas yang sudah nyaris selesai dijahit.
“Ini masih perlu beberapa penyesuaian di bagian bahu, tapi kamu bisa coba dulu” Ucap Xanara santai dengan menyerahkan jas tersebut.
Harvey mengangguk pelan mendengar penjelasan Xanara, kemudian ia mulai membuka kancing kemejanya. Xanara pun terlihat langsung membalikkan badan dan pura-pura sibuk dengan tumpukan sketsa.
Tapi dibalik benak Xanara, ia menyadari sesuatu, jika tidak ada klien stu pun yang mmebuatnya gugup seperti ini, tangan Xanara sampai sedikit gemetar saat menarik pita pengukur.
“Kamu terlihat capek” Ucap Xanara yang mencoba mencairkan suasana.
“Hmm begitulah. Kadang hidup terasa seperti jas yang salah ukur, kelihatan pas diluar, tapi gak nyaman di pakai” jawab Harvey.
Xanara menoleh kerah Harvey, mata pria tersebut menatap lekat dan dalam seolah menyimpan sesuatu yang tak ingin ia katakana.
“Kamu bisa ganti jasnya” Ucap Xanara pelan.
“Mungkin aku akan… untuk pertama kalinya” sahut Harvey dengan tersenyum kecil.
Belum sempat Xanara membalasnya, Lucy muncul dari ambang pintu membawa secangkir teh.
“Oh iya Xa, aku dengar kabar aneh soal tunangan seseorang” Ucap Lucy dengan meletakkan cangkir teh tersebut.
“Gosipnya sih pernikahan besar itu bisa batal, tapi… siapa percaya gosip kan?” Lanjut Lucy.
Xanara melirik Harvey, ia tetap diam dan memalingkan wajah sejenak, pura-pura melihat pola kain di meja.
Tiba-tiba Xanara merasa jika perutnya seperti di kerut dari dalam. Dia berusaha terlihat biasa saja, dengan tetap memeriksa ukuran jas dengan teliti. Tapi konsentrasinya sudah sejak tadi kabur. Bahkan beberapa kali tangan Xanara nyaris menjatuhkan jarum pentuk dan sekali… Xanara benar-benar menusuk ujung jarinya sendiri.
“Aduh” gumam Xanara pelan.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Harvey yang segera menoleh kearah Xanara.
“Iya, cuma ceroboh” jawab Xanara dengan tersenyum kecil, menahan rasa perih yang sebenarnya tak seberapa.
Luka diujung jari taka da apa-apanya dibanding luka yang entah kenapa mulai mengusik dalam dada Xanara.
Harvey memperhatikan Xanara diam-diam, menatapnya dengan lekat.
“Kamu kelihatan beda” Ucap Harvey.
“Beda gimana?”
“Gak tahu, seperti orang yang pernah perjuang dan menang tapi seperti orang yang masih punya luka yang disembunyikan”
“Semua orang pasti punya luka, Harvey”
“Iya, tapi gak semua orang bisa menjahitnya seindah kamu”
Xanara terdiam. Kalimat itu tak sekedar pujian, ada nada kagum, tapi juga rasa ingin tahu.
Harvey kembali mengenakan jasnya dengan pelan-pelan, memandangi pantulan dirinya di cermin besar. Jas itu memang pas, terlalu pas hingga Xanara merasa dadanya ikut sesak.
“Ini jas yang sempurna” Ucap Harvey yang dijawab dengan anggukan oleh Xanara yang terlihat mencoba tersenyum.
Sementara Lucy hanya diam di sudut ruangan, menatap Xanara dan juga Harvey dengan pandangan seperti seseorang yang tahu lebih banyak dari pada yang di katakana.
Xanara menatap sekali lagi ketika Harvey hendak meninggalkan butik tersebut.
“Terimakasih Xanara”
Bukan ‘terimakasih Bu Xanara’ seperti diawal. Tapi Harvey langsung memanggil dengan sebutan nama. Disuarakan dengan pelan, nyaris seperti rahasia yang tak ingin di bagikan kepada siapapun.
Dan entah kenapa, itu membuat Xanara ingin menahannya lebih lama di butik tersebut, tapi tentu saja Xanara tidak akan bisa melakukannya.
Harvey berjalan pelan kearah pintu keluar, sempat menatap sekilas Lucy lalu pergi meninggalkan butik tersebut, membawa serta eroma parfum maskulin yang samar tertinggal di udara, dan kegelisahan yang menggantung diruang butik seperti kain yang belum dijahit.
Setelah pintu tertutup, Lucy bersandar di meja.
“Dia bukan klien biasa ya?” Tanya Lucy lirih.
Xanara tak menjawab, Lucy pun mendekat menatap Xanara dengan penuh selidik.
“Aku bisa bilang dari cara kamu menatap dia, dan cara dia menatap kamu, seperti dua orang yang gak sadar kalau mereka sedang menulis awal cerita yang belum mereka pahami” ucap Lucy.
“Aku bahkan gak tahu dia sudah bertunangan sat pertama kali datang”
“Sekarang kamu tahu, dan kamu juga tahu kalau tunangannya bukan perempuan baik-baik”
“Kamu tahu sesuatu?” Tanya Xanara kepada Lucy.
“Aku lihat Winny di hotel bersama laki-laki lain dan aku rasa bukan cuma aku yang tahu” Jawab Lucy.
Xanara membeku, belum sempat dia mengurai semua yang berserakan di kepala, Lucy menambahkan dengan suara tenang.
“Hati-hati Xa, karena bennah yang sama gak akan bisa dijahit dua kali tanpa meninggalkan bekas, tapi kalau kamu hati-hati kamu bisa menciptakan pola baru”
Dan untuk pertama kalinya Xanara merasa, mungkin dia memang sedang menjahit sesuatu yang baru, entah siapa, entah untuk apa tapi rasanya hangat
Malam itu, Xanara duduk sendirian diruang kerjanya yang sudah sepi. Hanya ada suara detak jam dan sisa aroma kopi dari gelas yang belum habis.
Di depannya, lembar-lembar sketsa lama terbuka, salah satunya adalah gaun yang tak pernah dibuat, desain yang dulu Xanara rancang untuk seseorang yang memilih pergi setelah menjanjikan segalanya
Ia menyentuh garis lekuk pada kertas itu, seperti menyentuh ingatan yang tak pernah sepenuhnya mati. Tapi kini, ia merasa perihnya mulai terasa jauh. Bukan karena lupa, tapi karena ruang di hatinya mulai diisi sesuatu yang lain.
Ia mendongak, menatap cermin di seberang ruangan. Dirinya menatap balik, lebih kuat, lebih tenang, tapi matanya tetap jujur, belum selesai.
Namun malam ini, Xanara memutuskan untuk tidak menghindar.
Ia mengambil pensil, menarik lembar kosong baru dan mulai menggambar. Bukan gaun, tapi sebuah jas pria.
Dan untuk pertama kalinya, ia tahu pasti siapa yang akan memakainya.