Istri kedua itu memang penilaiannya akan selalu buruk tapi tidak banyak orang tau kalau derita menjadi yang kedua itu tak kalah menyakitkannya dengan istri pertama yang selalu memasang wajah melas memohon simpati dari banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ranimukerje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9.
Langkah kaki febri terseret malas melewati lorong rumah sakit untuk sampai dikamar rawat inap nara yang berada di lantai lima. Diteror telpon juga pesan dari perempuan itu membuat febri memutuskan untuk datang walau dengan setengah hati juga menahan marah.
Krek
Pintu terbuka dan nara langsung tersenyum sumringah saat mendapati sosok febri yang muncul dari balik pintu. Wisnu yang duduk di sofa dengan laptop dipangkuan juga ikut menoleh tapi dengan raut wajah datarnya.
"Feb, kamu datang."
Terdengar riang sekali suara nara menyambut kedatangan wanita yang akana ia jadikan madu.
"Sudah baikan mba?"
Alih alih menjawab, febri malah bertanya mengenai keadaan nara yang masih dipasangkan infus ditangan.
"Udah lebih enakan kok, apalagi kamu mau datang."
"Mas" seru nara pada sang suami yang masih tetap fokus pada pekerjaannya.
Wisnu yang dipanggil langsung mendongak dan pandangannya bertemu dengan nara.
"Sini, aku kenalin sama febri kan sebentar lagi kan kalian bakal bekerjasama."
Bekerjasama katanya beneran sinting ni perempuan, umpat febri dalam hati.
Sementara wisnu yang masih duduk di sofa hanya mampu menghela napas beratnya saja. Antara malas marah juga muak dengan kelakuan istrinya. Wisnu mendekat dengan langkah pelan diwajahnya terlihat jelas tak ada minat sama sekali dengan situasi yang ada didepannya. Dalam penilaian wisnu yang sudah dua kali bertemu dengan febri, cantik dingin juga berkarakter.
Sebagai formalitas, mereka berjabat tangan dan wajah nara berbinar sekali. Seolah-olah lemas tubuhnya hilang digantikan dengan semangat 45.
"Kalian keluar gih, ke kantin atau kafe yang ada disekitar sini. Ngobrol buat saling kenal."
Nara mengusir, dan dari nada bicaranya seolah tak ada rasa cemburu sedikitpun menyuruh suaminya untuk pergi dengan wanita lain. Lagi lagi, febri mengumpat dalam hati. Tak habis pikir dengan apa yang dilihatnya dan sialnya dirinya lah yang ada dalam situasi ini.
Tanpa kata, wisnu membuka pintu.
"Mari" ajak wisnu sambil melihat kearah febri yang sejak tadi masih berdiri diposisi yang sama.
"Nanti ada perawat yang temani kamu disni."
Nara mengangguk.
"Ga usah khawatir sama aku mas, aku baik baik aja. Karena kalian."
Senyum mengembang disudut bibir nara saat febri dan suaminya menghilang dibalik pintu padahal febri pergi begitu saja tanpa pamit.
"Semoga mereka segera merencanakan pernikahan dan aku bisa cepat juga gendong anak. Mulut mulut yang terus menyakiti ku harus cepat dibungkam karena aku beneran udah muak."
Perihal anak, benar benar berdampak besar bagi keseharian nara. Sakit hatinya juga keinginannya yang tak kunjung terpenuhi karena garis dua itu tak pernah muncul di tes peck yang sering ia lakukan, membuat nara jadi mengambil tindakan tanpa berfikir panjang.
. . . . . . . . .
"Mau pesan apa?" Tanya wisnu saat mereka sudah duduk berhadapan disebuah kafe dekat rumah sakit.
Febri melirik sekilas kearah wisnu dan memanggil pelayan.
"Es kopi" ucap febri pada pelayan.
"Samakan saja."
Hening, suasana langsung berubah canggung saat pelayan selesai mencatat pesanan keduanya dan pamit pergi.
"Istrimu sepertinya perlu segera di ruqyah."
Kalimat yang keluar dari mulut febri langsung disambut gelak tawa oleh wisnu. Tak menyangka sekali kalau febri akan berbicara begitu. Lucu saja menurut wisnu, istri perlu di ruqyah dan itu tak pernah terlintas dalam pikiran wisnu selama ini.
"Apa perlu?" Tanya wisnu akhirnya setelah tawanya reda.
Febri mengangguk malas.
"Permintaannya diluar nalar dan saya bosan diteror terus seperti memiliki hutang pinjol saja."
Kembali tawa wisnu meledak, kenapa wanita didepannya ini lucu sekali. Perkataannya selalu saja ketus dan wajahnya datar minim ekspresi menurut wisnu walau cantiknya jangan ditanya. Cantiknya wanita indonesia, sedap dipandang tak bikin bosan.
"Ga usah ketawa terus, yang ada nanti kamu sekalian di ruqyah juga. Takutnya ketempelan jin atau sejenisnya."
Hahahahaha
Makin kencang tawa wisnu saat itu.
"Stop melucu, wajahmu datar tapi kata kata yang keluar selalu menggelitik telinga ku."
Alis febri menyatu tanda saat dirinya tengah bingung.
"Hah, sudah lupakan."
Wisnu mengatur napasnya karena susa tawa dan febri tetap diam dengan wajah datarnya.
"Kamu kenal nara dimana?"
Febri menarik napas pelan dan menghembuskannya. Sepertinya wisnu sudah membuka sesi wawancara pada calon istri keduanya.
"Waktu kecil kami tetangga, tapi saat nara lulus SD dia pindah."
Wisnu mengangguk paham dan baginya sudah cukup. Teman masa kecil dan hebatnya saat sudah dewasa begini masih bisa berkomunikasi dengan baik bahkan istrinya bisa sampai meminta wanita didepannya ini untuk jadi istri keduanya.
"Soal kamu diteror nara, saya juga begitu. Merasa bosan bahkan sampai muak rasanya, dituntut untuk menikah lagi dan ......."
"Menghasilkan anak dengan saya?"
Wisnu tercekat dan sedikit shock dengan ucapan febri barusan. Katakan saja tingkat percaya dirinya febri ini tinggi sekali tapi anehnya wisnu suka. Tidak ada kepura-puraan dan semuanya murni.
"Kamu menolak kan?"
Bodohnya wisnu bertanya demikian tapi mau bagaimana lagi.
Febri mengangguk mantap.
"Siapa yang mau jadi istri kedua apalagi cuma dijadikan penghasil anak. Walau wanita memang diharuskan mengandung dan melahirkan tapi saya tetap mau menikah karena cinta dan jadi satu-satunya."
Wisnu terpaku, jawaban biasa tapi wisnu bisa melihat kalau febri ini memiliki prinsip yang kuat dalam hidupnya.
"Jadi?" Tanya wisnu dengan tatapan mengunci mata febri yang saat itu juga sedang menatap dirinya.
"Apalagi yang perlu dijawab, sudah jelas saya menolak permintaannya nara."
Tegas tanpa basa-basi tapi kenapa wisnu merasa tak terima. Ditolak ya? Kok sakit, batin wisnu.
"Sudah kan?" Tanya febri.
Hanya anggukkan kepala saja yang wisnu berikan. Dirasa cukup jelas, febri bangkit dan pergi. Meninggalkan wisnu dengan es kopi yang baru mereka minum setengahnya. Pandangan wisnu tak berpaling dari punggung kecil yang kian menjauh.
"Menarik" gumam wisnu setelah febri benar benar menghilang.
Es kopi diatas meja dengan kemelut yang kembali hadir membuat wisnu seolah ditarik dari kenyamanan yang sempat ia rasakan. Kata-kata pedas yang terlontar tapi anehnya malah menjadi hiburan tersendiri bagi wisnu dan dari apa yang baru saja terjadi wisnu mengambil keputusan cepat bahwa dirinya akan mewujudkan apa yang beberapa bulan ini selalu jadi alasan perdebatannya dengan nara sang istri.
"Jangan pernah menyesal ra, kamu yang mendorong dan sekarang aku terdorong."
Wisnu bangkit berjalan menuju kasir laku membayar. Kembali keruangan rawat sang istri menjadi pilihan. Disana ada pekerjaan yang menanti walau aslinya malas karena pasti nanti nara akan bersuara dan ujung ujungnya mereka akan kembali adu mulut. Tapi untuk saat ini adu mulut itu akan berusaha wisnu nikmati demi wanita yang tadi membuatnya beberapa kali meledakkan tawa.