Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Telapak tangan Daisy menyeka keringat yang menetes di kening. Kaus bagian belakang basah dengan keringat. Ritme napasnya naik-turun tak beraturan.
Langkahnya menuju ke pintu unit apartemennya. Ia menekan empat digit angka untuk membuka kunci pintu. Daisy mendorong pintu dan seketika matanya langsung melihat dua pasang sepatu di rak sepatu dekat pintu. Hidungnya mengendus aroma harum masakan.
Aksi bisik-bisik Sofie dan Gendis langsung berhenti saat melihat Daisy melangkah ke dapur. Daisy menyadarinya, tetapi ia memilih untuk berpura-pura tidak tahu.
"Gendis bikin nasi goreng, nih. Mau makan sekarang apa nanti?"
"Nanti aja." Daisy melengos masuk ke kamar.
Sofie menyandarkan punggungnya di kursi. Kedua lengannya melipat di depan dada. "Sudah berapa hari dia begini?"
"Empat hari." Gendis menyuap nasi goreng seafood buatannya.
"Patah hati lagi, deh." Sofie mengembus napas lelah. "Sama Athan berapa lama?"
Gendis mencondongkan tubuh ke depan. Kedua siku menumpu di atas meja. Sambil berbisik, ia berkata, "Yaa, sejak pertama, dia udah langsung patah hati. Karena dia tahu nggak ada harapan sama Athan. Tapi bukan Daisy namanya kalau menyerah begitu saja. Memangnya untuk apa dia berbaik hati membagi apartemennya? Pakai alasan biar irit pengeluaranlah. Selalu menjadi orang pertama yang berada di samping Athan. Buat apa memangnya? Agar Athan berpaling dari pacarnya Si Hailee Steinfield KW itu ke―"
"―Daisy."
Gendis menudingkan sendok di tangan seraya mengangguk membenarkan tebakan Sofie.
"Cintanya Daisy kadang menakutkan." Sofie pura-pura bergidik ngeri.
"Sekali jatuh cinta, Daisy sulit untuk mundur. Selama dia masih bisa, dia akan terus maju. Tapi kalau keadaannya sulit dan dia nggak punya harapan, dia pun juga nggak akan memaksakan diri. Seenggaknya Daisy sudah berusaha. Dan, itulah kenapa aku sangat menyukai sikap Daisy yang ini."
"Kadang kebaikan hatinya mudah dimanfaatkan orang."
"Karena itulah―" Gendis melipat kedua lengan di depan dada, "kita berteman dengannya." Senyumnya bangga. "Lagi pula ada Sofie, preman sekolah kita yang pertama maju saat Daisy disakiti."
"Dan, lo yang selalu mencereweti kita." Sofie lalu mengembus napas lelah. "Melihatnya begini, membuatku sedih."
"Mana Azka juga nggak bisa kumintai bantuan." Gendis pun mengembuskan napas lelah.
"Mau ngapain?"
"Mau nyari tahu di mana keberadaan Singgih." Gendis menyugar rambut ke belakang. "Datang nggak diundang. Pergi tanpa pamit."
"Udah kayak Jelangkung aja, ya." Sofie mengikik geli.
"Rasanya―" Gendis meregangkan otot lehernya yang terasa kaku, "aku pengen menyeretnya dan mematahkan tulangnya," ujarnya dengan melipat jari-jari tangan hingga terdengar bunyi keretek.
Sofie melongo kaget. Gadis yang di depannya sama sekali tidak mirip dengan Gendis. Yang suka bertindak preman dan mengumpat sekenanya ya, cuma Sofie. Gendis justru yang paling andal dalam mengontrol emosi. Ralat―kadang-kadang suasana hati Gendis juga kerap buruk jika berhubungan dengan percintaan.
"Lo ada masalah sama Ivan?"
"Nggak ada." Wajah Gendis menyahut masam.
"Tinggal sebulan lagi―"
"Kita udah putus."
Mata Sofie membeliak untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini kaget-sekagetnya. "What the ****! Kenapa? Kenapa?! Banyak yang berantem menjelang pernikahan. Tapi nggak harus putus juga, Dis."
"Kita udah nggak cocok. Nggak sepemikiran lagi."
"Sepuluh tahun pacaran dan baru sekarang, sebulan lagi bahkan kalian mau nikah, terus lo bilangnya kalian nggak cocok? Nggak sepemikiran?" Sofie coba memahami keputusan Gendis.
"Memang gitu kok."
"Nggak gitu, Dis," sanggah Sofie. "Waktu SMA, kalian pasangan serasi banget. Dinobatkan sebagai King and Queen di prom night. Gue sama Daisy aja iri ngelihat kalian berdua."
Gendis memijit keningnya yang mulai pusing. "Aku nggak yakin... apa aku benar-benar menyukainya."
"Maksud lo?"
"Kamu pasti tahu kan, awal hubunganku dengan Ivan."
Sofie mengangguk paham.
'Karena kita teman sekolah. Seumuran. Dan, kedua ibu kita sahabat baik; jadi, kupikir aku bisa berteman dengannya juga, sama seperti ibuku. Tapi ternyata dia malah menyukaiku dan langsung ngomong ke ibuku..." Gendis menggigit bibir bawah. "Kamu tahu sendiri, aku nggak bisa nolak omongan ibuku."
"Jadi, selama ini lo terpaksa pacaran sama Ivan?" Sofie nyaris membekap mulut. "Kenapa nggak pernah bilang?"
"Awalnya memang terpaksa. Terus aku memutuskan untuk mencobanya."
"Berhasil?" Sofie yang melihat wajah datar Gendis pun menarik kesimpulan sendiri. "Kenapa lo ngejalaninya sih, Dis?" Ia menggaruk-garuk dahi dengan kedua tangan.
"Aku juga nggak tahu." Gendis menggeleng frustrasi. "Saat dia kuliah di London dan kita menjalani LDR, aku ngerasa... aku seperti bebas."
"Waktu putus terakhir, kenapa nggak putus aja?"
"Yang di Bali itu?"
Sofie mengangguk. "Tiba-tiba dia datang menyusul lo. Marah-marah nggak jelas. Bikin keributan di prewed kak Armand. Gue kan, kesel banget lihatnya."
Terdiam Gendis.
"Kita kan, ke Bali buat liburan. Sepuluh tahun, LDR, masa cuma ke Bali aja dia curiganya berlebihan." Sofie menggebrak meja dengan sebelah tangan. "Bagus. Mending udahan sekarang daripada udah pas nikah. Kata orang ya, sebelum mendapatkan yang terbaik, kita terlebih dahulu mendapatkan yang salah."
"Hmm. Omonganmu udah kayak Daisy aja."
"Oh, iya!" pekik Sofie, beranjak berdiri tiba-tiba hingga nyaris membuat kursi yang didudukinya terjungkal ke belakang. "Princess Daisy kita nggak pingsan, kan?" gegasnya menuju kamar Daisy.
Gendis menoleh ke belakang. Mengamati Sofie yang mengetuki pintu kamar Daisy dengan tatapan bersalah.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨