Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Datang Ke Perjamuan
Saat para wanita sedang asyik mengobrol, Marvin tiba-tiba mendekat dan berhenti di samping putrinya.
Ia membungkukkan sedikit tubuhnya dan berbisik, "Paman Leon dan Bibi Calestine sebentar lagi datang."
Ia sempat terdiam.
Di kehidupannya sebelumnya, mereka tidam pernah muncul di pesta ini. Ia langsung bersikap seolah panik dan bertanya pelan, "Ayah, aku harus siapkan apa?"
"Gelangmu mana? Pakai saja itu," ujar Marvin sambil melirik pergelangan tangannya yang kosong.
"Ya, aku akan mengambilnya sekarang." Ia mengangguk, lalu menoleh ke arah para tamu lainnya dan tersenyum sopan. "Maaf, aku permisi sebentar."
"Ya silahkan." jawab Natalie sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangan.
Ia tersenyum, mengangguk sopan, lalu segera meninggalkan taman. Setelah kembali hidup untuk kedua kalinya, ia belajar satu hal—setiap langkah harus penuh perhitungan.
Di sisi lain, Elmira merasa sangat tidak senang melihat Marvin berbisik padanya.
Ia tahu betul, Marvin tak pernah bersikap sehangat itu pada Elena. Padahal, gadis itu dan putrinya sama-sama anaknya. Kenapa perlakuannya berbeda sejauh ini?
Elmira hampir bertanya soal pembicaraan tadi, tapi belum sempat berbicara. Natalie lebih dulu menyela.
"Elmira, kamu benar-benar beruntung! Siapa nama gadis tadi?" tanya Natalie sambil tersenyum anggun.
“Vilya,” jawabnya, menyembunyikan kekesalannya di balik senyum manis seorang ibu tiri.
Natalie mengangguk puas. “Anak itu cantik sekali! Kamu benar-benar beruntung, Elmira.”
"Setuju!" timpal yang lain, "Sikapnya lebih pantas disebut putri keluarga terhormat."
"Dan cantiknya juga alami!" sambung yang lain.
Pujian demi pujian mengalir begitu saja, membuat Elmira tersenyum kaku. Tapi di sisi lain, Marvin sangat puas mendengarnya.
Sebagai pria, Marvin memilih tidak menanggapi pujian-pujian itu secara langsung. Ia hanya tersenyum tipis lalu berbalik, pergi bergabung bersama rekan bisnisnya
Elmira, yang memperhatikan ekspresi puas di wajah suaminya, membuat ia semakin geram dan dadanya terasa sesak.
Kalau ia bertahan lebih lama di ruangan itu, mungkin ia tak bisa menahan amarahnya karena emosi.
Untungnya, seorang pelayan buru-buru menghampirinya. “Nyonya, Nona Elena sedang mencari Anda.”
Matanya langsung berbinar. Ia buru-buru pamit kepada Natalie dan yang lainnya. “Maaf, aku pamit sebentar.”
“Silakan,” balas Natalie santai, melambaikan tangannya.
Elmira pun nyaris pergi dari suasana menyebalkan itu. Sesampainya di kamar Elena, ia melihat putrinya sudah mengenakan gaun pesta. Ia sempat terkejut.
“Elena? Kenapa kamu bangun? Harusnya kamu istirahat.”
“Mah, bantu aku dandan,” ucap gadis itu tanpa basa-basi. Tatapannya penuh tekad. “Aku nggak bisa lihat dia berdiri dengan tenang seperti itu. Aku ini juga putrinya di kediaman ini!”
Elmira langsung mendekat dan menatapnya prihatin. “Masih sakit?”
“Bernapas aja rasanya sesak.” Elena menggigit bibir, matanya memerah. “Tapi aku nggak peduli. Aku tetap ingin turun.”
Elmira mengelus wajah putrinya dengan lembut. “Mama tahu kamu nggak bisa nerima ini semua.”
Ia tak perlu menanyakan lebih jauh. Luka di tubuh Elena jelas bukan satu-satunya yang membuat gadis itu hancur.
Harga dirinya jauh lebih terluka. Dan ia juga membenci gadis itu lebih dari siapa pun.
"Mah," Elena terisak, tapi nadanya tegas. "Aku mau turun. Aku nggak bisa biarin dia nyuri semua perhatian kita."
"Tapi... lukamu?" Elmira ragu. Di satu sisi, ia memang ingin Elena tampil. Banyak tamu penting malam ini—ini kesempatan besar untuk membangun masa depan putrinya. Tapi di sisi lain, melihat luka di tubuh Elena, hatinya ikut ngilu.
"Aku bisa menahannya," gumam Elena sambil menggigit bibir. Kebenciannya pada gadis itu cukup kuat untuk menutupi rasa sakit di tubuhnya.
Elmira menatap putrinya penuh rasa iba. “Elena.”
Ia mengecup keningnya pelan, lalu membantu putrinya duduk di depan meja rias. Ia segera menyuruh pelayan membawa perlengkapan make-up, dan dengan tangannya sendiri, Elmira merias putrinya tipis-tipis, menutupi bekas luka yang masih samar.
Begitu selesai, ia menggandeng tangan putrinya keluar kamar menuju taman belakang, tempat pesta berlangsung. Dalam hati, Elmira yakin—begitu Elena muncul, semua orang akan tahu siapa yang sebenarnya pantas disebut putri sulung keluarga Elora.
Tapi sesampainya di sana, senyumnya langsung menghilang.
Ternyata, semua tamu sudah berkumpul di satu titik. Dan pusat perhatian mereka…
Bukanlah Elena.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Mereka saling pandang, lalu mempercepat langkah menuju kerumunan.
Begitu sampai di sana, mereka langsung melihat Vilya yang tengah duduk tenang bersama seorang wanita.
Wanita itu menggenggam tangannya dengan penuh kehangatan.
Tatapannya lembut dan senyumnya ramah.
Di sisi wanita itu berdiri dua pria. Yang satu tentu saja Marvin, dan yang satu lagi, jika di lihat penampilan dan sikapnya—jelas bukan orang biasa. Mungkin… suami wanita itu?
Elmira yang menyadari situasinya lebih dulu mencubit lengan Elena, memberi isyarat untuk tetap tenang.
Ia memasang senyum sopan dan melangkah mendekat.
"Sayang, Apa ada tamu penting?" tanyanya santai.
Marvin langsung menoleh dan menjawab dengan suara sedikit lebih lantang, menunjukkan rasa hormatnya yang tinggi, "Ini adalah Tuan Leon dan Nyonya Calestine dari keluarga Winchester."
Membawa keluarga Winchester ke perjamuan ini jelas bukan hal sepele—dan terlebih lagi, wanita itu… tampak begitu dekat dengan Vilya.
Setelah memperkenalkan pasangan itu, Marvin melanjutkan dengan memperkenalkan Elmira dan Elena, "Ini istri dan putri keduaku."
"Halo." Wanita itu—yang ternyata bernama Calestine—menyapa mereka sambil tersenyum lembut.
"Halo, Bibi," sahut Elena cepat, dengan senyum paling manis yang bisa ia tunjukkan.
Begitu mendengar identitas tamu mereka, Elena langsung tahu posisi wanita ini tidak bisa dianggap remeh.
Ia juga tahu, jika gadis itu bisa dekat dengan mereka… maka dia pun harus bisa berusaha mencuri perhatian mereka.
Tapi dalam hatinya mulai panas.
Kenapa orang-orang penting ini justru mendekat padanya?