Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Bumi & Rania
Ryan bersandar santai dengan senyuman miring. Senyuman meremehkan bagi Bumi. "Aku tahu kau akan datang ke sini untuk mencari ku. Jadi, ada apa? Apakah ingin bertanya padaku bagaimana rasanya meniduri Rania? Oh, aku orang pertama yang menidurinya—,"
Tidak akan Bumi biarkan mulut itu berkata lebih banyak tentang Rania didepan banyak laki-laki diruangan ini. Bumi membungkam mulut Ryan dengan cara melayangkan pukulan. Ryan sampai terdorong ke belakang dan berakhir menabrak meja.
Belum puas, Bumi mendekati Ryan dan melayangkan pukulan lagi. "Jaga mulutmu!"
Melihat Bumi menyerang teman mereka, Diki, Onad, dan Jati segera beranjak dan memisahkan dua orang saling melempar tatapan tajam.
"Hei! Kau datang sendiri ke sini dan berbuat onar!" Jati menarik tubuh Bumi agar sedikit menjauh dari Ryan. "Menganggu ketenangan saja!"
Setelah tubuh Bumi ditarik menyingkir, akhirnya Ryan bisa bangkit dan berdiri. Wajah tanpa ekspresi mengarah sepenuhnya pada Bumi, laki-laki yang kini berdiri dengan tangan mengepal serta napas tak teratur. Ryan berdecak dalam hati, ia merutuki Rania yang telah berbohong padanya.
"Lebih baik pergi dari sini. Benar kata Jati, kau menganggu ketenangan kami," Ucap Ryan dengan tenang.
Bumi berdecih, lalu meludah. "Waktu kalian hanya dihabiskan untuk bermain kartu? Pantas saja rumah ini begitu kumuh dan dihuni tikus."
"Cerewet sekali. Lagipula yang menempati itu kami, bukan kau," Ryan mengibaskan tangan diudara. "Pergi! Aku butuh istirahat setelah bersenang-senang dengan Rania. Kau pasti tahu rasanya, 'kan?"
Mendengar hal itu, Bumi hampir meledak lagi, namun tertahan saat Ryan kembali melanjutkan kalimatnya.
"Tidak perlu marah padaku. Justru aku hanya membantu pacarmu, tanyakan saja pada dia kenapa datang dan meminta aku menidurinya. Bahkan berniat mencari orang lain agar mau tidur bersama dengannya," Geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Tentu saja aku tidak akan membiarkannya. Orang bodoh mana yang melepaskan tawaran seperti itu?"
Bumi terdiam mendengar setiap kata yang terucap dari belah bibir Ryan. Tanpa sadar kepalan tangan dibawah sana sedikit memudar, sorot mata penuh amarah, kini berubah kosong. Bumi merasa tak percaya, tapi foto itu ... Jelas adalah Rania.
"Apa kau bercanda?" Tanya Bumi dengan nada suara lemah. Seolah tenaga yang baru saja ia gunakan untuk menyerang Ryan, hilang begitu saja.
"Untuk apa aku bercanda padamu? Kalau tidak percaya, kau bisa bertanya pada Onad dan Jati. Mereka adalah saksi kalau Rania yang datang sendiri mencari ku."
Jati yang namanya disebut segera bersuara. "Benar. Aku berani bersumpah!"
"Lebih baik kau pulang. Disini hanya menganggu dan membuat rusuh saja, lagipula Rania sudah aku suruh pulang, mungkin saat ini dia berada dirumah. Jadi percuma membuat rusuh disini."
...----------------...
Bumi benar-benar pulang setelah Ryan menyarankan dirinya untuk mencari Rania dirumah. Agaknya Bumi terlalu shock dan tak percaya usai mendengar pengakuan Ryan beberapa waktu lalu, rasanya tidak percaya jika Rania berbuat seperti itu.
Datang dan menyerahkan diri pada Ryan, padahal selama ini Bumi menjaga Rania mati-matian dari pria brengsek itu. Dan apa tadi? Rania berniat mencari orang yang mau menidurinya? Untuk apa?
Terhitung satu setengah jam sudah Bumi duduk melamun diteras rumah menunggu Rania. Nyatanya, begitu sampai rumah, Bumi tidak menemukan sosok Rania. Malam semakin larut dan belum ada kepastian dimana Rania saat ini.
"Apa Ryan berbohong padaku?"
Dalam waktu yang sama, terdengar suara gerbang rumah terbuka. Bumi segera mengangkat wajah guna melihat siapa yang datang. Begitu mendapati bahwa pelakunya adalah Rania, tanpa berpikir panjang Bumi berdiri dan menghampirinya.
"Kamu darimana—," Belah bibirnya terkatup rapat saat Rania berjalan melewatinya begitu saja. Tak tinggal diam, Bumi mengikuti pergerakan Rania dan menahan langkahnya. "Rania! Aku menunggumu dari tadi."
Rania menarik tangan dari genggaman Bumi. "Bukan urusanmu."
Ke-dua-nya diam dengan pemikiran masing-masing. Bumi mengamati penampilan Rania dari atas-bawah begitupun sebaliknya, berakhir dibuat salah fokus pada tanda kemerahan dileher Rania. Rasa-rasanya tubuh Bumi berubah menjadi jelly karena lemas.
"Apa yang kamu lakukan, Rania?"
Mendengus. "Sudah aku bilang bukan urusanmu. Apa kamu tidak mendengar? Apa sekarang telingamu tidak lagi berfungsi? Sudahlah! Aku ingin istirahat, aku lelah."
Baru berniat menjauh, lagi-lagi pergerakannya ditahan oleh Bumi. "APA MAUMU?!"
"Jelaskan dulu padaku! Kenapa kamu melakukan hal bodoh itu?! Apa kamu sudah gila?!"
Rania menarik tangannya, kemudian tertawa hambar. "Kamu pikir saja bagaimana? Apakah aku masih bisa waras setelah semua yang terjadi? Hm? Katakan padaku! APA AKU MASIH BISA WARAS?"
Bumi menggeleng lemah, manik kembarnya mulai berkaca-kaca, begitupun Rania.
"Aku sudah berjanji akan menikahi mu setelah anak Ambar lahir. Aku menikahinya sebagai bentuk tanggung jawab, itu saja."
Bergerak melipat tangan didepan dada, lalu memalingkan wajahnya ke samping. "Alasan. Kamu pikir aku masih mau kembali denganmu? 'Kan sudah aku tawarkan kemarin, tapi kamu tidak mau dan memilih menikahi Ambar. Ya sudah, berarti hubungan kita selama bertahun-tahun berakhir sia-sia."
"Itu tidak sia-sia! Aku masih sangat mencintaimu, sangat mencintaimu, dan akan selalu seperti itu!"
"Aku sudah tidak peduli lagi tentang cinta. Semua hanya omong kosong dan palsu," Menelan ludah bersamaan dengan tetesan likuid bening turun dari sudut matanya. "Semua orang hanya bisa menyakitiku saja. Kalian semua tidak punya hati dan jahat!"
"Tapi perbuatanmu kali ini juga salah. Kenapa menyerahkan diri pada Ryan? Apa kamu lupa bagaimana aku menjamu dari dia?"
Rania diam tak menjawab. Sebenarnya ia juga tidak tahu kenapa harus memilih Ryan, padahal, sebelumnya Rania selalu takut jika bertemu atau tidak sengaja berpapasan dengan pria itu.
Kepala Rania menoleh saat merasakan tangannya ditarik. "Jangan sentuh aku—,"
"Ayo, kita pergi mencari obat pencegah kehamilan. Kamu harus minum itu sekarang. Aku tidak akan membiarkanmu hamil anak Ryan."
Rania meronta-ronta mecoba melepaskan diri dari Bumi. Pria itu terus menyeretnya sampai keluar gerbang, hingga saat pijakan kaki Rania menyentuh trotoar jalanan, ia berhasil melepaskan genggaman tangan Bumi.
Mereka saling menatap dengan tangisan lirih, terengah seperti baru saja berlari dari ujung komplek.
"Aku tidak mau."
"Kita harus mencegahnya sebelum terlambat."
"Jangan mengaturku!"
"KAMU BISA HAMIL!"
"BIARKAN SAJA! Memang itu tujuanku, aku ingin hamil anak orang lain."
Atas pernyataan Rania kali ini, Bumi mematung dan kehabisan kata-kata. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur disertai gelengan tak percaya.
"Apa maksudmu?"
Rania berjalan mendekat. "Aku ingin hamil anak orang lain," Menekan setiap kata yang terucap.
"Kamu membuatku kecewa, Rania. Untuk apa melakukan hal bodoh seperti itu—,"
"Tentu saja agar kita impas!" Tertawa singkat. "Kamu menghamili perempuan lain, dan aku mengandung anak dari pria lain. Bagaimana? Bukankah kita impas?"
Manik kembar milik Bumi menyorot penuh pada Rania. Perempuan yang ia cintai, berdiri tepat dihadapannya kini. Hatinya hancur saat tahu Rania menyerahkan hal penting yang ia miliki pada orang lain hanya karena ingin balas dendam padanya.
Perempuan itu ingin Bumi merasakan sakit yang sama. Ya, Bumi merasakan sakit yang sama, tapi lebih sakit lagi karena Rania mengorbankan dirinya sendiri, dan Bumi adalah alasan semua itu.
Tangan kanan Bumi bergerak mengusap pipi Rania, ibu jarinya bergerak lembut disana. "Jangan mengorbankan dirimu sendiri hanya untuk membalas perbuatanku. Tidak bersamamu saja aku sudah sakit, Rania. Aku 'kan sudah minta maaf, aku juga sudah berjanji padamu untuk kembali setelah tanggung jawab ini selesai, kenapa kamu tidak percaya padaku?"
"Aku tidak akan pernah percaya lagi padamu," Menepis tangan Bumi dari wajahnya, lalu berjalan menjauhi Bumi.
Pria itu masih terdiam ditempat. Kali ini tidak ada niatan mengejar Rania, yang bisa dia lakukan hanya memandang sendu punggung sempit sang kekasih.
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....